Gelap mengelilingiku. Aku tak dapat berfikir jernih sekarang, karena satu-satunya hal yang ku ingat adalah wajah Kartika yang sedang menangis. Terdengar bunyi bip bip dari sampingku, berirama. Mungkin tiap detik, aku tak tahu.
"Kasihan sekali, rumah dan seluruh keluarganya hangus terbakar. Tak bersisa. Kalau petugas pemadam tidak menemukannya, dia juga pasti akan mati." Mataku perlahan terbuka, beberapa orang berpakaian putih mengelilingiku dan sedang melakukan sesuatu padaku. Perlahan rasa perih melahap tubuhku, terasa sangat sakit hingga aku tak bisa merasakan jari di tanganku.
"Dokter, apa dia akan?" seseorang menggenggam lenganku, sesekali dia siramkan sesuatu yang membuat tubuhku serasa terbakar. "Sst.. dia siuman." Mataku tak bisa melihat dengan jelas apapun yang ada didalam sini, beberapa hal yang kusadari hanyalah beberapa teriakan kecil orang-orang yang masuk dalam ruangan dimana aku berada. Seseorang memberiku suntikan dibeberapa bagian tubuhku dan memasangkan infus, bisa kurasakan bagaimana jarum-jarum itu menyengat kulitku. Perlahan-lahan akupun tertidur kembali.
Ketika kesadaranku mulai pulih, aku mulai memahami situasiku sekarang. Dimana aku hanyalah bermimpi semalam, mimpi yang begitu panjang dan terasa nyata bagiku. Kartika ataupun Anabelle adalah sosok yang tergambar dari alam bawah sadarku, semua yang ada di Atlantik tidaklah nyata dan apapun yang ada di dalamnya hanyalah keinginan bawah sadarku.
Mataku memanas dan bulir demi bulir air mata mulai berjatuhan. Bukan karena aku bermimpi buruk, tapi justru karena mimpi yang kualami adalah mimpi terindah dalam hidupku, yang membuatku tak mau bangun lagi.
"Panji," seseorang mengelus puncak kepalaku lembut. Aku merasa sangat mengenal suara ini, entah kapan dan dimana aku bertemu dengannya. "Panji aku tahu mungkin ini sangat buruk tapi..." ia menghela nafas lalu kembali mengelus puncak kepalaku. "Wulan! Belum saatnya. Ayo kemari, kita harus mengurus segala sesuatunya di bawah." Suara berat dan sedikit serak terdengar dari luar ruangan. Dan ketika mataku terbuka seratus persen, barulah bisa ku lihat wajah orang yang ku kagumi selama ini sedang menangis, tepatnya menangisiku. Wulan. Dia bangun dan menuju keluar ruangan, mengikuti perintah seorang tua tadi.
Kulihat tepat didepanku ada sebuah televisi menyala, sebuah berita kebakaran rupanya. Ku hamburkan pandanganku ke seluruh ruangan. Tubuhku tidak bisa bergerak, sakit.
"...satu jam kemudian petugas damkar berhasil memadamkan api dari kawasan padat penduduk tersebut. Kebakaran hebat ini merenggut sedikitnya 59 nyawa dan menurut informasi yang berhasil kami himpun, terdapat 1 orang selamat yang kini baru saja sekitar 30 menit yang lalu dilarikan ke rumah sakit dengan luka bakar yang cukup serius. Lebih dari 109 kepala keluarga kehilangan rumah mereka dan sedang berkumpul bersama keluarganya di posko kesehatan dan penampungan yang dibangun di sekitar lokasi. Demikian ..."
Kebakaran? Apa yang sebenarnya terjadi?
Seseorang tiba-tiba masuk dan mematikan televisi. Wulan rupanya.
"Panji," ucapnya penuh kelembutan. "Tenanglah, ada kita disini. Semua akan baik-baik saja." Dia menaruh segelas air di meja di sisiku. Aku menggeliat. Mulutku sangat kering, seluruh tubuhku terasa sangat panas seolah terbakar. Aku kesulitan bergerak.
Seorang perawat masuk menginterupsi percakapan kami, atau lebih tepatnya ucapan Wulan. "Kami akan ganti perbannya." Wulan mundur dan tirai putih kemudian melingkupi-ku. Seluruh tubuhku? Apa mungkin seluruh tubuhku diperban? Kenapa? Aku hanya bertengkar kecil dengan teman-teman brengsekku kemarin. Kurasa hanya beberapa lebam di pipi dan dadaku.
"T-Tunggu.." ucapku susah payah.
"Tolong jangan bicara dulu, anda masih dalam masa kritis." Ucap perawat itu.
Cairan panas dan menusuk melingkupi lengan kiriku secara mendadak. Ku lirik asal penyebabnya, rupanya perawat itu menyuntikkan sesuatu kedalam selang infus. Aku hanya menggeram. Perawat itu kemudian melenggang keluar.
