60 || Manja

228K 20.2K 3.9K
                                    

"Minggu depan kamu sidang skripsi Ley." Ucap pak Arkan.

Keajaiban dunia macam apa ini?

Mata gue melotot kaget, hah demi apa gue minggu depan skripsi? Gue memiringkan badan menghadap pak Arkan menatap mukanya dengan tatapan tidak percaya.

Pak Arkan menggangkatkan sebelah alisnya heran, "kenapa?"

"I-ini seriusan?" Gue mengedipkan mata berkali-kali, "aku sidang skripsi?"

Pak Arkan mendengus lalu mengangguk, "iya biar cepat-cepat wisuda terus lulus deh."

Pak Arkan nyengir aneh. Gue bergidik ngeri ngeliat reaksi mukanya.

"L-lulus ya?" Gue mengigit bibir bawah nervous.

"Iya lulus, habis lulus kita honeymoon terus kita-"

"Oke, stop!" Gue membungkam mulutnya dengan telapak tangan.

Pak Arkan memutarkan matanya kesal.

Gue bangkit dari ranjang menuju kulkas, meneguk air lalu meminumnya dengan rakus. Jantung gue berdegup kencang.

Mati lo Ley, gak bisa ngehindar lagi.

"Ley, kamu kenapa?" Pak Arkan duduk kursi.

Gue memutar balikkan badan menjadi menghadapnya. Meremas gelas kaca dengan kuat. "Ah, enggak."

"Belajar yang benar, bentar lagi sidang." Pak Arkan menatap gue dalam.

Sontak gue mengalihkan padangan dari tatapan pak Arkan melihat jendela luar dengan perasaan campur aduk. "Iya."

Raut muka pak Arkan sudah mengekspresikan agar gue menghampirinya. Gue membuang nafas kasar dan merebahkan diri di atas sofa. Mencoba menenangkan pikiran sejenak.

Pak Arkan mendekat. Dia ikut merebahkan diri di samping dan menatap gue dari bawah.

Hening.

Sampai suara panggilan ponsel gue berbunyi.

"Siapa?" Tanya pak Arkan lalu bangun dari posisi tidurnya.

"Gak tau nomor gak di kenal." Gue menggangkatkan bahu acuh. Lalu menggeserkan tombol hijau untuk menghubungkan telefon.

"Hallo?" Gue berbicara terlebih dahulu.

"Besarin volumenya." Ucap pak Arkan. Gue mengangguk dan memegang ponsel di tengah-tengah kita.

"Hallo ... Ini Kaley kan? Gue Alvaro."

Gue melirik pak Arkan khawatir. Pak Arkan memandang gue sinis, dia udah ambil ancang-ancang buat bangkit dari sofa, dengan cepat gue menarik pak Arkan agar duduk kembali.

"Lepas." Pak Arkan berontak.

Gue meringis dan langsung mematikan telefon itu.

"Aku juga gak tau kenapa Alvaro punya nomor aku," jelas gue tanpa di minta, "kan kemarin nomor aku di ganti sama kamu."

Pak Arkan diam, "Iya juga ya."

Hadeh dasar Bapak-bapak!

Dan diakhiri dengan perdebatan kecil sebelum tidur.

Sore harinya gue duduk di halaman belakang rumah yang langsung berhadapan dengan sebuah sungai kecil, kedua bola mata gue terpejam rapat menikmati hembusan angin.

"Kaley." Gue tersentak kaget mendengar itu dengan cepat gue mendongak menatap sang pelaku.

Di sana terdapat pak Arkan yang sedang berdiri di dekat jendela kamar.

Gue terkekeh kecil melihat raut mukanya yang benar-benar bt pasti tuh anak baru bangun tidur siang.

"Sini!" Gue melambaikan tangan agar pak Arkan turun, "ayo turun kebawah kesini!"

Pak Arkan menggeleng, "gak mau!"

"Yaudah diam di sana." Gue membalikkan badan menjadi memunggunginya.

"Kaley!" Suaranya mulai merengek.

Hadeuh.

"Makannya sini turun!" Teriak gue.

Pak Arkan dengan muka terpaksa turun.

Gue menggelengkan kepala pelan.

"Baru bangun?" Tanya gue. Pak Arkan mengangguk. Gue terkekeh geli melihat penampilannya begitu acak-acakan

"Aku bangun kamu-nya gak ada," adu pak Arkan.

"Aku nunggu kamu bangun tapi gak bangun-bangun," tangan gue membenarkan posisi rambut pak Arkan.

Pak Arkan mengeluh.

"Kamu habis tidur apa habis tawuran? Kok acak-acakan bagini penampilanya?"

"Habis tawuran dalam mimpi sama kamu," jawabannya enteng.

Gue meliriknya sinis.

Cowok itu tetap mengoceh tidak jelas sambil menggaruk-garuk pelan punggung tangannya karena ada bekas gigitan nyamuk kecil.

"Mulai dari besok aku bakalan fokus belajar buat sidang, kamu jangan rese ya?" Tangan gue mengambil alih tangannya pak Arkan yang masih asik menggaruk. Gue mengelus punggung tangannya pelan, "cuma beberapa hari aja."

"Emang kapan aku rese?" Pak Arkan menatap gue malas.

"Iya kamu enggak pernah rese kok. Kamu kan anak baik." Ujar gue gemas.

"Iya aku anak baik." Pak Arkan tersenyum lebar.

"Mandi sana," perintah gue.

"Mau makan Ley," pinta pak Arkan.

"Aku belum masak," gue menggeleng pelan, "gofood aja gimana?"

"Makan di luar aja yuk!" Ajaknya, "belum pernah kan kita makan di luar berdua?"

Benar juga, tapi-

"Ayo Ley," pak Arkan menarik pergelangan gue dengan antusias.

Gue mengangguk pasrah, "yaudah ayo."

Jalanan ibu kota memang selalu ramai. Gue memandang lurus ke depan, sesekali melirik tukang dagang kaki lima.

Tukang dagang kaki lima lebih menarik daripada restoran.

Sesampainya di tempat makan gue melihat-lihat menu makanan.

"Kamu pesan apa Ley?"

"Sate ayam aja sama nasinya," jawab gue, "kamu?"

"Udang aja."

"Jangan macem-macem cari yang lain!"

"Tapi Ley-"

"Cari yang lain," gue membuka menu ke halaman berikutnya, "kamu alergi udang kan?"

Pak Arkan membuang nafas panjang lalu memilih pesanan menu yang lain.

Setelah beberapa saat kita selesai makan. Kami kembali ke rumah untuk bersih-bersih badan, lagian ini sudah mau malam blum lagi besok kuliah takut kesiangan.

***

Dosen KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang