Mereka menjadi lebih canggung, membeku bagai salju yang turun malam itu.
*
"Menurutmu, apa aku benar meyukaimu?"Mark menghentikan langkahnya, berbalik, menghadap Nana yang menunduk.
"Menurutmu?"
"Entahlah."
Mark tertawa dengan ganjil, "tentu tidak." Dia kembali berjalan dengan lebih cepat. "Jika kau ingin bermain-main denganku, maka pilihanmu hanya cari saja orang lain. Aku cukup berpengalaman."
Nana berjalan dengan cepat, hampir menyandung kakinya sendiri. Ia mencoba memberanikan diri walau ada hawa menyeramkan di sekeliling Mark yang padahal memasang tampang santai.
"Bagaimana jika sebenarnya aku menyukaimu bukan Jinjirou senpai?"
"Bagaimana jika? Aku tak perlu membuang waktu dengan pertanyaan begitu."
Mereka masuk ke dalam lift dan Mark hanya fokus dengan handphone hitamnya.
Lalu saat di depan pintu, Mark bersuara dengan nada yang rendah, "bermain terlalu lama tak baik. Maka dari itu sudahi saja. Game over."
Pintu sebelah ditutup, menyisakan Nana yang merutuk diri sendiri. Lebih baik dia to the point dari awal.
***
Salju pertama turun nampak dari balik jendela. Nana merenung. Tengah malam ini serba dingin. Udara, maupun penghuni kamar sebelahnya.
Jangankan Mark, Nana juga bingung dengan perasaannya.
Gadis itu menyandarkan pipinya di jendela, meninjau lagi kejadian malam tadi sebelum akhirnya ia berada di kegundahan malam ini.
Nana suka melukis ataupun menggambar. Pada saat tertentu, ada beberapa objek atau hal lain yang rutin ia gambar. Seperti, manusia dengan lesung pipi yang ia coba tekuni berbulan-bulan.
Lain kali mungkin ia juga akan menggambar full body. Tapi menggambar betis benar-benar sulit.
***
Mark menjadi malas sekolah di musim dingin. Apapun itu seperti bangkit dari kasur yang hangat, mandi, atau berjalan ke sekolah dilakukannya setengah hati.
Apalagi akhir-akhir ini ia sedang dalam mood tidak baik.
Mark berjalan dengan lambat. Tidak apa. Ia tak akan terlambat meski begitu. Masih terlalu pagi, guna menghindari si pemilik kamar sebelah.
Pipi dan hidungnya memerah kala berjalan di luar. Sungguh dingin meski masih awal musim. Mark menghembuskan nafasnya yang menimbulkan asap tipis putih.
"Dingin sekalii! Beri aku pelukan, Mark!"
Seketika tubuhnya ditubruk si badan besar, Lucas. Badan orang itu semakin terlihat raksasa dengan mantel hitam.
"Kau mirip kepompong dan titan secara bersamaan."
Lucas menampilkan senyum lebarnya. Puji lah Lucas dan dia menganggap itu dengan girang, dan kalau kau menghina dia kira itu pujian.
"Omong-omong, Mark.. ayahmu menelponku karena kau tak mengangkat panggilannya. Mereka kembali lusa."
"Lalu?"
"Siapa tau kau mau meninggalkan apartemen sebentar dan tinggal di rumah."
"Tak ada rencana sedikitpun."
Jawaban yang sudah tertebak. Lucas tidak mempermasalahkan. Ia tahu betul dengan Mark.
"Meski mereka datang kau harus tetap menjenguk Jinjirou."
"Kenapa?"
Lucas tersenyum.
"Kau salah satu alasannya untuk hidup. Kau pasti tahu dia menyayangimu."
"Aku akan menjenguknya setiap hari."
***
Orang tuanya kembali lusa, dan Mark berkunjung ke rumah mereka hari ini. Bukan untuk tinggal dan menunggu mereka kembali, hanya untuk memeriksa gudangnya dan sedikit nostalgia.
"Hai anak-anak. Miss me?"
Ia tersenyum kecil.
"Sayang sekali, ya?"
Ia mengambil gitar cokelatnya. Alat musik yang paling ia sayangi ketimbang yang lain. Harganya lumayan, tapi sayang harus berakhir di gudang.
Mark membawa gitarnya keluar dari gudang sambil memainkannya dan bersenandung pelan.
Ia berhenti di sofa ruang tengah. Apa pernah keluarga berkumpul di sini? Rasanya belum, atau tidak.
"Akan jadi apa aku nanti?"
Ia berbaring di sofa setelahnya, memeluk gitarnya dan menelusuri isi rumah yang rapi. Ada banyak figura, yang ada foto Jinjirou menarik perhatiannya.
Kemudian, Mark menatap gitarnya.
"Berterima kasihlah kepadanya. Kalau tidak kau hanya jadi sampah."
***
Orang egois mungkin mempunyai banyak penyesalan. Terutama, penyesalan untuk menjadi egois.
Mark dengan egonya selalu mempertahankan harga diri yang selangit. Bukan perdebatan dengan ayah tirinya yang menjadi pikirannya, hanya saja tentang Jinjirou yang sudah terlanjur ia cap seburuk pria yang hadir di hati ibunya.
Nyatanya, Jinjirou orang baik. Orang itu juga mandiri dan sudah menghasilkan uang sendiri mulai awal menduduki bangku kuliah. Sangat bertolak belakang dengan ayah sambung yang hanya mencintai sang ibu dan mengatur sesuka hati.
Mark pernah mencoba-coba menampilkan kemampuan bermusiknya dengan tampil di cafe bersama teman-temannya. Ayah sambungnya memarahinya karena pulang larut. Mark sempat mengira itu pertanda perduli, tapi nyatanya karena ibunya yang khawatir.
Beberapa malam berikutnya Mark mencoba lagi. Namun, ia berhasil pulang tanpa dimarahi. Dan pada kenyataannya Jinjirou pulang dengan baju yang sama seperti yang Mark lihat duduk di pojok kafe.
Itu jelas Jinjirou.
Jinjirou melakukan itu agar ibunya tak khawatir hingga Mark bisa bermusik. Orang itu sangat mengerti, dan perduli.
"Rasa bersalahku begitu menumpuk. Kau harus bangun agar aku bisa menebusnya."
Mark melipat tangannya ke dada. Menatap angkuh pada wajah pucat yang tak kunjung bangun. Untungnya keadaannya semakin membaik.
"Kau terlihat lemah jika begini. Payah sekali."
Mark mendengus dan bangkit, lalu dengan pelan ia berbisik, "bangunlah segera, maka kau akan melihat Mark yang berbeda."
***
Btw, Henmin aka Hendery Jaemin keknya lucu ya. Apalagi pas tau bias Hendery itu Nana :=(
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet | Markmin GS ✓
FanfictionTembakkan yang salah sasaran membuat kehidupan Mark jadi lebih merepotkan.