Semua orang nampak bersiap-siap, seluruh pasukan berlatih keras untuk pertempuran kali ini. Martha, Sekar, Bima dan Satya juga datang ke tampatku untuk merundingkan strategi pertempuran. Entah kenapa, aku masih merasa kalau semua ini mimpi. Mimpi yang tidak pernah ku inginkan bisa ku alami.
Rasanya baru kemarin aku bertemu dengan Kartika di sebuah tempat antah-berantah. Ciuman pertama kami. Anabelle yang bersemu merah karena tak sengaja melihat adegan kami waktu itu. Kami bertiga –aku, Anabelle dan Kartika, berjalan beriringan penuh canda tawa ditengah negeri yang damai tak terusik.
Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya, gadis yang mampu meluluhkan gundukan es di kutub utara maupun selatan bumi. Gadis yang selalu menampakan senyum termanis di dunia. Dia pula yang membawaku ke dalam semua masalah ini. Masalah hati dan nurani.
Kalau saja bisa, sejujurnya aku lebih suka berada di rumah sendiri. Bersama ibu asuhku dan sebelasan adik-adikku yang lain. Melihat mereka tertawa, cara mereka memanggilku ... juga Wulan yang hanya bisa ku lihat dari jauh. Wulan yang tak pernah tersenyum untukku tapi tetap jadi nomer satu. Sosok paling cantik se-SMU, yang membuatku babak belur setiap pulang sekolah karena nekat mendekatinya.
Semuanya terlihat jauh lebih baik daripada situasi yang ku alami sekarang.
Persetan dengan keadaanku yang sebatang kara, selalu menjadi yang terakhir dan tak pernah dianggap oleh siapapun. Walaupun kehadiranku hanya angin sore dimata mereka semua, setidaknya itu mampu menyejukkan hati mereka sejenak.
Persetan dengan kenyataan hidup yang melarat dan selalu di injak-injak. Nilai rapor yang membuatku mendapat jeweran di telinga. Ataupun, kenyataan bahwa aku hanyalah anak buangan yang sering di jadikan bahan bully oleh teman-temanku yang lain.
Dari semua kesengsaraan itu, bagian terbaiknya adalah ... Dimana aku tak pernah merugikan orang lain.
"Panji, kau sedang apa disini?" terlihat tangan yang melambai-lambai didepan mataku, menyeretku kedalam dunia yang –sudah tak kusukai lagi.
"Wulan," gumamku begitu tahu siapa yang merusak segala euforia kerinduanku itu. Dia tersenyum padaku sebelum mensejajarkan tempat kami duduk sekarang.
"Melihat-lihat yang lainnya berlatih, eh?" tanyanya masih berhias senyuman. Aku hanya mengangguk lalu kembali melihat ke arah para pemanah yang sedang berlatih. Nampak Kartika diantara mereka, begitu senang mengetahui panahnya mengenai sasaran dengan tepat.
Dia berdehem kecil, "Sangat jelas siapa yang sedang kau perhatikan dari sini." Ucapnya, sinis.
Wajah porselennya itu, begitu putih dan halus. Walau harus ku akui ada lingkarang hitam di bawah kedua bola matanya, juga bulir-bulir keringat yang sedang terjun melewati leher jenjangnya itu, dia tetap saja terlihat sangat cantik.
Betapa wajah ayu-nya kini menampakkan kelelahan yang amat, tapi dia tak pernah benar-benar berhenti dan berpangku tangan pada yang lain. Apa dia makan kemarin? Kemana pipi tembemnya itu? Apa gumpalan daging di kedua sisi wajahnya itu bisa hilang hanya karena dua hari tak makan?
"Apa yang ada di fikiranmu tentangnya, Panji?" ku alihkan pandanganku ke arah Wulan. Sama cantik, hanya beda sikap dan sifat saja. Entah kenapa tak ada sedikitpun cinta saat aku melihatnya. "Apa yang kau fikirkan tentang Kartika?" ulangnya sekali lagi.
Aku menggeleng pelan sambil membuang nafas. "Tak ada." Hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Kau sedang berbohong? Tak akan mempan terhadapku tahu." Ejeknya. "Kau mungkin bisa membohongi semua orang, Anabelle, saudara-saudaramu yang lain. Bahkan Kartika. Tapi jangan harap bisa membohongiku Panji."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Atlantik : Menuju Dunia Tanpa Batas
AventuraPanji, bocah lelaki yang tiba-tiba terbangun di negeri yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, mau tidak mau harus menjalankan perannya sebagai "pangeran" dan menyelesaikan berbagai masalah yang menantinya. Bersama dengan sahabat barunya Kartika da...