"Saya baru memberinya suntikan, semacam pereda rasa sakit. Efeknya akan membuat pasien tertidur sementara waktu. Tolong jangan diganggu dan biarkan pasien beristirahat."
"A-apa dia baik-baik saja ?" suara perempuan tua.
"Luka bakarnya lebih dari 90%, petugas mungkin mengira dia sudah meninggal kalau dia tidak menangis ketika ditemukan. Kamipun sama terkejutnya. Dia manusia pertama yang bisa menahan rasa sakit dari luka separah itu."
"Bagaimana untuk kedepannya?"
"Kami rasa pasien akan membutuhkan beberapa operasi, jaringan epidermis di seluruh tubuhnya mengalami kerusakan yang parah. Sekalipun melakukan transplantasi kulit akan sangat susah mengingat seluruh tubuhnya terbakar hebat."
"Apa yang harus kami lakukan?"
"Apa anda walinya?:"
"A-Anu." Perempuan tua itu terdiam sesaat. "Walinya meninggal dalam kebakaran itu. Dia seorang yatim piatu disebuah panti yang ikut terbakar. Hanya dia yang selamat diantara seluruh orang yang berada di panti tersebut."
"Astaga!" beberapa orang nampak terkejut. Suasana nampak gaduh diluar sana. "Lalu, anda siapa? Kebakaran itu terjadi sangat hebat kami bahkan tidak sempat mengontrol data diri pasien-pasien yang berdatangan."
"Kami tetangganya. Anak saya satu sekolah dengan Panji."
Oh, ternyata suara perempuan tua itu ibunya Wulan.
"Rumah saya tidak terbakar karena jarak yang cukup jauh. Kami mendengar bahwa seluruh panti hangus terbakar. Anak saya juga dirawat disini."
Wulan kah?
"Dia panik dan ikut membantu proses evakuasi. Untung saja adiknya, Wulan yang barusan keluar itu langsung menolong kakaknya. Jadi hanya luka ringan saja."
"Kami tidak sengaja bertemu Panji di lorong rumah sakit sesaat sebelum dia masuk ICU. Kami dengar tidak ada yang tersisa. Kami merasa sangat iba."
Air mata mengalir begitu mendengar ucapannya. Semuanya sudah tidak ada? Ibu asuhku? Adik-adik nakal yang selalu menyambutku pulang dan mengajakku bermain?
Aku... kenapa harus aku yang bertahan hidup?
"Panji..."
Semilir angin berhembus ke arah tirai-tirai putih itu. Menmbuatnya bergoyang.
"Panji..."
Suara-suara dari luar ruangan tak dapat ku dengar lagi. Digantikan dengan bisikan lembut yang membuatku gemetar.
Rasa sakit yang hebat kembali muncul dari balik punggungku, sakitnya bahkan menembus sampai ke dada. Aku mencengkram erat kasur rumah sakit itu. Rasanya sakit sekali hingga membuatku tercekat dengan nafasku sendiri.
Aku berusaha melirik keseluruh penjuru ruangan.
Kumohon, siapapun tolong aku. Rasanya sangat sakit. Dadaku, sakit sekali.
Kugerakkan tanganku, mencoba meraih gelas yang ada di meja disamping ranjang. Merintih, tanganku bahkan lebih sakit lagi ketika digerakkan. Sobekkan kain kassa dapat kudengar dengan jelas. Kini aku bisa melihat tangaku sendiri, dililit kassa yang basah karena cairan dan juga darah.
Aku kembali mengerang.
"Panji..." suara itu semakin jelas.
Rasa sakit kembali memenuhi dada kiriku. Ku cengkram erat-erat. Tanpa sengaja gelas itu tersenggol dan jatuh. Tapi anehnya tidak ada siapapun yang menyadarinya.
Suara percikan api dapat kudengar, asalnya dari bawah ranjangku. Dengan cepat api itu merambat melalui tirai-tirai yang menggantung. Mengepungku.
Aku mencoba berteriak, tapi orang-orang diluar sana seolah tuli dan bodoh. Mereka tidak menyadari kejadian ini. Apa hanya aku?
Pasrah. Aku hanya bisa memperhatikan api itu baik-baik, berharap rasa sakit karenanya tidak seberapa. Berharap aku langsung mati karena serangan jantung daripada sakit karena terbakar perlahan-lahan.
Tiba-tiba, api itu menjadi sangat besar membantuk sesosok harimau yang nampak sangat marah. Mengaum dalam api menuju ke arahku.
Yang terakhir ku ingat hanyalah teriakan orang-orang yang samar-samar terdengar. Mungkin. Inilah akhirnya. Atau...
"Panji!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Atlantik : Menuju Dunia Tanpa Batas
AventuraPanji, bocah lelaki yang tiba-tiba terbangun di negeri yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, mau tidak mau harus menjalankan perannya sebagai "pangeran" dan menyelesaikan berbagai masalah yang menantinya. Bersama dengan sahabat barunya Kartika da...