Aku keluar meninggalkan mereka menuju keramaian. Ku lihat beberapa orang sedang berkumpul mengerubungi seseuatu yang ternyata adalah Dahayu, sosok Arawinda yang menatapku penuh kebencian kemarin. Dia seperti sedang diolok-olok oleh yang lain, belanjaanya berceceran dimana-mana. Ku lihat ada bulir air mata mengalir dikedua pipinya. Langsung saja kudekati dan kurapihkan lagi belanjaannya.
Dia menatapku keheranan, seolah tak percaya dengan apa yang ku lakukan sekarang. Orang-orang lain pun begitu. Kuserahkan belanjaannya yang selesai kurapihkan kembali. Aku berusaha bersikap santai dihadapannya dan tersenyum.
"T-terimakasih," ucapnya lalu berdiri.
"Ya, sama-sama." Dia belum membalas senyumanku. Kami sempat saling menatap satu sama lain.
Kartika benar. Sebagai laki-laki normal, ku kira dia memang luar biasa cantik. Kulit serapuh sutera namun nampak kokoh dimataku. Dengan rambut hitam panjang lurus tanpa celah, wajahnya walaupun berhias insang dikanan-kiri namun tetap nampak ayu dan sedap dipandang mata. Sesuai namanya, Dahayu. Saat tangan kami tak sengaja berpeganganpun, bisa kurasakan kelembutan tiada kira disana.
Seolah ia diciptakan untuk mengisi fikiran para lelaki tentang khayalan menjadi yang dipilih olehnya. Matanya menatap lembut namun tajam. Siaga dalam segala medan. Bulu matanya tebal nan lentik, menyiratkan ada kelembutan yang tertanam alami didalamnya. Memabukkan. Dia sangat memabukkan, melebihi Wulan maupun Kartika. Melebihi segala apa yang ada di Atlantik maupun dunia diluar sana. Aku berani bertaruh, siapapun lelaki diluar sana pasti akan rela mengorbankan apapun hanya untuk mendapatkannya.
"Kenapa kau memandangku seperti itu?" suaranya yang tampak berwibawa namun tetap lembut membuyarkan segala fikiranku.
"Kau sangat cantik," ujarku polos.
Dia menatapku heran, "Kalau boleh, aku ingin pulang sekarang,"
"Ku antar."
"Tidak." Cegahnya. "Aku bisa pulang sendiri."
"Ayolah, aku ingin mengakrabkan diri denganmu."
"Tidak. Terimakasih,"
Aku menggandeng tanggannya yang membuatnya mundur selangkah. "Aku memaksa." Dia mendesah pelan lalu mulai berjalan disampingku, tangan kami masih bertautan. Dan, kurasa tak ada tanda-tanda darinya bahwa ia tak nyaman dengan keadaan kami sekarang.
"Jadi, kenapa kau tadi ..."
"Di remehkan?" cegatnya, memotong pembicaraanku. Aku hanya bisa mengangguk.
Bisa kurasakan pandangan setiap orang yang menatap penuh tanda tanya kearah kami, seolah kami adalah pasangan fenomenal dan sangat amat tidak wajar berjalan beriringan seperti ini.
"Sudah biasa." Balasnya.
"Kau masih marah? pada ... orang tuaku?"
"Sejujurnya, ya." Dia kembali mendesah lembut. "Apa aku salah?"
"Apa?"
"Membenci keluargamu?" tanyanya sambil menatapku. Matanya benar-benar menyiratkan kepedihan yang teramat dalam.
"A-aku tidak tahu." Dia kembali merunduk dan melanjutkan perjalanan.
"Tapi, aku tahu bagaimana rasanya menjadi sepertimu." Tukasku, "Aku paham bagaimana rasanya,"
Dia kembali menatapku, seolah mengejek semua ucapanku barusan dan mengenggapnya omong kosong belaka.
"Sungguh. Aku tahu bagaimana rasanya ... menjadi kaum yang dibuang, dan diacuhkan." Dia mengehentikan langkahnya tepat dibibir sungai.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Atlantik : Menuju Dunia Tanpa Batas
PertualanganPanji, bocah lelaki yang tiba-tiba terbangun di negeri yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, mau tidak mau harus menjalankan perannya sebagai "pangeran" dan menyelesaikan berbagai masalah yang menantinya. Bersama dengan sahabat barunya Kartika da...