Shena POV.
Sakit, itu yang ingin aku luapkan, ketakutan yang selama ini terus menghantui, kini sudah menjadi kenyataan.
Dia marah, aku hanya bisa diam dan tersenyum. Mencoba mengalah agar hubungan ini baik-baik saja. Dia berubah, aku mencoba mengembalikannya seperti sedia kala, namun apa? Aku tetap diabaikan. Tak selamanya aku harus diam, pemberontakan harus aku tunjukan agar tidak terus dianggap lemah.
Aku masih mencoba menyadarkan diri bahwa ini adalah sebuah mimpi, memukul kepalaku berkali-kali agar aku bisa tersadar. Namun semua tak berubah, ini memang benar-benar berakhir.
"Kak, boleh Shena nangis?"
Aku bertanya pada laki-laki yang duduk di depanku. Mataku sudah memerah, ingin meluapkan rasa sesak yang memenuhi hati ini. Hatiku terasa terikat, sekuat tenaga aku ingin melepaskan ikatan itu agar bisa bernafas dengan lega.
Dia mendekatkan tubuhnya, menarik diriku dalam dekapan hangatnya.
"Menangislah Shena, hanya hari ini. Kakak tau, kamu kuat. Kamu mengingatkan kakak pada Mama dulu." Kak Sean melepaskan pelukannya, mencium kedua mataku.
"Mama pernah Ayah selingkuhi saat sedang hamil Reano, namun Mama selalu tersenyum, padahal jelas-jelas setiap malam Mama selalu peluk kakak sambil menangis," ucap Kak Sean membuatku semakin merasa sesak.
"Menangis tidak membuatmu terlihat lemah, tapi menangis sangat dibutuhkan saat kita sudah lelah."
Aku menangis sambil memeluknya, meluapkan rasa sakit yang ad di hati ini. Aku rasa aku sudah bodoh dengan kata cinta. Benar, seharusnya saat masa SMA dia mengatakan aku tak pernah bisa mencintaimu di situlah aku harusnya sadar, harusnya kalimat pertama yang harus aku percayai, bukan janji setelah kalimat itu.
"Shena terlalu sayang kak Kenzo, kak. Aku terlalu takut untuk cerita tentang semua rasa sakit yang aku rasakan satu tahun ini," aku memeluk tubuh Kak Sean semakin erat.
"Aku udah mau pulang, aku udah mau bilang menyerah. Tapi aku ingat kata Papa Radit, pernikahan itu akan bertahan kalo salah satunya mau mengalah," ucapku melepaskan pelukan hangat ini.
Kak Sean menatapku dengan lekat, menatapku dengan tatapan menguatkan.
"Kamu sudah tahu jawabannya bukan? Sekuat apapun benteng yang kamu buat sendiri, tapi dihancurkan oleh dua orang, kamu tak akan kuat menahannya."
Aku mengerti perkataan yang Kak Sean lontarkan. Aku mencoba tersenyum, meski aku ingin sekali menumpahkan seluruh air mata ini.
"Kak, aku mau sendiri," ucapku.
Aku rasa, aku memang membutuhkan waktu sendiri. Aku butuh rasa tenang, aku butuh waktu untuk merenungkan semuanya.
"Sebentar lagi jam makan siang, nanti turun, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My sweet doctor 2 [SEGERA TERBIT]✓
Roman pour Adolescents[Baca Rewrite terlebih dahulu!] Awalnya manis, tapi semuanya berubah saat sebagian mimpi itu menjelma menjadi nyata. Mimpi yang paling menyeramkan itu kini terjadi. Aku dan kamu yang awalnya baik-baik saja, berubah menjadi dua orang yang saling diam...