Sudah satu jam Rachel duduk sambil memandang surat dari papanya dengan gamang. Dia belum tahu mengapa papanya tiba-tiba mengirim surat itu. Terlebih, selama beberapa waktu terakhir tidak ada perbincangan apapun. Rachel merasa ada yang disembunyikan, tapi dia takut menghadapi sebuah kenyataan. Terlebih jika itu menyakitkan.
Rachel duduk bersandar sambil membuang muka. Namun, beberapa detik kemudian dia kembali menatap map itu. Dia mengambil benda itu dan membacanya perlahan. "Kenapa papa nggak ngomong langsung, sih?"
Mata Rachel mendadak buram. Dia takut, ketika seorang ayah tiba-tiba menyerahkan harta kepada anak-anaknya. Entahlah, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi. Dia berharap papanya masih seperti dulu yang terkesan dingin. Meski itu sebenarnya juga melukainya.
"Ah! Pasti ini akal-akalan papa biar gue hubungin dia!" Rachel mengangguk, menganggap seperti itu.
Rachel melempar berkas itu ke atas meja lantas beranjak. Tubuhnya terasa lengket dan gerah. Padahal, niatannya saat sampai rumah langsung mandi. Namun, dia justru memandang surat itu dengan pikiran berkecamuk.
Saat masuk kamar, Rachel terdiam. Dia melihat ranjangnya kosong dan kondisinya seperti saat dia meninggalkan tempat itu, selimut tidak berada di tempatnya. Rachel mengedarkan pandang, beberapa barang Meda masih ada di tempatnya. Hanya alat make up yang menghilang dari meja rias.
Rachel melangkah ke kamar lantas membuka lemari. Dia terdiam, mendapati lemari yang sebelumnya penuh sesak itu sekarang terlihat lebih longgar. Dia mengambil kaus dan celana pendek lantas berjalan ke kamar mandi.
Biasanya ketika ada Meda, kamar selalu penuh, tapi tetap rapi. Biasanya gadis itu akan menyambutnya, entah itu dengan omelan atau bercandaan. Sekarang tidak ada yang menyambut Rachel. Kehidupannya persis seperti awal-awal kabur dari rumah.
"Ck! Ujung-ujungnya gue inget papa lagi." Rachel menatap pantulan dirinya di cermin. Dia terdiam hingga air mata itu perlahan menetes. Harus diakui, dia ketakutan saat menerima surat itu.
"Enggak! Setelah ini nggak akan terjadi apa-apa. Waktu itu papa masih sehat aja. Papa masih bisa ngancem anak-anaknya. Nggak ada yang terjadi." Rachel mengapus air matanya dengan kasar. Dia menarik napas panjang dan mencoba menenangkan diri.
***
Brizan baru keluar kamar tepat pukul sebelas. Dia menuruni tangga sambil mengucek mata. Baru pukul empat subuh dia terlelap, itupun sedikit dipaksa. Dia tidak ingin menghabiskan siang hari dengan tidur. Padahal, ada Rachel di rumahnya.
"Rachel mana, Ma?" tanya Brizan sesampainya di ruang makan.
Anne mengangkat wajah, mendapati wajah Brizan yang masih lusuh khas orang bangun tidur. "Udah pulang. Kamu, sih, nggak bangun-bangun."
"Udah pulang?" Brizan terlihat kaget. "Kok dia nggak pamit? Tuh, anak!"
"Gimana mau pamit? Kamu kalau tidur susah dibangunin," ujar Anne. "Lagian, ada pacarnya di rumah malah bangun siang."
"Mama nggak tahu apa yang sebenernya terjadi." Brizan menyugar rambut ke belakang lalu berjalan menuju tangga. Sampai di kamar, dia mengambil ponsel dan mendapati lima panggilan dari Rachel.
Brizan mengacak rambut frustrasi. Dia sampai tidak mendengar ponselnya berbunyi. "Ah! Kenapa lo nggak bangunin kayak kemarin, sih, Hel?" Dia masih saja menyalahkan Rachel. Kemudian, dia mencoba menghubungi pacarnya itu.
Tut... Tut... Tut....
"Ck!" Brizan berdecak saat Rachel tidak bisa dihubungi. Dia kembali menghubungi, tapi hasilnya tetap sama.
Brizan melempar ponsel ke ranjang lalu berjalan ke kamar mandi. Dia sudah merencanakan untuk sarapan bersama kemudian mengantar Rachel pulang. Namun, rencananya gagal total karena dia tertidur. Selain itu, Brizan ingin mengajak Rachel jalan-jalan agar benar-benar melupakan rasa sedihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conqueror
General FictionTampan dan mapan. Dua kriteria itu pasti diinginkan para wanita, termasuk Rachel. Pernah dianggap rendah, membuatnya terpacu untuk memiliki keluarga yang dihormati. Sayang, Rachel justru harus melewati jalan naik turun untuk keinginannya itu. Apakah...