Chapter 3 . Nostalgia

5 1 0
                                    


Mataku mendadak terbuka.

Bayangan itupun perlahan sirna berganti dengan atap kamar yang dari tadi kutempati. Selama beberapa saat aku termenung hingga akhirnya suara Kartika dan ketukan pintu menyadarkanku. Entah sudah berapa lama ia menunggu sambil terus mengetuk pintu. Namun, bibirku masih terkunci rapat akibat mimpi yang kualami barusan. Aku menatap kearah pintu, ketukan kembali terdengar.

"Panji, keluarlah." Seru Kartika dari luar sana.

Aku bangkit dan duduk ditepi ranjang. Kepalaku masih terasa pusing, pandanganku masih juga kabur. Ku kerjapkan mataku beberapa kali, lalu mulai melangkah.

"Ada apa?" aku hanya membuka pintunya separuh.

Kartika sedikit terlonjak kaget karena tak sadar bahwa aku sudah ada didepannya. Dia menatap wajahku dengan tatapan aneh.

"Apa?" ulangku.

"Kenapa dengan wajahmu, apa barusan kau menangis?" dia menunjuk kearah wajahku, dengan segera ku lap kedua pipiku. Benar saja, ternyata ada jejak air mata disana. "Apa kau tak enak badan?"

"Tidak. Aku baik saja."

Kembali ia menatapku penuh keraguan, dilihatnya aku dari atas kebawah.

"Kau butuh hiburan? penampilanmu kacau sekali."

Aku berfikir sejenak. Ada benarnya juga ucapan Kartika. Kurasa aku memang butuh hiburan, lagi pula ada banyak pertanyaan yang harus kuajukan padanya.

"Baiklah." Aku menyetujui. "Tunggu sebentar, aku akan merapihkan penampilanku dulu." Ucapku sebelum benar-benar menutup pintu.

Dia memasang senyum begitu melihat pintu kamarku terbuka lagi, dengan segera ia menaiki tangga menuju keluar, padahal ku kira sekarang sudah sangat larut untuk keluar.

"Kita mau kemana?" tanyaku memecah keheningan. Dia tak membalas dan terus berjalan meninggalkanku.

Entah mengapa, rasa-rasanya kaki ini sangat enggan untuk mengikutinya. Perasaan kalut akibat mimpi barusan masih menggelayuti fikiranku. Ku putuskan berhenti mengikutinya dan hanya duduk dilantai beralaskan rumput tipis. Hening. Hampir tak ada suara apapun kecuali suara debuman kaki Kartika yang nyaris tak dapat ditangkap indra pendengaran manusia.

Aku menghadap kearah barat, tepat didepan sebuah pohon berukuran besar, namun melebar kesamping. Pohon itu bercabang dua, meliuk-liuk bak lukisan cat air. Ku ikuti arah kedua cabang itu meliuk. Yang satu terbenam kebawah dan yang satunya lagi keatas seolah hendak memetik bintang. Namun ternyata, kedua cabang itu bertemu disatu titik disebelah kanan pohon, saling melilit satu sama lain. Seolah enggan untuk dipisahkan.

Aneh. Padahal jarak antara kaitan dua cabang itu dengan batang utama hampir ada lima meter, dan jaraknya dari atas tanah ada sekitar setengah meter. Ajaib, fikirku.

"Panji?" sepertinya Kartika mencariku. Menatap pohon itu membuat perasaanku sedikit membaik. Aku mulai mencari sumber suara tadi.

Ternyata diatas bangunan seanggun ini ada sebuah taman bunga, luar biasa. Benar-benar nampak seperti babylon baru saja.

"Panji, dimana kau?" Kartika kembali berseru.

Aku mendehem keras begitu tepat berada dibelakangnya, dia terlonjak kaget dan berbalik sambil memegangi dadanya. Aku terkekeh geli. Benar-benar obat pengusir kalut terbaik yang pernah ada. Dia mengerucutkan bibirnya kesal karena ulahku, lalu berbalik dan mulai berjalan lagi.

"Kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku.

"Kenapa kau menangis?"

Aku mengernyitkan dahi, bingung.

The Atlantik  : Menuju Dunia Tanpa BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang