Keluarga

1.4K 128 40
                                    

Untuk kesekian kalinya, Eja memutuskan untuk tidak ikut hadir lagi di acara bulanan keluarga besar Nataprawira di Sukabumi. Alasan yang dia pakai tentu karena pekerjaan, namun alasan sebenarnya karena dia merasa masih belum siap untuk pulang ke rumah ayahnya.

"Kita mau sekalian bahas 40 harinya Bapak. Mau bikin acara apa. Tinggal seminggu lagi 'kan dari sekarang."

Meskipun tidak bisa berkumpul, namun Ratih, kakak tertuanya tetap memintanya bergabung lewat video call. Katanya supaya Eja tahu apa saja yang mereka bicarakan, dan siapa saja yang hadir di sana.

Seperti saat ini, Ratih menunjukkan selembar kertas tentang rencana acara yang akan mereka buat untuk memperingati kepergian ayah mereka.

"Simpel aja sih, Kak. Bikin acara tahlilan, sedekah ke fakir miskin, anak yatim sama undang orang sebanyak-banyaknya, biar makin banyak juga yang doain Bapak. Gak usah bikin acara aneh-aneh, gak perlu juga pake EO-EO-an segala. Lagipula yang dibutuhkan Bapak sekarang ini tuh sebenernya cuma doa, terutama doa anak-anaknya."

"Iya deh, Pak ustadz," ledek Ratih. "Tapi tetap 'kan semuanya harus dipersiapkan matang-matang. Ngurus konsumsi sampai cenderamata itu gak gampang lho, Ja. Apalagi untuk tamu banyak. Kakak gak akan sanggup urus itu semua sendiri, apalagi Edd lagi manja-manjanya gak bisa ditinggal lama-lama sama Nany-nya."

Eja mengusap rambut. Dia prihatin pada kakaknya yang selagi kecil tidak diajarkan ilmu agama. "Anak bapak 'kan banyak, bukan cuma Kak Ratih doang."

"Anak Bapak emang banyak, tapi semuanya punya kesibukan masing-masing. Apalagi anak bungsu kesayangannya."

Eja mengulum senyum. Ratih menyerang balik. "Maksud gue,  kan masih ada Bang Rama, Mbak Anggun sama si Nadin. Mereka kasih tugas juga dong."

Ratih mengarahkan kamera ke arah sofa ruang keluarga. Dapat di lihat Eja, di sana ada ketiga kakaknya yang lain dan ibunya Nadin. Mereka tampak sedang sibuk dengan gadget masing-masing. Rama yang usianya sudah hampir kepala empat pun terlihat sibuk sendiri ketimbang ikut berdiskusi dengan para tetua Nataprawira dan Ratih di ruang makan. "Pada begitu semua. Giliran bahas masalah waris aja pada duduk paling depan."

Eja berdecak, dia jadi ingat ucapan ayahnya beberapa hari sebelum meninggal. "Bapak gak percaya sama kakak-kakak kamu. Mereka semua sama aja, kecuali Ratih, dia masih bisa dikontrol. Tapi masih sering labil juga." Dan sekarang melihat kenyataan itu, membuat Eja miris. Dia kasihan pada ayahnya.

"Si Rama sibuk sama cewek barunya. Si Anggun sibuk ngurus lakinya yang gak pulang-pulang. Dan si Nadin sibuk ngerengek di sosmed, minta doa supaya bisa ganti mobil. Gila sih kakak tuh udah pusing tahu gak, Ja. Rasanya pengin kabur aja kalau gak inget masih ada Ibu."

"Masih ada gue juga, Kak," ucap Eja. "Sebenernya gue juga gedek sama mereka sama lo juga. Tapi apalah daya gue, yang hanya dianggap bubuk roti sama mereka."

Ratih mendecih tapi kemudia memelas. "Makanya datang ke sini, Ja. Biar ada orang waras yang ngerti  omongan Kakak."

"Gue sih mau, tapi Kakak tahu sendiri kerjaan gue kayak gimana. Kalau gue tinggalin, takutnya gue susah lagi dapat projek yang duitnya lumayan."

"Kamu sih gaya-gayaan pengin jadi programmer. Coba kalau nurut kata Bapak, ambil jurusan bisnis, terus kerja di perusahaan Bapak. Pasti gak akan kayak gini ceritanya."

"Males ah, Bapak aja sakit-sakitan jadi pebisnis mah." Eja tersenyum.

"Idih gayanya, kayak lu sehat aja sekarang," omel Ratih. "Oiya, Ja. Ada yang mau ngobrol nih."

Kemudian kamera mengarah pada seorang perempuan paruh baya berbaju hitam.  Wajah perempuan itu masih sangat terlihat cantik meski kedua matanya tampak sembab dan lelah.

"Dek, sehat?"

Eja tersenyum, matanya menghangat melihat wajah Amalia Doortje, istri pertama ayahnya. "Sehat, Bu. Ibu sendiri gimana?"

"Ibu sehat. Tekanan darah Ibu juga makin stabil akhir-akhir ini, dan udah ada nafsu makan lagi. Apalagi ada Edd di sini jadi Ibu ngerasa makin sehat."

"Syukurlah." Eja sungguh terharu. "Aku harap Ibu selalu sehat dan makin sehat setiap harinya. Ibu harus percaya Bapak pasti akan sedih kalau lihat Ibu terus-terusan nangisin dia, apalagi sampai nyiksa diri sendiri."

Terserahlah kalau Amalia akan bosan dengan ucapan nya. Yang penting Eja sudah mengutarakan harapannya untuk perempuan itu.

"Iya, Dek." Suara Amalia bergetar. "Coba kamu ada di sini."

Sejenak Eja terdiam, terharu akan ucapan Amalia. Bukan apa-apa, hanya saja walau Eja bukan anak kandungnya, tapi Amalia itu tidak pernah membedakannya. "Aku juga sebenarnya pengin ketemu Ibu, tapi kerjaan ku gak bisa ditinggal."

"Gak apa-apa." Senyuman terukir di wajah Amalia. "Dek?"

"Iya?"

"Lihat kamu kayak gini, rasanya seperti lagi lihat Bapak."

Ucapan itu sudah sering Eja dengar. Tapi entah kenapa Eja selalu merasa tersanjung setiap kali mendengarnya. "Sekarang gimana kalau misalnya tiap Ibu kangen Bapak, Ibu video call aku aja?"

Kali ini senyum Amalia semakin lebar. "Boleh juga. Oya, Dek, Mama kamu masih di situ 'kan?"

Eja mengangguk. "Masih. Dan kemungkinan Mama mau tinggal di sini aja."

Tanpa menjelaskan panjang lebar pun, Amalia langsung paham. Jihan, ibunya Eja sudah pasti tidak akan mau tinggal lagi bersamanya setelah suami mereka meninggal. "Syukurlah, yang penting dia gak pergi ke mana-mana. Ibu tenang kalau dia memutuskan tinggal sama kamu."

"Mama bilang maaf karena hari itu dia langsung pergi tanpa pamit dulu ke Ibu." Eja membuka sedikit pintu toilet agar bisa melihat mamanya yang sedang mengaji di ruang tengah. "Hari itu, Ibu lagi sibuk menjamu keluarga Bapak, jadi Mama gak bisa ketemu Ibu."

"Jujur aja, banyak banget yang pengin Ibu bicarakan dan ceritakan ke mama kamu. Tapi, akan lebih baik kalau Ibu bicarakan nanti aja kalau kita ketemu." Amalia tertunduk.

"Iya, Bu. Tunggu sampai suasana mulai tenang."

Amalia mengangguk. "Kalau gitu, Ibu balikin handphonenya ke Ratih lagi, ya. Ibu mau lanjut bahas masalah perusahaan dulu sama Om Luki. Kamu hati-hati ya, Dek di sana. Jangan lupa istirahat sesibuk apapun, jaga kesehatan juga."

Eja mengiyakan sebelum handphone kembali pada Ratih. "Kalau gak ada yang perlu dibahas lagi sama gue. Mending udahan aja dulu, Kak. Gak kuat gue pengin kencing."

Ratih melotot. "Kebiasaan banget sih, Ja. Motong omongan orang dengan alasan pengin kencing."

"Kenyataannya kayak gitu gimana dong? Anu gue emang gak sabaran."

"Ih si kadal! Ngomong sama orang tua gak ada sopannya banget."

"Daripada kencing di celana. Emang Kakak mau nyucinya?"

"Ih najis. Udahlah kalau gitu. Entar kalau udah sampai pada pembahasan tentang waris, Kakak telepon lagi."

"Gak usah. Gak usah."

"Kenapa? Gak mau kebagian jatah?"

"Udah kebagian jatah kok gue," ucap Eja sambil mengakhiri panggilan video call lantaran tak tahan menahan hasrat untuk buang air kecil.

.

Speechless 😂

Sweet Like SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang