Perkataan 'dia tak terlalu buruk' sama sekali bukan menandakan ketertarikan. Dia hanya sedikit terlihat normal seperti gadis kebanyakan.
*
Mark sedikit beruntung dapat berinteraksi dengan Mimi hari ini meski di jam terakhir sekolah dan dengan durasi sedikit. Hanya mengambil powerbank miliknya tanpa pengungkapan cinta, tentunya.
Begitu keluar dari kelas sang gebetan yang suasananya agak sepi, ia menemui sepasang mata bulat yang mengawasinya. Well, agak seram, tapi itu manusia. Dan namanya Nana.
"Kau itu pacarku, kan?"
Dengusan dari si lelaki jelas terdengar. Ia menggapai satu daun yang rontok dan tangan apiknya bekerja menjadikan daun itu hanya tersisa rangkanya. "Pacar? Oh, bahkan aku hampir lupa." Mark terlihat badmood, jelas dari nada bicaranya.
"Wait, bukankah kau menyukai kakakku? Kenapa malah jadi pacarku?" Tanya Mark, membatalkan rencananya semula untuk mengabaikan gadis itu.
"Ka—kau tahu itu?"
"Bodoh! Itu begitu jelas terlihat. Begitu kakakku lewat di depan kelas kau juga melihatnya dengan sumringah."
"Aku hanya melihatnya," Ucap Nana, wajahnya menunduk. Jari-jari tangannya saling meremas dibalik saku jaket.
"Kau tersenyum waktu itu, sungguh pemandangan yang asing. Kau sebut apa itu kecuali kau memang menyukai kakakku?"
"Tapi dia sudah mati, kan?"
Nana begitu mengantisipasi kala Mark menatapnya tajam.
"Dia koma." Mark berhenti di vendingmachine. Ia hanya ingin kopi panas sedari tadi, jadi aneka minuman tak membuatnya kebingungan. Tapi yang kebingungan di sini adalah Nana. Jadi, untuk apa roh kakak Mark selalu bersamanya, pikir Nana.
Mark meneguk dengan pelan minumnya sambil mendudukkan diri di kursi panjang dengan naungan pohon lalu menaikkan kedua kakinya untuk bersila. Suasana di apartemen membosankan.
Nana memutuskan untuk duduk, dengan sedikit ragu ia bicara, "Aku sempat menyukainya. Tapi Jinjirou Senpai terlalu sempurna, jadi kucoba dengan Mark saja." Nana sedikit melirik ke samping Mark, Masih ada Jinjirou di sana.
"Kita putus!"
"Kau mau kuguna-guna?"
Mata Mark melotot atas pertanyaan mengerikan yang diungkapkan secara datar itu. "Apa kau dukun?"
"Bercanda. Tapi kau tak bisa memutusiku begitu saja."
Mark mendengus sebal. Suasana hatinya buruk, cukup disayangkan mengingat pemandangan sekitarnya begitu bagus. Ini semua gara-gara Nana.
"Aku akan jujur. Hari itu sebenarnya aku berlatih menembak Mimi, tapi kau tiba-tiba datang dan seolah-olah menerima ungkapan cintaku yang bahkan bukan kutujukan untukmu. Aku kira kau betulan dukun atau sejenisnya jadi aku takut. Apa kau paham?"
Hampir saja umpatan dikeluarkan melihat wajah Nana yang tak sedikitpun terkejut.
"Aku tau. Tapi aku mau Mark."
"Aku mau Mimi."
"Hidup memang begini. Jalani saja."
"Sh*t!"
***
Mengingat kemampuannya, Nana telah bertemu berbagai macam jenis makhluk ghaib. Yang paling aneh menggelitik adalah wanita berkimono yang bisa memanjangkan lehernya. Melihatnya cukup membuat Nana terhibur, buktinya ia sedikit tertawa waktu itu.
Jika kau takut hantu, maka hantu akan mendekatimu. Jika kau berani, mereka yang akan takut dan menjauh. Pantas saja Jinjirou tak menjauh meski Nana tak ketakutan sama sekali. Ternyata dia koma. Kapan-kapan Nana akan coba berkomunikasi dengan kakak tampan itu.
"Apa masih banyak yang ingin kau beli?"
Nana terkesiap. Namun saat melihat Mark tiba-tiba di dekatnya, pipinya jadi hangat. Sekarang Mark bahkan membuatnya melupakan Jinjirou.
Mark sangat tampan dengan pakainannya. Jeans, kaos dilapisi kemeja kotak-kotak dan gaya rambut yang terlarang. Dahi Mark yang berharga, astaga naga! Tampan. Sungguh.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Dahi—eh, itu—cat minyak." Gadis itu mengalihkan pandangannya, menuju tempat lain untuk mencari cat minyak dan untuk menahan malu.
***
"Aku tak percaya akan menghabiskan banyak waktuku denganmu." Mark memakan steaknya dengan santai. "Bahkan lebih banyak ketimbang orang tuaku."
"Aku juga."
Mark merotasikan matanya.
"Lalu, bagaimana bisa gadis sepertimu bisa jatuh cinta. Apa ini prank?"
Nana menggeleng. "Tidak sama sekali. Aku hanya merasa akan bahagia jika menikah denganmu. Kau tampan, pintar, cukup kaya dan cukup menantang untuk didekati."
"Jawaban menarik dan jujur. Nice."
"Yes. Thank you."
Mark tertawa kecil. Hidupnya sudah aneh dengan adanya Lucas, sekarang Nana.
Mereka melirik suasana luar dari jendela kaca lantai lima. Matahari terbenam lumayan bagus dipandang dari sini.
"Apa kau pernah merasa marah atau kesal?"
Nana beralih memandang Mark. Sial. Dia tak menyangka kalau Mark jauh lebih tampan dengan siraman oranye dari matahari terbenam.
"Marah mungkin tidak. Aku hanya kesal kau tidak suka denganku."
"Maksudku, kau terlihat tak biasa bagi yang lain."
Bunyi es batu dari gelas yang juga berisi soda menyatu dengan suara cengkrama pengunjung lain. Namun, Mark masih menunggu jawaban gadis di depannya.
"Bukan masalah selagi aku tak merugikan orang lain. Tapi, aku mungkin sering mengganggumu. Maafkan aku." Nana membungkukkan badannya.
Nana memukul pelan kepalanya sambil meringis. "Aku hanya yakin nanti kau bahkan akan senang kalau kuganggu." Mark terdiam melihat Nana yang tersenyum tipis. Kenapa?
"Mark?" Wajah gadis itu terlihat sedikit bingung.
Kenapa sangat manis?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.