"Apa seperti itu, Hel?" Billy menatap Rachel dan lelaki berkacamata itu bergantian. Dia tidak percaya jika Rachel memiliki sifat seperti itu. Namun, melihat wajah Rachel yang begitu pucat dia merasa memang ada yang tengah disembunyikan.
"Coba aja lo tanya ke Rachel." Setelah mengucapkan itu Owel kembali ke meja. Dia menepuk salah satu pundak temannya. "Tantangan lo udah selesai. Gue udah bicara sama mantan gue!" Dia melirik Rachel dengan senyum puas.
"Lo tadi ngomong apa? Kok mereka saling diem gitu?" tanya sahabat Owel.
Owel duduk ke kursi, sambil memperhatikan Rachel yang menunduk. Dia mengangkat bahu acuh tak acuh. "Udah, mending kita lanjutin."
Sebenarnya Owel harus merayu Rachel. Namun, dia masih sebal ke mantannya itu, hingga kalimat itulah yang tercetus.
Di meja yang duduki dua orang, aura sekitar sangat tegang. Rachel sejak tadi hanya menunduk, takut bertatapan dengan Billy. Sedangkan Billy terus menatap Rachel menuntut jawaban.
"Hel. Tolong kasih tahu kalau itu semua nggak bener," pinta Billy sarat kekesalan.
Perlahan Rachel mengangguk, membuat Billy tidak percaya. Dia lalu menatap Billy dengan bibir tertekuk ke bawah. "Bener, Kak."
Billy tidak bisa berkata-kata. Dia mengalihkan pandang. Jika alasan Rachel mendekatinya hanya karena harta, entah Billy harus melakukan apa. "Lo deketin gue juga karena kaya?"
Rachel mengangguk lalu menggeleng. Dia beranjak dari tempatnya dan duduk di samping Billy dan menggenggam kedua tangannya erat. "Dulu gue emang nyari pacar yang kaya, Kak. Biar gue bisa nyaingi papa. Lo pasti tahu keadaan keluarga gue kayak gimana."
Tubuh Billy membeku. Birzy pernah bercerita tentang keluarga Raka yang hancur.
"Gue rasa punya pacar kayak bikin papa sadar kalau anak yang udah dibuang juga bisa hidup enak," jelas Rachel dengan mata berkaca-kaca. "Tapi, terlepas dari itu semua, gue juga berharap ada cowok yang bener-bener cinta ke gue." Rachel mengusap sudut matanya lalu menarik napas panjang.
"Dari dulu gue nggak pernah ngerasa disayangin seorang ayah. Mungkin itu kenapa gue selalu nyari perhatian ke beberapa cowok. Termasuk Kak Billy."
Billy mulai iba. Dia tidak menyangka gadis seceria Rachel memiliki pengalaman menyedihkan. Dia menyentuh pundak Rachel dan mengusapnya pelan. "Sorry."
Rachel mengangkat wajah, lalu menggeleng tegas. "Lo nggak salah, Kak. Gue yang salah," jawabnya dengan napas tercekat. "Kalau Kak Billy nggak mau deket-deket sama Rachel nggak apa-apa kok."
Saat Rachel hendak beranjak, Billy langsung memeluk. Dia mendekap Rachel erat, berharap gadis itu nyaman dengan pelukannya. "Gue nggak tahu kenapa, rasanya gue percaya sama lo. Lo cewek polos, nggak mungkin cuma mau nguasain harta doang."
Setelah beberapa detik berpelukan Billy mengurai pelukannya. Dia menghapus air mata Rachel. "Terus, sekarang papa lo di mana?"
Rachel mengangkat bahu. "Di rumahnya, kali. Sama istri barunya."
Billy menepuk pundak Rachel mencoba menenangkan. "Kalau setelah ini gue minta lo jangan nyari cowok kaya apa lo mau?"
Rachel terdiam. Di satu sisi ambisinya untuk berpacaran dengan lelaki kaya masih berkobar. Namun, di satu sisi dia merasa tindakannya ini salah. Beruntung Rachel berhadapan dengan Billy yang begitu sabar. Jika, berhadapan dengan lelaki lain, entah apa jadinya.
"Lo masih sakit hati sama papa lo?" tanya Billy kala tak kunjung mendapat jawaban.
Rachel mengangguk. "Iya. Gue pengen bikin papa nyesel."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conqueror
General FictionTampan dan mapan. Dua kriteria itu pasti diinginkan para wanita, termasuk Rachel. Pernah dianggap rendah, membuatnya terpacu untuk memiliki keluarga yang dihormati. Sayang, Rachel justru harus melewati jalan naik turun untuk keinginannya itu. Apakah...