Garuda itu sedikit merunduk sambil membentangkan sayap, "Mari saya antar, Tuan." Ucapnya ramah. Aku beranjak dari tempatku jatuh terduduk lalu melangkah kebelakang punggungnya.
"Apa semua binatang disini, bisa,"
"Berbicara?" potongnya. Aku kembali mengangguk. "Tidak semuanya, sudahlah tuan, sebaiknya kita menyusul Kartika, saya takut mereka sudah terlalu jauh untuk dikejar." "Baiklah kalau begitu," ucapku sebelum benar-benar menaiki punggungnya. "Oh, ya. Harus bagaimana aku memanggilmu?"
"Panggil saja saya Utpata Ulung, tuan muda."
"Ok, Ayo pergi Utpata!" seruku penuh semangat.
Utpata Ulung mengambil ancang-ancang, ku perperat peganganku diantara bulu-bulunya. "Apapun yang terjadi, jangan tarik buluku," ucapnya lalu,
Wush, kami terbang tinggi. Aku berteriak penuh semangat berkali-kali. "Ini sangat menyenangkan!" seruku lagi. Kami terbang semakin naik, menembus kumpulan awan, entah berapa ketinggian kami sekarang, tapi yang jelas aku masih bisa melihat daratan dibawahku yang dominan berwarna hijau tua.
Kami terbang dalam kecepatan yang cukup tinggi, bisa kurasakan hembusan angin yang sedikit menusuk mata, dan membelai pakaian tidurku yang masih setia menemani.
"Lihat kebawah, tuan." Ucap Utpata Ulung sambil menurunkan sedikit ketinggian kami.
Disana bisa kulihat pohon-pohon menjulang tinggi sekali, lebih tinggi dari pada rumah para Hogguts dan hutan pohon Rukyah. Terdapat satu daun pintu disetiap pohonnya, dan,
"Apa ini?"
"Ini rumah saya, bangsa Gadalanjar. Gada itu berarti tongkat pemukul, sedangkan Lanjar berarti panjang."
"Kenapa disebut begitu?"
"Karena kami menempati pohon-pohon yang lebih tinggi dari semua pohon di Atlantik." Ucapnya sedikit berteriak. Aku ikut tertawa bersamanya.
Kami kembali menaikkan ketinggian, di sebelah rumah bangsa Gadalanjar terdapat sebuah sungai yang sangat lebar, airnya juga sangat jernih. Bahkan aku bisa melihat rumah-rumah yang ada didalam sana.
Eh? tunggu dulu. Apa tadi aku melihat rumah?
"Itu kediaman para Arawinda tuan, mereka bisa hidup didarat maupun diair." Aku mengernyitkan dahi. Masih belum mengerti betul apa yang dijelaskan oleh Utpata Ulung tadi. "Apa kau ingin bertemu salah satu diantara mereka sebelum melanjutkan perjalanan ini, tuan?" serunya.
"Baiklah, tapi apa kita akan masuk kedalam air?" ucapku bingung. Dia malah tertawa, menyepelehkan.
"Pegangan yang kuat." Ucapnya sebelum ia menukik menuju air sungai. Aku berteriak sejadi-jadinya, sangat mengerikan. Seperti terjun bebas lalu dipaksa masuk ke dalam air. Ku pejamkan mataku.
"Basah, basah, basah," gumamku dalam hati. Kenapa lama sekali, aku jadi semakin penasaran. "Buka matamu, tuan." Ucap Utpata Ulung yang langsung kuturuti tanpa menunggu perintah kedua.
"Oh, ini, ini sangat menakjubkan," seruku lalu kembali berteriak girang. Bagaimana tidak? kami terbang menukik, bahkan hanya ujung rambutku yang tersentuh air.
Begitu hampir tiba didaratan, ia kembali terbang keposisi semula sambil terus mengurangi kecepatan. Kamipun akhirnya tiba ditepian sungai, keningku kembali berkerut. Penuh tanda tanya didalamnya.
"Mereka akan kemari, tunggu saja." Ucapnya sambil terus menatap kedepan.
Aku terperanjat begitu melihat gerakan di air. Seperti ada sesuatu didalam sana yang sedang bergerak, menuju kemari. Beberapa saat kemudian, aku bisa melihat sesuatu menyumbul keluar dari dalam air. Aku mundur selangkah, mensejajarkan jarak antara aku dan Utpata Ulung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Atlantik : Menuju Dunia Tanpa Batas
AventuraPanji, bocah lelaki yang tiba-tiba terbangun di negeri yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, mau tidak mau harus menjalankan perannya sebagai "pangeran" dan menyelesaikan berbagai masalah yang menantinya. Bersama dengan sahabat barunya Kartika da...