Chapter 5 . Jalan yang Salah

6 1 0
                                    


Semua berdialog tanpa mempedulikan aku, bahkan Kartika-pun tak melirikku sama sekali setelah apa yang kulakukan di depan gua para Marthy.

"Tidak bisakah kau membuat dirimu lebih berguna ketimbang terus menerus merunduk, Panji? Karena menyesalpun percuma, gadis itu sudah pergi jauh entah kemana. Dan kau, sekali lagi menyisakan satu PR besar untuk kami semua." Cerca Danu yang geram melihatku terus menerus diam tak bertutur apapun.

Satya hanya menggelengkan kepala melihatku seperti ini, Anabelle-pun melakukan hal yang sama.

"Aku telah melakukan kesalahan, Sasa." Gumamku.

"Kau memang melakukan kesalahan, Panji."

Aku menoleh keasal suara, ternyata itu Martha. Sejak kapan dia ada disampingku? Kurasa, aku terlalu lama terhanyut dalam lamunanku sendiri.

Hari beranjak petang tanpa aku sadari. Fikiranku dipenuhi rasa kalang-kabut, masih belum sepenuhnya mencerna apa yang terjadi sekarang. Masih bingung dengan situasi yang ada.

"Panji." Suara lembut itu kembali ku dengar, setelah sekian lama ia bungkam seribu bahasa padaku. Merasa tak mendapat respon,dia menekan dagu-ku dan menolehkannya. Ku dapati wajah terburuk Kartika, dengan kerutan didahi dan kedua alis yang menekuk tajam. Dia sedang kesal padaku.

"Panji." Entah kenapa dia terus saja menggumamkan namaku. Bukankah seharusnya ia bersikap seperti yang lain, menjauhiku dan mencampakkan aku. Menganggapku tak ada. Walau sebenarnya aku tidak begitu paham tentang kesalahanku hari ini.

Hening. Sedari tadi setelah aku tak memberi respon apapun, suasana berubah jadi kaku dan cenderung tegang. Kartika sudah tak menatapku lagi, dia memandang lurus kedepan menyisakan aku yang terpaku memandanginya.

"Aku bingung. Sangat bingung." Kembali Kartika membuka percakapan tunggalnya. "Bisakah kau memberiku satu alasan, untuk semua yang terjadi hari ini?" Mata coklatnya mulai berbinar, memantulkan cahaya temaram dari barat sana. Seolah sedang berteriak, mempertanyakan kebenaran padaku. Sayangnya, aku juga tak tahu.

Dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat, lalu menatapku.

"Panji, aku tahu kau masih diliputi kebingungan. Tapi, ku mohon jawab pertanyaanku dengan penuh kejujuran." Digenggamnya tanganku dengan sangat lembut. "Bisakah kau melakukannya?"

Aku mengangguk lemah. Dia kembali menarik nafas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri entah untuk apa.

"Apa kau pernah mengajaknya ke gua? Gua dimana lukisan ramalan terbentuk."

Aku kembali mengangguk.

"Apa kau membawanya ke hutan para Marthy?"

Aku menggeleng pelan. "Dia yang mengajakku kesana."

Kartika menatapku dengan tatapan yang tak aku mengerti. Sangat intens dan terpaku.

"Apa kau menemaninya masuk mencari sebuah tanaman didalam gua sana?" Aku kembali mengangguk. Kartika menggeleng pelan dan melepaskan genggaman tangannya.

"Oke. Ini pertanyaan terakhir, setelah itu kau pergilah tidur. Ku lihat kau sangat kacau akhir-akhir ini." Mataku masih terpaku menatapnya. Apa dia selalu mengkhawatirkanku selama ini? Apa dia selalu memperhatikan emosi ku?

"Apa kau mencintainya?"

Ku hamburkan kepalaku diatas bantal, masih teringat akan tindakanku barusan yang langsung menghambur pergi dan tidak menjawab pertanyaannya yang terakhir.

Aku tidak bisa menjawabnya.

Entah kenapa, semua kata-kata dan anggukanku sirna tak berbekas begitu dia menanyakan hal yang selama ini ku takutkan. Walau aku tahu apa jawabannya, tapi tetap saja aku takut. Takut kalau Kartikalah yang akan menanyakannya. Seperti tak berperasaan aku meninggalkannya begitu saja, menorehkan luka yang lagi-lagi tak dapat dimaafkan. Entah ekspresi apa yang ia keluarkan saat itu, tapi sebelumnya aku sudah melihat bulir halus di kedua bola matanya. Apa setelahnya ia akan menangis?

The Atlantik  : Menuju Dunia Tanpa BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang