Lagi. Pulang dengan wajah penuh Lebam dimana-mana Dan pakaian yang tak layak disebut pakaian, entah sampai kapan aku bisa berhenti berkelahi, mengontrol emosi dengan lebih baik, berfikir jernih. Ku rasa, itu hanya akan jadi impian. Panji Widyaguna, kau sungguh manusia paling sengsara didunia ini. Kau, anak yang tak jelas siapa orang tuanya, tinggal berbelas tahun di pondok yatim piatu, pecundang sejati sepanjang masa. Kau sangat sempurna, bukan? Oh, dan lagi bukankah kau baru saja ditolak oleh satu-satunya gadis yang kau sukai, Wulan Damayanti. Sekarang hidupmu benar-benar sempurna.
Tak ada orang tua, hanya mengandalkan dana talangan pemerintah untuk makan dan beasiswa anak kurang mampu untuk sekolah. Sangat menggelikan.
Betapa bodohnya kau mencoba menjadi pacar gadis paling sempurna se-SMU sedang kau tak punya uang untuk sekedar mengajaknya berkencan.
"Terlambat lagi." Ibu asuhku kembali merengut kesal, aku hanya melirik sekilas sambil mengerucutkan bibir.
"Jadi, penjelasan seperti apalagi yang akan ku dengar sekarang?" dia mulai lagi. Padahal aku belum saja duduk dan mengistirahatkan diri.
Aku melanjutkan langkah kakiku menuju kamar, meninggalkannya yang sedari tadi berteriak memanggil namaku. Bahkan suaranya terdengar sampai keloteng, atau harus ku sebut, kamarku. Ku lihat diriku sendiri diwastafel, disana tertempel banyak sekali kertas, berisi impian-impianku. Impian yang mungkin tak akan pernah terwujud. Sampai kapanpun.
Aku sering terkekeh sendiri kalau membacanya. Disana ada salah satu impian yang aku tak mengerti, bagaimana bisa aku berfikir begitu jelas, seolah semuanya benar-benar ada. Aku, berada disebuah negeri yang sangat aneh, semua orang member hormat begitu aku lewat. Langit yang biru, hutan yang pohonnya bisa menari, seperti di Narnia, rumah-rumah semi permanen dari kayu dan batu. Dan bayi perempuan, yang tersenyum ke arahku. Semuanya, begitu nyata.
Disanjung dan tersanjung, Itulah yang aku rasakan disana. Seperti, memiliki sebuah keluarga. Walau setiap aku bercerita tentang ini pada seseorang hanya ledekan dan tawa membahana yang kuterima, tapi sungguh, aku benar-benar merasakannya.
Bagaimana mungkin aku tahu rasanya punya keluarga padahal aku tak pernah memilikinya. Huh, semua fikiran ini membuatku sangat lelah. Dunia antah berantah itu, dengan segala keindahannya, seolah menghipnotisku. Kalau afgan bilang "Dia, mengalihkan duniaku." Hehehe.
Ku rebahkan tubuh renta ini dikasur yang sekeras besi. Entah kenapa mataku begitu berat, sangat kelelahan. Ku coba melihat kearah jam dinding diatas pintu kamar,
"Jam setengah delapan, kenapa aku begitu," pandanganku mengabur. "mengantuk." Lanjutku sebelum benar-benar beralih kealam mimpi.
Aku merasa seperti sedang dibuai, oh enak sekali. Apa kamarku ada dialam bebas? kenapa ada angin yang menari-nari disekelilingku. Aku, aku sangat damai. Duniaku, duniaku. Aku ingin ada disana. Aku ingin menjadi pangeran. Oh tidak, maksudku, aku ingin jadi raja disana. Aku ingin disanjung, aku ingin punya ayah, aku..aku ingin, sangat ingin. Aku ingin bayi perempuan itu.
"Wujudkanlah, wujudkanlah keinginanku." Gumamku disela kantuk berat yang melandaku kini.
Kurasa aku kembali bermimpi. Suara-suara ini, burung yang entah apa namanya, sangat merdu mengalun bertautan ditelingaku. Dan, gesekan antar ranting pohon bagai biola yang sedang dimainkan oleh seorang yang sangat ahli.
"Panji, kau kembali." Sebuah suara lembut sempat tertangkap ditelingaku, sampai akhirnya dia menghilang entah kemana. Aku masih belum mau membuka mata, ini terlalu damai untuk dirusak.
"Duniaku," aku bergumam lembut. Sudah merupakan kebiasaan kurasa.
"Panji," lagi, ada suara yang mengusikku. Hanya saja ini lebih lembut dari yang tadi. "Panji, bangunlah," sekarang tubuhku diterpa gempa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Atlantik : Menuju Dunia Tanpa Batas
AdventurePanji, bocah lelaki yang tiba-tiba terbangun di negeri yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, mau tidak mau harus menjalankan perannya sebagai "pangeran" dan menyelesaikan berbagai masalah yang menantinya. Bersama dengan sahabat barunya Kartika da...