Dua orang itu turun dari mobil dengan wajah cemas. Mereka tidak masuk ke arah lobi hotel, melainkan lewat samping ke arah pantai. Entah kenapa, feeling mereka mengatakan orang yang mereka cari sedang di pantai.
Billy yang lebih yakin. Brizan menginap di hotel yang sering di tempati selama di Bali. Selain itu Brizan paling suka menghabiskan waktu saat matahari terbenam.
"Bener mereka nginep di sini, Kak?" Meda mengedarkan pandang ke arah pantai yang cukup sepi.
Billy mengangguk yakin. Dia mengedarkan pandang ke setiap sudut hingga melihat dua orang sedang duduk berdua. Billy lantas melirik Meda. "Tengok sebelah kiri, Med."
Meda melihat dua orang yang membelakanginya. Dia menoleh ke Billy dengan wajah pucat. "Mereka terlihat bahagia."
"Sepertinya. Ayo, ke sana!" ajak Billy tak sabaran. Dadanya terasa sesak. Dia merasa ada kabar buruk yang akan diterima sebentar lagi. Billy menghentikan langkah, dia menunduk lalu menghela napas panjang. "Lo siap?"
Meda mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Melihat Rachel bercanda bersama Brizan membuatnya ingin menangis. Meda iri dengan Rachel.
"Tenang, Med. Jangan mikir aneh-aneh," kata Billy lalu berjalan mendekat.
Kira-kira sekitar sepuluh langkah dari targetnya, Billy dan Meda berhenti. Mereka mendengar tawa lepas dari Brizan dan Rachel, tawa yang membuat hati mereka sakit. Tatapan mereka tertuju ke dua orang yang sedang berpelukan itu dengan pandangan terluka. Lantas terlihat Brizan mendekat, melingarkan tangan ke leher Rachel.
"Kalau udah cinta, pasti seburuk apapun terlihat baik."
"Ya, sih. Kalau cinta emang gitu." Rachel menjawab.
Meda dan Billy berpandangan sejenak, kaget mendengar kalimat itu. "Cinta?" tanya mereka bersamaan.
Dua orang yang asyik bercanda itu menoleh bersamaan. Mereka kaget melihat Meda dan Billy berdiri tidak jauh dari mereka.
Rachel yang lebih dulu sadar seketika berdiri. "Meda. Kak Billy."
Brizan membuang napas panjang, sadar jika waktunya bersama Rachel telah habis. Dia berdiri dan menatap Billy yang mengeraskan rahang. "Kalian udah lama?"
Air mata Meda menetes. Dia melihat bagaimana canggungnya Rachel dan Brizan. Meda mengindikasikan jika dua orang itu sebenarnya sama-sama cinta. Menyadari hal itu Meda berbalik dan berlari menjauh.
"MEDA!" Rachel berteriak sambil mengejar sahabatnya. Dia tidak menyangka akan seperti ini, apalagi Meda mendengar ucapannya. Dia terus berlari hingga mencekal pergelangan tangan Meda. "Gue bisa jelasin semuanya, Med."
Dada Meda terasa sesak. Dia menghapus air mata dengan punggung tangan lalu menoleh. Dia mencoba tersenyum, tapi tak bisa. "Kalian ternyata pergi berdua ke Bali. Kenapa nggak ngasih tahu?"
Ditanya seperti itu Rachel gelagapan. Dia mengalihkan pandang lalu menggeleng. Dia tidak bisa menyalahkan Brizan karena mengajaknya pergi ke Bali.
"Kalian tadi juga deket banget. Lo suka dia?" tanya Meda dengan napas tercekat.
Sontak Rachel menoleh, melihat raut kesedihan sahabatnya. Dia menunduk, selama mengenal Meda, sahabatnya itu tidak pernah menangis seperti ini. Rachel mendekat dan memeluk Meda dengan erat. "Med. Jangan sedih."
Meda menepuk dadanya yang terasa sakit. "Gimana gue nggak sedih? Lo yang bikin gue kayak gini."
Rachel mengeratkan pelukan dengan air mata yang mulai turun membasahi pipi. Dalam hati dia berat harus memilih. Dia menyayangi Meda, tapi juga mencintai Brizan. Tapi sahabat jauh lebih penting, bisik hatinya. "Ini yang terakhir kalinya, Med. Sorry gue nggak jujur," bisik Rachel penuh bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Conqueror
General FictionTampan dan mapan. Dua kriteria itu pasti diinginkan para wanita, termasuk Rachel. Pernah dianggap rendah, membuatnya terpacu untuk memiliki keluarga yang dihormati. Sayang, Rachel justru harus melewati jalan naik turun untuk keinginannya itu. Apakah...