Chapter 7 . Pengorbanan

3 1 0
                                    


Aroma rerumputan yang basah juga lumpur memaksaku untuk membuka mata. Baunya kian menyengat seiring bertambahnya kesadaranku, menyita seluruh sistem kerja otakku yang tidak normal ini agar segera mencari tahu dimana aku sebenarnya. Hal pertama yang ku lihat hanyalah kabut tipis nan lembab yang turut andil dalam membasahi seluruh tubuhku. Begitu ku lebarkan kedua mataku, baru ku sadari bahwa kabut ini tidaklah tipis, melainkan sangat tebal dan bahkan menghalangi pandanganku. Becek adalah hal selanjutnya yang kurasakan. Lenganku terkena lumpur. Apa masih bisa lebih buruk lagi. Oh, well aku juga tidak tahu dimana aku berada sekarang. Terlalu sulit melihat dalam kabut setebal ini, yang hanya menyisakan jarak pandang sekitar sepuluhan meter. Good, ini baru bisa dibilang sempurna.

Samar-samar kembali indera pembauku mencium aroma kayu basah nan pekat, dan bayangan hitam tinggi yang bertengger di sekitarku kemudian teridentifikasi menjadi pohon di mataku. Ku hamburkan pandanganku ke segala arah, semuanya kelihatan sama. Sial! Kenapa jadi aku tidak tahu arah. Atau jangan-jangan saat aku tertidur pasukan Moegia menyerang dan membunuh semua orang, lalu aku masih dengan tidak elitnya tertidur hingga kererumputan dan mereka berfikir aku sudah mati jadi meninggalkanku. Ok, itu terdengar terlalu berlebihan. Kalaupun mereka menyerang, mana mayat-mayat yang lainnya? Bukankah seharusnya mereka ada disekitarku? Atau hanya aku yang tersisa di bumi Atlantik ini? –berlebihan-

"Ku mohon, pertimbangkanlah dulu." Terdengar sebuah suara di seberang sana. "Aku ingin kita berdiskusi, kau kira aku tidak muak dengan semua ini?" ku percepat langkah kaki-ku menuju ke sumber suara.

"Apa yang bisa kau janjikan?" kembali terdengar sebuah suara. Hanya saja kali ini terdengar lebih berat dan serak. Hening beberapa saat barulah muncul suara lagi, orang yang sama yang terakhir berbicara. Tapi tak begitu jelas di telingaku. Kabut putih perlahan tersibak dan memunculkan beberapa sosok pria besar yang lebih mirip serigala dalam serial manusia serigala jaman dahulu. Banyak sekali. Di depan mereka adalah orang yang berbicara tadi, sayangnya makhluk-makhluk itu justru menutupi pandanganku untuk melihatnya.

"Bagaimana kalau nyawa sang Raja?" jawab orang lain didepannya yang terakhir ku ketahui adalah Danu, saudaraku. Dia membawa beberapa anggota pasukan yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding lawan mereka. Ada sekitar tiga orang dari kelompok Danu terlihat sedang menyeret sesosok makhluk untuk maju kedepan.

"Bagaimana aku tahu kalau dia adalah Raja yang asli? Aku takut kalau-kalau ini hanya jebakan semata." Ucap sang lawan bicara.

Danu tertawa renyah sambil bertolak pinggang. Terlihat meremehkan ucapan orang didepannya.

"Apa kau sudah gila? Seharusnya kau tahu bahwa satu-satunya kaum Tigris yang tersisa adalah raja kita selama ini. Bodoh."

Hening. Suara yang bisa ku dengar kemudian hanyalah erangan kesakitan dari sosok harimau didepanku. Sasa.

"Kau yakin akan memberikannya padaku?"

"Sangat yakin. Lagi pula, bayaran yang ku minta tidaklah terlalu besar bukan ?"

Kembali tidak ada yang bersuara. Kaki-ku mulai gatal dengan obrolan yang Danu dan orang-orang itu lakukan. Tapi, aku belum tahu apa inti pembicaraan mereka. Jadi sekonyong-konyong aku hanya bisa membatu dan diam tak bersua satu katapun.

"Aku tidak menginginkan rajamu."

Danu terlihat sedang berfikir keras, entah strategi apa yang akan dia gencarkan kali ini. "Lalu apa yang kau ingini?"

Seringaian muncul dari sosok dibalik kabut itu.

"Kami ingin, kalian semua mati."

Bagai disambar petir aku mendengar semua itu. Kepala-ku mulai berdenyut karena tak kunjung mendapat jawaban dari segala pertanyaan yang sedari tadi mengitari otakku yang sudah separuh sinting ini.

The Atlantik  : Menuju Dunia Tanpa BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang