19; F for Feelings

29 12 8
                                    







"Din, ayo acaranya udah mau mulai!"

"E-eh iya, Fit."

Entah sudah berapa lama Dinda menatap kosong ke arah jajaran motor yang terparkir rapi di depan workshop. Pikirannya sedang kosong dan akhir-akhir ini Dinda lebih sering melamun.

Setelah mendengar Fitri mengajaknya untuk segera berkumpul di lapang, Dinda mencoba untuk bangkit dari duduknya. Kepalanya terasa sedikit berputar sehingga Dinda harus berhati-hati saat berjalan.

Akhir-akhir ini Dinda terlalu lelah dengan pekerjaan rumah yang menumpuk. Belum lagi tugas dari sekolah dan belajar latihan soal untuk menghadapai ujian nasional.

Hal tersebut membuat waktu istirahatnya menjadi berkurang. Belum lagi ingatan saat Fakhri menyatakan perasaannya selalu mengganggu saat Dinda baru mulai memejamkan matanya. Padahal tiga hari sudah berlalu setelah kejadian itu.

Dari kejauhan Dinda bisa melihat bahwa panggung yang akan digunakan pagelaran wayang sudah siap. Kursi-kursi khusus penonton dari ekskul seni juga sudah siap dan mulai diisi. Anak-anak lain juga sudah mulai berkumpul di sekitar lapangan.

Dinda berniat ingin duduk di kursi barisan kelima dari depan. Tapi ternyata sudah diisi oleh orang-orang berbaju hitam yang tidak lain dan tidak bukan adalah anak seni peran. Akhirnya Dinda memilih duduk di baris keempat.

Agni yang sadar Dinda duduk di depannya hanya bisa menahan tangan dan mulutnya untuk tidak menyapa sahabatnya itu. Padahal kursi di sebelah Agni itu kosong, tapi sepertinya Dinda tidak mau duduk di antara orang-orang.

Hari ini panasnya begitu terik sampai-sampai membuat mata mereka silau. Tapi meskipun begitu ketertarikan mereka untuk menonton pagelaran wayang tidak hilang.

Akhirnya acara yang ditunggu-tunggu pun dimulai. Dalang wayang yang terkenal itu pun naik ke atas panggung untuk memperkenalkan dirinya dan juga judul cerita yang akan ditampilkan.

Sepertinya semua orang menikmati pagelaran wayang ini. Baru mulai saja sudah mengundang tawa yang pecah. Mood Dinda sedikit membaik saat menonton pagelaran wayang ini.

Dinda tertawa begitu lepas dan tidak bisa melepaskan pandangannya dari panggung. Saking menikmatinya, Dinda tidak sadar ada sesuatu yang mengalir dari hidungnya.

"DINDA IDUNG LO BERDARAH!" teriak seseorang.

"H-hah? Berdarah?"

Dinda malah kebingungan karena ia merasa tidak terluka atau apa. Dinda dengan wajah bingungnya langsung menoleh pada Nindi yang barusan berteriak.

"Idung lo bangsat malah diem aja!" Nindi langsung memasukkan tisu yang sudah digulung ujungnya ke dalam hidung Dinda yang ada darahnya.

"Emang gue kenapa? Perasaan diem aja ngga ada yang luka," ucap Dinda yang masih belum sadar.

"Lo mimisan ini anjir! Ngga kerasa emang?" Nindi terus membantu Dinda menghentikan darah. "Agni ini sobat lu kenapa tiba-tiba mimisan?!"

Agni sebenarnya sudah terkejut saat Nindi berteriak karena Dinda mimisan. Tapi Agni tidak tahu harus bagaimana. Agni takut bantuannya ditolak oleh Dinda.

Setelah mendengar Nindi bicara seperti itu, ada darah yang menetes ke tangan Dinda. Saat itu juga Dinda sadar kalau dirinya sedang mimisan dan kedua lubang hidungnya mengeluarkan darah yang cukup banyak.

"Kok gue mimisan?" lirih Dinda sambil menatap darah di tangannya. Kepalanya mendadak pusing sekali dan penglihatannya mulai mengabur.

"Ini gimana anjir darahnya makin banyak!" Nindi semakin panik namun tangannya tidak berhenti membantu menghentikan darah dengan tisu.

Bros Before Loves [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang