Chapter 8 . Misi Bunuh Diri

3 1 0
                                    


Malam kemarin, aku tidak bisa memejamkan mataku barang sebentar saja. Detak jantung yang terus berpacu seperti larinya seekor kuda, keringat dingin yang mengucur sepanjang malam, aku sangat gugup bahkan sampai pagi tiba. Matahari bahkan belum muncul ke permukaan, tapi aku sudah mulai bersiap-siap. Ku keluarkan Danu –nama kudaku yang sengaja ku namai begitu- dari kandangnya dan siap menunggu perintah dari Sasa di perbatasan terakhir. Itu adalah tempat dimana pasukan kami bersiaga siang malam menunggu tanda-tanda dari kedatangan pasukan Moegia.

Sesuai isi rapat kemarin, hari ini sudah mulai diberlakukan tiga pagar berpintu di sekitar benteng pertahanan. Pintu pertama berjarak lima kilo meter dari benteng, sebagai pertahanan terakhir. Pintu kedua berjarak lima belas kilo meter dari benteng dengan jumlah pasukan paling banyak dari ke-semua pintu, sebagai pertahanan utama. Pintu ketiga adalah gerbang perbatasan (perbatasan terakhir) yang berjarak dua puluh kilo meter dari benteng sebagai alat pertahanan awal yang memiliki pasukan mumpuni.

Berdasarkan pendapat para ahli strategi, kami semua menyetujui kalau benteng dibuat sesempit mungkin. Namun, tentu saja ada empat lemah duwur lainnya disekitar kami, disana tempat pasukan lainnya menunggu aba-aba untuk menyerang. Empat lemah duwur tersebut masing-masing ada di sebelah barat, timur, utara dan selatan dari benteng utama dan berjarak hanya lima kilo meter dari perbatasan terakhir. Semua itu kami gunakan sebagai jebakan atau rencana cadangan saat dalam kesulitan yang mendesak.

Biarpun semua itu dirasa cukup untuk menyerang pasukan Moegia yang jumlahnya hanya sepertiga dari bangsa kami, tentu saja kami juga patut waspada. Apalagi Moegia adalah penemu alat-alat tempur mutakhir yang kemungkinan akan menjadi andalan pasukan mereka. Juga, kemampuan pasukan Moegia yang merupakan mantan penjahat di masa lalu tak boleh dihiraukan begitu saja. Mereka semua sudah terlatih dengan sendirinya, picik, cerdik dan selalu mengandalkan siasat jitu saat sedang terpojok. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menaruh delapan pasukan pemanah di seluruh penjuru mata angin juga diatas benteng utama. Kami juga memusatkan serangan udara sebagai bagian dari rencana Z (rencana serangan pasca runtuhnya perbatasan akhir). Semuanya mulai terlihat sangat sempurna sekarang. Pasukan Moegia pasti tidak akan bisa menang.

Walaupun begitu, aku tetap diutus oleh Sasa dan anggota dewan yang lain untuk mencari rahasia keabadian perang di Tujuh Tugu Batu Utama. menurut salah satu legenda urban yang beredar ditengah masyarakat Atlantican, Tujuh Tugu Batu Utama adalah sebuat tempat dimana strategi dan daftar peralatan perang milik kakek buyutku dulu disimpan. Disana ada sebuah pintu rahasia yang akan menunjukkan semua orang yang masuk kedalamnya sebuah dunia baru yang penuh kedamaian. Tempat dimana sisa pasukan kakek buyutku bersemayam. Mereka biasa menyebut tempat itu sebagai mata air syurga.

Aku dan para anggota dewan yang lain tidak boleh percaya begitu saja akan legenda tersebut. Oleh karenanya, aku dikirim untuk meneliti tentang kebenaran hal tersebut.

"Sasa!" aku berseru penuh semangat begitu mengetahui Sasa dan yang lainnya sudah menungguku. Di padang rumput nan luas, saat kabut masih belum menyentuh tanah dan berubah menjadi berlian berkilauan aku bisa melihat Sasa, Anabelle, Sekar dan Satya berkumpul disana menantikan kehadiranku. Ku sapukan pandangan menyusuri setiap wajah disana, ada Wulan, Anthony, Hogguts dan Bivlalfe, Utpata Ulung turut hadir. Dimana Kartika?

"Panji, berhati-hatilah selama dalam perjalanan." Bivlalfe menarik tanganku lembut menuju Sasa dan Sekar yang berdiri berdampingan. "Jaga dirimu baik-baik." Bisiknya disertai suara isakan.

"Panji, pastikan kau kembali setelah ini." Sekar merangkulku dalam sebuah pelukan hangat. Bisa ku dengar isakan lembut yang ia tahan dalam posisi sedekat ini.

Sasa menatapku intens, memerhatikan seluruh bagian dalam diriku sekali lagi. "Aku akan pulang. Segera." Ucapku sebelum benar-benar naik ke atas kudaku.

The Atlantik  : Menuju Dunia Tanpa BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang