Chapter 9 . Air Terjun dibawah Batu

3 1 0
                                    


Ku coba meraih tubuh Kartika yang mulai hilang seperti ditelan oleh batu itu, bahkan tanganku seperti ikut tertarik kedalamnya. Pandanganku mengabur akibat ikut tertelan dalam batu besar itu. Ku kerjapkan beberapa kali sampai aku kembali bisa melihat dengan jelas. Masih dipenuhi keterkejutan, aku menatap sekelilingku dengan aneh –seperti saat kau kalah dalam plants vs zombie- karena cukup sulit melihat saat ini. Angin yang sangat kencang menerjang mataku dan membuatnya buta, tubuhku melayang-layang di antara awan putih yang dengan cepatnya lewat di samping kanan-kiriku, aku ... sedang ... terjun bebas.

Sayup-sayup ku lihat pancaran biru tua dibawah sana yang seketika membangunkanku dari canggung luar biasa ini. Tubuhku tergerak dengan sendirinya, meraih Kartika yang berada beberapa jengkal di bawahku lalu memeluknya erat. Erangan lemah sempat keluar dari mulutnya, tidak terima dengan perlakuanku yang seperti ini. Dia meronta pelan lalu memutar tubuhnya menghadap ke bawah. Sekonyong-konyong dia mengeratkan pelukan dan berteriak histeris –tak seperti Kartika biasanya- yang membuatku ikut-ikutan berteriak dengan konyolnya.

"Apa yang terjadi! Dimana kita!" jeritnya membuat telingaku berdenging. Kartika kembali menatap ke bawah, kembali berani seperti biasanya. "Air..." desahnya.

Dan byuurr...

Kami terjebur tepat di bawah sebuah air terjun yang menimbulkan kabut putih yang ku kira awan. Airnya berwarna biru muda dan bening –seperti kristal- bersinar-sinar dibawah pantulan sinar yang entah matahari atau bukan. Leherku serasa tercekat oleh rangkulan Kartika yang begitu eratnya. Kakiku bahkan tak menemukan dasar kolam ini.

"Panji, aku tidak bisa berenang!" Kartika mulai panik. Ku kerahkan seluruh tenagaku untuk mencapai tepi kolam ini, dengan Kartika yang masih bergelayutan di leherku.

"Kita sudah sampai." Ucapku disela-sela nafas yang memburu. Kartika memegangi bagian belakang kepalanya, mungkin masih sakit akibat benturan tadi. Aku sendiri hanya tidur-tiduran ditepian kolam yang ternyata hanya berdiameter 2 meter saja. Tubuhku serasa remuk akibat jatuh tadi, dan terasa semakin sakit karena batu-batu kerikil pipih dibawahku.

"Panji, apa kolam ini mengecil? Atau kita yang membesar?"

Satu lagi pertanyaan konyol keluar dari mulut Kartika. Aku mendengus dan memalingkan tubuhku darinya. Bodoh. Disaat-saat seperti ini sempat-sempatnya dia berfikir begitu. Padahal fikiran semacam itu tidak ada gunanya. Tidak ada sama sekali.

Kartika melangkah maju mendekati kolam, menjajal teorinya sendiri. Walau ribuan peringatan telah berusaha ku lontarkan dia tetap saja maju. Gadis yang satu ini memang benar-benar keras kepala.

"Panji, lihat!" teriak Kartika histeris, "Airnya cuman semata kaki! Lihat! Lihat!"

Terpaksa aku ikut menoleh juga.

Alhasil aku terperanjat karenanya, ku kira selama ini Kartika hanya mengada-ada, kolam yang barusan menelan tubuh kami berdua kini dalamnya hanya sebatas mata kaki. Kartika maasih diam termangu, memandangi gemericik air kebiruan di kakinyadengan mulut sedikit ternganga. Air di kolam itu berasal dari sebuah air terjun yang cukup besar dan menjulang tinggi, tapi satu tetespun tak ada yang menyentuh kami. Dan air yang turun itu seolah menari dengan lembutnya, menjadi balerina melayang di udara sebelum jatuh dengan mulus ke dalam kolam seperti para atlet lompat indah.

"Apa kau tau apa ini?" tanyaku padanya.

Kartika menggeleng lembut lalu berjongkok. Diambilnya air kolam itu dengan dua telapak tangan. "Biru. Lembut dan juga hangat." Ucapnya kemudian.

Dia memelukku erat dengan senyum yang sangat lebar.

"Kita sudah sampai! Sudah sampai!" ucapnya riang. "Kita ada di dalam The Gates of Svhen Mula!"

The Atlantik  : Menuju Dunia Tanpa BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang