Chapter 11 . Hari Akhir

5 1 0
                                    


Kami akhirnya berhenti di sebuah pintu yang amat sangat besar tapi tertutup kabut putih tebal. Sesa turun dari kudanya, entah mengapa namun firasatku mengatakan kalau ia akan berpidato lagi.

"Saudaraku," aku tersenyum lebar karena tebakanku benar, itu membuat Kartika menatapku aneh. "Seperti yang kalian lihat, kita sudah ada di depan gerbang yang selama ini kita impi-impikan. Bayangkan kehidupan diluar sana yang penuh kebahagiaan, anggur dan padi yang melimpah. Fikirkan anak-anak tertawa sambil berlarian secara bebas, ternak yang banyak dan desa yang ramah. Namun, butuh banyak pengorbanan untuk mencapai kebahagiaan. Dan itu pula yang akan kita lakukan sekarang."

Semua orang saling menatap satu sama lain, ketakutan. Bahkan ada seorang pemuda yang sampai menangis terisak, sang ayah hanya menatap wajahnya sedih sambil sesekali mengelus pundaknya.

"Pengorbanan yang begitu besar, harus dilakukan oleh orang yang tepat. Dan tak mungkin aku kembali mengorbankan adikku yang malang ini." Dia menunjuk ke arahku. "Panji, dan Saudaraku sekalian. Atas nama kakek buyutku dan ayahku yang sudah memintaku melindunginya, dengan ini kalian akan terus maju. Kalahkan semua yang ditemui kedepannya, jangan mempercayai musuhmu dan...patuhlah padanya, adikku Panji."

Dia menusuk jari telunjuknya dengan sesuatu yang dia pakai dikepala lalu menggariskan darah merah segar itu di dinding tebal dibelakangnya. Semua pasukan meringsek maju dengan gagah, tapi Sesa hanya tersenyum saja melihatku. Dia tak menaiki kudanya kembali. "Berjanjilah untuk melindungi Atlantik,Panji. Aku akan menyusulmu!" teriaknya dia berseru dengan lantangnya diikuti oleh pasukan yang lain.

Beberapa pemanah diantara kami berbalik kembali dan diikuti pula oleh Sesa. Mereka terus menembak ke arah langit sambil terus memacu kudanya melawan arah. Sekelebat cahaya kuning membara mewarnai langit kami, abu hitam yang baunya seperti tembakau yang dibakar berjatuhan dari atasnya. Seketika, langit yang tadinya cerah tersenyum kini berubah gelap mendung merenung. Dan yang terakhir ku lihat hanyalah kilatan api dari seekor ular dengan mahkota di kepalanya, yang hampir mengenai puncak kepalaku.

Kartika berteriak menyuruhku untuk cepat pergi.

Tapi, waktu seolah tak mau berputar. Aku hanya terpaku pada makhluk yang hampir membuatku gosong itu, yang matanya hijau seperti ruby tapi buta sebelah. Nampak sebuah sayatan merobek mata kanannya, menampilkan bekas luka yang sudah amat lama kering. Tapi sepertinya, masih terasa sakit. Dia menatapku penuh kebencian, walau aku tak tahu kenapa dia melakukannya. Tapi tatapan itu seolah membara didalam es, beku tapi mematikan.

"Panji!" Kartika menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Aku layaknya orang yang tersadar dari tidur, linglung sesaat. "Ayo, cepat kita pergi dari sini!" teriaknya. Hingga akhirnya ku pacu kudaku maju. Meninggalkan Sesa dan sisa pasukannya melawan makhluk misterius itu, sendirian.

Hutan yang sunyi sepi berubah ramai penuh gemuruh kaki kuda, menapaki tiap lekuk tubuhnya mengejar sesuatu yang sudah lebih dulu mulai menyerang. Nampak setitik cahaya dengan suara-suara yang menghantam hebat di depan kami. Dan semakin dekat kami daripadanya maka semakin kuat dan jelas pula suara itu kami dengar. Tanah luas didepan kami sudah dibanjiri dengan darah, hijaunya rerumputan sudah berubah berwarna merah. Begitu banyak teriakan dan sautan jauh di depan sana. Moegia, memukul mundur pasukan kami, hampir saja.

"Awaass! Serangan dari punggungmu!" teriak salah satu prajurit Moegia yang melihat kami datang dari arah belakang. Seketika kepanikan merajai mereka, memaksa mereka keluar dari tempat persembunyian yang nyaman. Entah kenapa pasukan yang dibawa Moegia tampak berantakan. Melakukan pola penyerangan tak terpola dan wajah mereka begitu polos dalam kebingungan. Mereka berlarian ke tengah lapang menerjang apa saja, bahkan sesekali ku lihat beberapa dari mereka justru salah melakukan penyerangan dengan membunuh kawan mereka sendiri. Dengan keadaan yang seperti itu kami menerobos masuk dengan mudah, nampak beratus meter didepan sana Martha sedang berjuang bersama pengendara kuda yang lain.

The Atlantik  : Menuju Dunia Tanpa BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang