Camen 09 - Mapan

960 155 26
                                    

09 - Mapan

Udah berusaha move on, mantan nanya kabar.

🍭🍭🍭

"Asha?"

"Apa kabar, Dava?"

Dava terhenyak. Suara Asha terdengar merdu di telinganya. Pertahanannya runtuh dalam sekejap. Otaknya mendadak tumpul saat mencoba berpikir motif apa dibalik si mantan menghubunginya. "Kabarku baik. Kamu?"

"Sama."

Hening.

Nostalgia ke masa lalu sejenak. Saat di mana menelepon Asha adalah hal wajib yang mesti dapat lakukan. Mereka berdua saling melempar cerita apa saja untuk melepas rindu sekaligus penat. Hingga tak sadar jarum jam menunjukkan angka dua dini hari. Namun, energi keduanya sama sekali belum habis, bahkan masih banyak.

Sekarang suasana sekaligus rasa sudah jauh berbeda. Sudah ada Nina di antara Asha dan Dava.

Dava berdehem beberapa kali untuk mencairkan suasana. Jujur terjebak dalam percakapan telepon seperti ini membuatnya bosan.

"Dalam waktu dekat ini kamu sibuk nggak?" Di seberang sana Asha bertanya.

"Nggak. Ada apa emangnya?"

"Aku mau ke Jogja. Ketemuan bisa?"

Demi jagat raya bumi pala, ada apa dengan Asha sampai mau repot datang ke Jogja dan mengajak bertemu? Kenapa harus sekarang, ya Tuhan?

"Ketemuan?" Dava membeo. Telinganya mendadak berdengung saat itu juga. Pasti Asha salah makan hari ini, begitu pikir Dava.

"Iya."

Singkat, tetapi menyiratkan sebuah makna bahwa Asha memang ingin bertemu dengannya. Dava memejamkan mata. Berharap pikirannya segera jernih.

"Ada perlu apa kamu mau ketemu sama aku? Bukannya kita udah—"

"Kita belum selesai, Dava!"

Dava menjauhkan ponselnya dari telinga. Apa? Belum selesai? Ngelantur! Asha sendiri yang memutuskan hubungannya, sekarang dia sendiri yang mengatakan belum selesai? Dava benci mengakuinya, tapi Asha benar-benar membuatnya emosi.

Asha benar-benar salah makan sepertinya.

"Bagian mana yang menurut kamu belum selesai?" Dava berusaha menahan gejolak amarah. Bagaimanapun ia harus tetap waras sampai Asha mau menjelaskan maksud ucapannya.

"Aku yang mutusin kamu secara sepihak. Aku belum dengar pendapat kamu. Aku—"

"Kamu udah ninggalin aku. Dan sejak saat itu, aku nganggap hubungan kita udah selesai."

Dava segera memutuskan sambungan telepon secara sepihak, sebelum jiwanya semakin tidak waras. Tak sampai di situ, Dava juga menonaktifkan ponselnya supaya tidak ada yang berani menggangunya. Yang benar saja Asha itu. Ke mana saja dia selama ini? Dia sendiri yang mencampakkan. Dava hanya bisa berharap semoga Asha tidak jadi datang menemuinya. Bisa runtuh pertahanannya jika Asha datang.

🍭🍭🍭

Gara-gara mikirin Asha, Dava jadi bangun kesiangan. Pakde Gino bahkan sudah pergi ke toko ketika Dava baru selesai mandi. Akibat terburu-buru, Dava sampai lupa masih mengenakan celana kolor Frozen ke toko. Habis jadi bulan-bulanan Bimo. Salahkan adik perempuannya yang membelikan kolor laknat itu. Begitu masalah celana kelar, sekarang HP-nya yang ketinggalan. Poor, Dava.

Dava justru senang ponselnya tertinggal. Itu artinya dia tidak tergoda untuk mengaktifkan benda tersebut. Sejak semalam ia matikan demi menghindari Asha. Perempuan itu ibarat racun mematikan, jika terkena percikan sedikit saja, Dava akan terbius selamanya. Dava bergidik ngeri, kembali ke pelukan mantan adalah salah satu hal yang haram dilakukan, bahkan memikirkannya saja tak pernah! Walau memang dalam hati kecilnya masih ada rasa, tetapi Dava tidak mau gegabah jatuh dalam lubang yang sama.

Sad boy sekali kamu, Bung!

Ingat Dava, sekarang ada hati yang harus dijaga.

🍭🍭🍭

Alih-alih mandi setelah pulang dar toko, Dava justru meraih handphone-nya kemudian rebahan di atas kasur. Begitu data selulernya dinyalakan, Dava banjir notifikasi dari sang ibu, dari Asha, dan paling banyak dari Nina. Dava membalas pesan dari ibunya dulu. Lalu mengabaikan pemberitahuan dari Asha. Ia masuk ke room chat Nina.

[Maaf baru aktif. Hpnya habis error.]

Dava memilih tidak jujur dengan Nina. Ingat 'kan tujuan awalnya, ia akan menjaga hati Nina. Jangan sampai dalam percakapan apa pun tidak ada nama Asha di dalamnya.

Tring! Notifikasi dari Asha datang lagi. Tanpa harus membuka room chat, Dava sudah bisa membacanya dari layar atas.

[Aku tahu kamu sengaja matiin HP biar aku nggak bisa hubungi kamu, kan? Dava, sampai kapan pun kamu nggak akan bisa jauh dari aku. Kamu masih cinta sama aku. Kita masih saling mencintai, kan?]

"Aduh, mbaknya halu." Ingin rasanya Dava berkata seperti itu, tetapi ia tak kuasa. Bukan takut, hanya saja Dava malas ribut dengan mantan. Ayolah, harusnya Asha tahu mantannya Dava bukan dia saja. Kalau Dava mau, ia bisa kembali dengan mantan sebelum Asha yang parasnya masih lebih cantik. Sayangnya, mantannya itu tidak mau. Jadi, Dava kalah telak.

Untuk apa mengemis untuk kembali, jika di depan sana masih ada yang lebih baik?

Balasan dari Nina datang. Dava segera membukanya.

[Oh gitu, ya. Sama kalau gitu, hpku suka error. Untung orangnya gak.]

Dava terkekeh. Sepertinya Nina sudah mulai terbuka dengannya.

[Kalau kamu error, jangan khawatir. Aku siap jadi montirnya.]

[😂😂😂]

[Kenapa cuma emot ketawa?]

[Karena Mase lucu.]

Kening pria itu berkerut. Namun, beberapa detik kemudian matanya terbelalak. Apa tadi katanya? Mas? Mase?

Boleh Dava terbang sekarang?

[Menurut kamu mapan itu yang seperti apa?]

Terbaca. Dava menunggu Nina mengetik jawabannya. Dulu dia juga pernah bertanya seperti itu kepada Asha, tetapi jawabannya tidak memuaskan. Maksudnya, yang ada dipikiran Asha waktu itu hanya quality time 24 jam bersama pasangan, padahal masih ada hal yang lebih urgent selain jalan berdua. Kata Asha, uang bisa dicari nanti, yang penting sah dulu.

Asha ada benarnya. Niat baik memang harus disegerakan. Namun, jika tidak punya persiapan secara materi—dengan kata lain buru-buru—maka akan terjadi masalah di kemudian hari. Dava tidak mau itu terjadi. Minimal masalah materi sudah selesai sebelum menikah. Karena begitu manusia memutuskan untuk menikah, bukan kebutuhan sendiri saja yang dipenuhi, tetapi kebutuhan istri dan anak-anaknya kelak.

[Dalam KBBI, mapan berarti mantap, baik, tidak goyah, dan stabil kedudukannya. Jadi, kalau aku simpulkan, mapan itu ketika seseorang sudah merasa stabil baik itu secara emosi maupun materi, tidak bergantung kepada orang lain, dengan kata lain sudah mandiri. Tapi Mas, mapan versi manusia satu dengan manusia lain pasti berbeda. Gaji 100.000 per bulan kalau orangnya bisa mencukupi kebutuhannya, itu sudah bisa dikatakan mapan. Beda kalau gaji 100.000 tapi masih banyak tanggung jawab seperti utang piutang, angsuran, kredit, menurut aku itu belum bisa dikatakan mapan, Mas. Nah tapi beda lagi Mas kalau sudah menikah. 100.000 mungkin masih cukup kalau masih hidup berdua, kalau sudah bertiga, berempat, berlima? Nah ini gunanya memiliki tabungan. Kalau masih single rajinlah menabung 😂]

Dava bisa menyimpulkan kalau Nina ingin memiliki suami yang pekerja keras.

[Menurut kamu, gaji 2,3 juta per bulan apa itu sudah cukup memenuhi kebutuhan kamu?]

[Kebutuhan yang seperti apa dulu? Kalau masih kecil, cukup. Kalau udah segunung kayak bayar sekolah anak, sewa rumah, dll, aku rasa butuh yang lebih. Tapi kalau setiap bulan stabil, Insya Allah cukup.]

Dava tersenyum puas. Benar-benar merasa puas chattingan dengan Nina. Seakan menemukan oase di tengah kegersangan.

🍭🍭🍭

Terima kasih sudah mampir ☺️

Semoga aku bisa repost sampai batas waktu yang ditentukan. Sekarang lagi ribet banget :(

Calon Menteri - [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang