"Bisa jelasin ke papa, Hel?" Rifat menatap dua orang di depannya penuh selidik. Dia tahu reputasi Brizan. Baginya, setiap hal dia harus mencari tahu karakter lawan dan kawan. Perjalanan hidup membuat Rifat jauh lebih hati-hati dan selektif kepada orang di sekitar.
Rachel menatap papanya, bingung kenapa papanya tiba-tiba datang. Apa mungkin akan membahas dokumen kemarin? Rachel menarik napas panjang lalu merangkul lengan Brizan.
Tindakan itu cukup membuat Brizan kaget. Baginya, Rachel semakin memperparah keadaan. Dia menggoyangkan lengan meminta Rachel melepas. Namun, tangan gadis itu semakin mencengkeram erat.
"Papa ngapain ke sini?" Rachel mengucapkan itu sambil menutupi ketakutannya.
Rifat mengembuskan napas, tidak ingin langsung memarahi. "Salah kalau papa ke tempatmu?"
"Ya nggak biasanya papa kayak gini. Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"
Brizan melirik dua orang yang sama-sama menatap dengan tajam. Dia tidak menyangka aura menegangkan terjadi antara bapak dan anak. Brizan rasanya ingin menghindar, tapi sepertinya Rachel tidak ingin ditinggal.
"Papa mau ajak sarapan bareng. Nggak nyangka papa dikasih kejutan." Rifat geleng-geleng lantas menatap Brizan. "Seperti ini sudah sering terjadi?"
"Iya!" Rachel menjawab cepat yang langsung mendapat senggolan kencang dari Brizan.
"Enggak, Om. Saya nggak sengaja ketiduran."
"Awalnya nggak sengaja, terus besok-besoknya sengaja?" ejek Rifat.
Rachel mendengus, merasa papanya terlalu mencampuri dan itu terkesan telat. "Pa, jangan memulai pertengkaran."
Rifat berdiri, tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rachel yang cenderung membela Brizan. "Kamu harusnya bisa jaga diri."
"Rachel bisa jaga diri!" Rachel menjawab setengah berteriak. "Lagian, cuma Brizan yang nemenin Rachel. Dia yang bikin Rachel nggak pernah ngerasa kesepian." Dia menatap Brizan dengan mata berkaca-kaca.
Brizan menggeleng, meminta Rachel agar tidak menjawab macam-macam. Namun, dia tahu jawaban itu hanya tameng Rachel saja. "Om, saya bisa jelaskan!" ujarnya sambil menatap Rifat yang telihat marah.
Rifat menggeleng tegas. Dia mendekat lalu menepuk pundak Rachel. "Papa tunggu di bawah." Setelah mengucapkan itu dia berjalan keluar.
Rachel melirik papanya yang telah pergi. Seketika kakinya terasa lemas hingga hampir kehilangan keseimbangan. Beruntung kedua tangannya berpegangan di lengan Brizan.
"Hel. Are you okay?" Brizan memperhatikan Rachel yang terlihat pucat. Dia memegang pinggang Rachel saat tubuh gadis itu kembali akan limbung. "Kamu baik-baik aja, Sayang?" Dia menepuk pundak Rachel beberapa kali.
"Gue nggak bisa napas." Rachel menyentuh dada dan menepuknya beberapa kali.
Brizan seketika menarik Rachel ke dalam gendongan dan mendudukkan di sofa. Setelah itu dia mengambil air mineral. "Minum dulu!" Dia menyerahkan air mineral yang telah dibuka itu.
Rachel menegakkan pelan dan mengembalikan ke Brizan. Setelah itu dia duduk bersandar sambil menyentuh dada.
"Kamu nggak apa-apa? Kita perlu ke rumah sakit?" Brizan menggenggam tangan Rachel yang terasa dingin. Belum lagi wajah Rachel mendadak pucat.
"Enggak...." Rachel menggeleng pelan. "Gue baik-baik aja."
Brizan terus memperhatikan Rachel yang menahan tangis. "Tenang. Tenang...." Dia duduk di sofa dan menarik Rachel ke dalam pelukan.
"Hiks...." Tangis Rachel seketika pecah. Dia memeluk Brizan dan menumpahkan segala perasaan yang mengganjal hatinya.
Satu tangan Brizan mengusap puncak kepala Rachel dengan sayang. Sedangkan satu tangannya menepuk punggung gadis itu. Dia tahu, pergulatan emosi Rachel. Sekarang, gadis itu tidak butuh kata-kata. Hanya sebuah pelukan dan telinga yang siap mendengarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conqueror
General FictionTampan dan mapan. Dua kriteria itu pasti diinginkan para wanita, termasuk Rachel. Pernah dianggap rendah, membuatnya terpacu untuk memiliki keluarga yang dihormati. Sayang, Rachel justru harus melewati jalan naik turun untuk keinginannya itu. Apakah...