58 || Viola kambali

211K 19.7K 2.9K
                                    

Gue merebahkan diri disebelah pak Arkan. Cowok itu ternyata belum tidur. Berhubung dia masih marah sama gue, jadi mau gak mau gue harus membujuk biar dia enggak marah lagi. Walaupun kali ini agak susah sih. 

Dengan ide yang sedikit gila. Gue meraih guling dan mendekapnya erat.  Dia tipikal orang yang suka di peluk sebelum tidur.

Pak Arkan melirik gue sekilas.

"Kenapa?" Tanya gue bingung. Pak Arkan tidak menjawab.

"Gak." Jawab pak Arkan ketus.

Gue tersenyum geli. Mempertipis jarak seraya mempererat pelukannya pada guling tersebut. "Masa?"

"Ngapain sih Ley peluk-peluk guling?" Pak Arkan berdecak sebal. Tangannya merebut paksa guling itu dan digantikan dengan tubuhnya sendiri.

Gue ketawa puas, kena kan lo. "Katanya masih marah?"

"Pending dulu." Jawab pak Arkan malas.

"Jang-"

"Arkan." Panggil seseorang dibalik pintu. Gue sama pak Arkan melirik ke arah sumber suara secara bersamaan.

"Viola?" Tanya gue setengah sadar.

Viola tersenyum kecil, "Hai, Ley."

"Ngapain kesini?" Pak Arkan menggangkatkan sebelah alis heran. Gue menunduk melihat reaksi pak Arkan tapi pak Arkan mukanya biasa aja.

"Hm ... mau ngasih obat." Viola berjalan pelan mendekat. Gue masih belum sadar.

Viola masih dirumah ini?

"Kata tante kamu harus minum obat biar besok nya enggak demam." Lanjutnya.

"Taro aja." Pak Arkan membalikkan tubuhnya.

Gue yang masih canggung cuma bisa tersenyum kikuk. Terlebih lagi kalau mengingat dulu. "Makasih Viola."

Viola mengangguk dan berbalik keluar kamar, "Sama-sama."

Setelah Viola pergi. Gue mencoba duduk, mencerna semua kejadian barusan. "Viola masih disini?"

Pak Arkan ikut duduk di sebelah gue lalu menggangkatkan bahunya acuh, 
"Gak tau."

"Kamu enggak-"

"Enggak Ley," Pak Arkan menatap gue tidak suka, "Aku sama dia udah enggak ada apa-apa."

"Minum obat dulu ya?" Gue mengalihkan pembicaraan. Pak Arkan menggeleng. Gue menghela nafas pelan. "Biar cepat sembuh."

"Aku enggak sakit."

"Sekali ini aja." Bujuk gue halus.

Pak Arkan tetap menggeleng. "Jangan mikir macem-macem aku sama dia enggak ada apa-apa."

"Jangan kecewain aku lagi." Ujar gue miris. Ya ... mau gimana lagi? Gue sedikit trauma dengan kejadian kemarin-kemarin.

"Janji." Pak Arkan mengulas senyuman kecilnya.

Gue menghembuskan nafas lega, "Yaudah kalau gitu minum obat."

"Enggak mau."

"Coba bilang maunya gimana?" Gue menyorot pak Arkan lelah.

"Gerah Ley." Pak Arkan mendongak. Pelipisnya dipenuhi oleh keringat.

Dia bilang gerah? Yang benar aja woi! Ini udah tangah malam dan dia ngerasa gerah?

"Aku kipasin mau?" Gue menawar diri. AC enggak ngaruh sama sekali ternyata.

"Mau."

Gue mulai mengerakkan tangan bergerak maju mundur. Berasa babu ya.

"Terus Ley." Pak Arkan mengeluh ke-enakan saat angin nya mengenai wajahnya.

Si anjir keenakan dia.

"Tidur." Ujar gue pelan sesekali memperhatikan bola mata pak Arkan yang udah mulai sayu.

***

Hingga pagi hari, cahaya matahari sudah mulai terlihat. Gue melirik jam dinding masih pukul 7 pagi.

"Eugh ..." Suara erangan kecil keluar dari samping terdengar sangat parau.

Pak Arkan membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. Gue hapal betul nih dosen pasti ogah buat mandi pagi.

Gue mengikat rambut dengan asal. Memfokuskan padangan terlebih dahulu. Seusai-nya gue berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk cuci muka. Hari ini libur. Tidak ada jadwal pergi ataupun acara.

"Pagi ku cerah, matahari bersinar~" Gumam gue pelan.

"Ley ..." Pak Arkan memanggil gue dari luar kamar mandi dengan suara khas bangun tidurnya, "Kaley ..."

"Bentar," Teriak gue seraya keluar dari kamar mandi  "Kenapa?"

"Kamu ada ~~~" Pak Arkan bertanya tapi enggak jelas banget ngomong apaan.

"Apa?" Tanya gue heran.

"Sini." Kedua tangannya dibuka.

Gue ngerutkan kening tidak mengerti.

"Peluk Ley." Rengek nya.

"Gak mau." Gue menggeleng ogah, "Bagun dulu, sikat gigi sana!"

Bruk!

Pak Arkan menarik tangan kanan gue dengan keras sehingga menubruk diatas tubuhnya. Dia memeluk gue keceng benget pemirsa!

"Sesak nafas mas!" Gue berontak.

"Nah gini kan anget." Pak Arkan memejamkan matanya.

"LEPAS-!"

"Diam."

Pale lu diam!

"Kekencengan meluknya."

"Sayang." Panggil pak Arkan lembut.

Okey, dalam itungan dari tiga lo harus kabur. Jaga jarak aman kalau udah kaya gini.

"Masih pagi gak usah aneh-aneh." Gue menatap pak Arkan dari dekat ogah-ogahan.

"Yaudah nanti malam aja kita aneh-aneh nya gimana?" Pak Arkan tersenyum licik.

"A-apaan sih!"

"Gitu aja gugup, gimana nanti?"

"Awas lepas!" Gue mencoba membuka lilitan tangannya tapi nihil ini terlalu susah, "Ayolah lepas~"

"Cium dulu." Pak Arkan menujuk bibir.

Gue memutar bola mata malas. ilfil banget gue liatnya. "Enggak."

"Yaudah gini aja terus." Pak Arkan memasang muka yang super nyebelin.

Gue mendengus. Mendekatkan wajah kearahnya.

"Kaley, Ar-" Sontak kita berdua mengalihkan padangan kearah suara yang familiar itu dan lo semua tau itu siapa? Itu nyokap nya pak Arkan. Mampus! "Eh? kalian lagi ngapain?"

Pak Arkan menatap ibu nya sediri dengan santai, "Bikin cucu Ma."

***

Dosen KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang