Bagian Ke-9

347 49 0
                                    

"Kamu yakin kita masuk ke sana?" tanya Claire dengan menunjuk muara lorong mirip gua yang mana terdapat tanaman yang menjalar disekitar mulutnya.

Hazel mengangguk mantap.

"Tapi, kita ngapain ke situ?" tanya Claire lagi masih tidak sepenuhnya percaya pada ajakan Hazel.

"Kalau lo keberatan kita bisa balik ke kelas lagi aja sekarang."

"Tunggu dulu. Memangnya kamu sudah pernah kesana?"

"Ya. Hampir setiap hari malah."

Dengan langkah yang masih ragu-ragu, Claire berjalan lebih dulu untuk mulai memasuki pintu lorong goa. Tempat itu sendiri berada di area belakang kantin yang mana jalan buat menuju kesitu harus melewati jalan setapak samping gedung sekolah. Tidak ada satu orang pun yang menjadikan lokasi itu sebagai tempat nongkrong kecuali bagi seorang Hazel yang suka aneh-aneh.

Dalam lorong goa itu sangat gelap. Hazel menggandeng tangan Claire sembari menuntunnya untuk berjalan mengikutinya.

Hampir saja Claire meraih ponselnya untuk menyalakan senter begitu berbelok ke kanan tampak silauan cahaya dari kejauhan.

"Kita hampir sampai." ucap Hazel yang sengaja dari tadi cuma diam. Bukan karena ingin. Tapi dimulai ketika ia meraih tangan Claire dan reaksi jantungnya yang berdebar kencang membuat Hazel seakan kehilangan kosakatanya untuk bicara. Makanya dalam perjalanan singkat itu Hazel cuma diam sambil berusaha menetralkan debaran di jantungnya.

"Tangan kamu berkeringat. Apa kamu sakit?" tanya Claire begitu mereka hampir sampai pada muara cahaya itu berasal.

"Ng ... nggak ini cuma karena kepanasan aja di dalam." sahut Hazel dengan mencoba menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba memanas. Ia juga menarik tangannya setelah merasa tidak perlu lagi menggandeng Claire.

Sesungguhnya Claire tahu jelas bahwa Hazel tidak mungkin berkeringat gara-gara kepanasan di dalam, sebab sepanjang perjalanan dalam lorong hawanya sangat dingin. Tangan Claire saja sangat dingin mirip seperti habis memegang balok es. Tapi Claire diam aja dan iyain aja.

Mereka akhirnya keluar dari lorong. Rupanya lorong yang tidak begitu panjang itu mengarahkan mereka menuju tepian telaga. Kalau airnya pasang, lorong itu tidak kelihatan, tapi juga tidak serta merta menenggelamkan goa itu, hanya semakin tidak kelihatan saja. Dan kalau air sedang surut pun keberadaan lorong itu tidak begitu disadari lantaran letaknya berada di tengah-tengah rimbunan bambu. Jangan bayangkan tempat itu pada malam hari. Tentu saja suasananya berubah jadi horor. Tapi sayangnya cerita ini bukan untuk memuat tentang hal yang menyeramkan.

Hazel melepas sepatunya dan meletakan di muara mulut goa. Claire mengikutinya.

"Lo orang pertama yang gua ajak kemari, Cla." kata Hazel begitu mereka duduk diayunan yang terbuat dari ban bekas dan dikaitkan diatas pohon ketapang.

"Kenapa kamu mengajak saya kemari?"

"Tadinya cuma basa-basi aja. Dan, gue kira lo bakal nolak pas kita berada di muara lorong belakang kantin itu. Tapi rupanya lo justru jalan terus buat ikutin gue. Terus gue kira lagi lo bakal ngeluh saat di dalam. Tapi ternyata nggak dan akhirnya kita sampai ke sini. Bahkan, Ara aja pas gue tarik ke jalan setapak samping gedung dia udah berontak duluan. Untuk itu, gue berterima kasih banget sama lo yang udah mau ikutin gue sampai sini." kata Hazel menjelaskan.

Claire hanya mengangguk pelan sembari menatap dalam ke arah Hazel yang juga melihat dirinya. Tapi tidak lama kemudian Hazel berpaling arah karena tidak tahan.

"Tatapan lo mematikan." caletuknya diiringi dengan kekehan diakhir yang lebih mirip nerveous.

"Haha, kakak saya juga sering bilang begitu. Omong-omong, terima kasih ya udah ajakin saya ke tempat seperti ini. Seperti yang tadi kamu bilang, saya jadi merasa terhormat diajakin ke tempat yang nggak semua orang bisa tahu tempat ini." ucap Claire dengan tulus.

"Suara lo adem ya. Gue jadi pengen dengar terus."

"Ya?"

SUNKIST || [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang