"Hiks...." Rachel menangis sambil menghapus air mata. Sungguh, dia merasa ditipu habis-habisan. Billy yang sebelumnya begitu dikagumi, ternyata tega menyimpan rahasia besar itu dengan baik. Sebelumnya dia benar-benar tidak berpikiran bahwa Billy akan terlibat. Dia dibohongi oleh orang-orang sekitarnya.
Rachel berjalan cepat hingga perutnya terasa sakit. Namun, dia tidak kunjung berhenti, baginya hatinya jauh lebih sakit. Dia berjalan sambil menunduk dan menutup mulut menahan isakan. Dia tidak tahu harus pergi ke mana. Satu yang ada dipikirannya, dia harus mencari suasana tenang.
Duk....
Kaki Rachel menabrak batu yang cukup besar. Dia menghentikan langkah merasa kakinya berdenyut nyeri. Namun, dia hanya diam sambil terus menangis. "Kenapa, sih, hidup gue kayak gini?"
Rachel berjongkok menumpahkan tangisan. Dia membingkai kepala yang terasa pening. Setelah itu berdiri dan kembali melangkah dengan cepat. Beberapa kali dia hampir kehilangan keseimbangan, tapi tetap memaksa untuk melangkah.
"Gue bener-bener nggak berguna. Gue orang paling nggak berguna!" Rachel menggerutu dengan mata menyorot tajam. Dia yakin, mamanya di alam sana pasti kecewa karena dia tumbuh menjadi sosok yang tidak peka dengan kondisi sekitar. Padahal, mamanya selalu mengajari untuk berbuat baik dan selalu memperhatikan orang-orang yang selalu disayang. Namun, dia tidak pernah melakukan itu.
"Gue bener-bener butuh mama." Rachel menghapus air mata lalu mengucek mata itu dengan kasar. Pandangannya terasa buram, tapi dia tetap melangkah.
Duk....
Rachel kembali tersandung, kali ini membuatnya sampai tersungkur. Dia cepat berdiri lantas berjalan cepat. Dia ingin kembali ke masa sebelum papa meninggalkannya. Rasanya dia ingin ke dimensi lain, kembali seperti dulu. Benar-benar ingin hidup seperti dulu.
Beberapa saat kemudian, Rachel sampai di rumah lamanya. Dia memandang rumah yang terlihat gelap. Dulu, rumah itu selalu terang karena dia sering menunggu sang papa pulang kerja. Dia ingin kembali ke rumah itu, bersama orang-orang yang disayang.
Rachel melangkah mendekat dan duduk bersandar di pagar. Dia terbayang, hari perceraian kedua orangtuanya. Dia menangis sendirian di rumah dan merasa hidupnya benar-benar kacau. Kemudian dia menunggu mamanya dengan duduk di halaman. Dia duduk sambil memeluk lutut seolah hanya itu sesuatu yang bisa dipeluk. Sekarang, dia kembali merasakan hal ini lagi. Dia memeluk lututnya sendiri.
***
Drttt.... Ponsel di atas meja itu bergetar.
Brizan melirik ponsel dan melihat nama kakaknya. Dia mendengus, merasa kakaknya akan menagih revisi pekerjaan. Padahal, baru satu jam lelaki itu memberinya kerjaan baru. Brizan dengan enggan mengangkat panggilan itu.
"Bri. Tolong lo cari Rachel."
Tubuh Brizan langsung menegang. Dia memastikan sekali lagi jika yang menghubungi benar-benar kakaknya. "Bentar. Rachel kenapa?"
"Nanti gue ceritain. Sekarang dia pergi," ujar Billy. "Lo pernah diajak ke rumah orangtua Rachel? Gue rasa dia pergi nggak jauh dari situ."
"Oke! Bakal gue cari." Brizan beranjak, meninggalkan setumpuk pekerjaan yang seharusnya diselesaikan malam ini juga.
"Kabarin kalau Rachel udah ketemu." Setelah itu sambungan terputus.
Brizan berjalan dengan langkah cepat. Dia benar-benar khawatir sekarang. Apa yang terjadi dengan gadis itu? Tadi pagi mood Rachel memang kurang bagus, karena itu dia datang dengan membawa bunga. Dia pikir, selanjutnya tidak terjadi apa-apa.
"Lo ke mana?" Brizan menggumam. Dia mencari kontak Rachel dan mencoba menghubungi.
Tut... Tut... Tut.... Rachel tidak mengangkat panggilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conqueror
General FictionTampan dan mapan. Dua kriteria itu pasti diinginkan para wanita, termasuk Rachel. Pernah dianggap rendah, membuatnya terpacu untuk memiliki keluarga yang dihormati. Sayang, Rachel justru harus melewati jalan naik turun untuk keinginannya itu. Apakah...