Bab 11

11 0 0
                                    

Masih pagi buta, tapi Ara sudah terbangun dari tidurnya. Ia membuka gorden menunggu matahari yang sampai saat ini masih malu-malu menampakkan wujudnya.

Lagi-lagi Ara melamun. Melamun apa yang akan terjadi selanjutnya, akan ada hal apa lagi setelah ini? Akankah lebih buruk atau mungkin akan membaik?

Rasanya terlalu jauh, terlalu jatuh, dan terlalu sekali pikirannya. Padahal ia meyakini jika segala yang terjadi saat ini sudah ada yang menentukan, sudah dituliskan jauh sebelum ia dilahirkan.

Ara geleng-geleng kepala, menyadarkan diri bahwa ia berpikiran terlalu jauh dan terlalu rumit. Namun, ternyata sulit menghindar dari kecamuk pikiran yang ada. Pikiran Ara kali ini melayang ke sosok Kenzie. Rasanya setiap teringat Kenzie, Ara sadar bahwa apa yang telah dilakukannya menyakiti Kenzi. Namun, di sisi lain ternyata luka yang diberikannya kepada Kenzie lebih melukai dirinya sendiri.

"Ken, aku memberimu luka tapi luka itu lebih menyakitiku" Gumam Ara dengan tatapan mata yang kosong.

Sampai dimana dering telpon membuyarkan lamunannya tentang Kenzie. Nama 'Papa' tertera dalam panggilan masuk tersebut. Ara enggan untuk mengangkatnya, karena ia tahu bahwa papa nya pasti juga akan lebih mendukung mama dan abangnya itu.

Namun, setelah 5 kali tidak menjawab kini sang papa pun masih saja menelponnya. Akhirnya Ara pun memberanikan diri untuk mengangkat panggilan itu.

"Halo, Assalamualaikum dek. Adek dimana?"

"Waalaikumsalam. Kenapa Pah?"

"Adek dimana? Biar papa jemput. Ayok pulang dek, gabaik pergi-pergi dari rumah"

"Gak pah, maaf. Mama yang nyuruh adek pergi jadi ya gapapa pergi. Adek bisa kok hidup sendiri, adek ga bakal ngerepotin mama papa sama abang lagi. Adek udah gede pah"

"Gausah keras kepala. Ayo pulang, mau dijemput apa gimana?"

"Gak. Adek gamau pulang"

"Yauda kalo gitu sekalian aja pergi gausa balik lagi. Gausah jadi anak papa lagi kalo bandel-bandel kayak gini. Sadar, kamu itu udah gede harusnya ngerti.
Ayo dek pulang, mama nangis terus dirumah, gabisa tidur mikirin adek. Pulang yaa..."

"..........."

"Hari ini ya harus pulang, kalau ga gausa jadi anak papa lagi selamanya!!"

Ara muak, ia matikan telpon tersebut secara sepihak. Ia benci dengan dirinya sendiri. Lagi-lagi lemah dengan ucapan-ucapan itu. Lagi-lagi air matanya tak dapat di bendung.

***

Tok tok tok......

"Araa, ayuk turun sayang. Kita sarapan bareng" Suara dari bunda Gian terdengar nyaring ditelinga Ara.

"Iya bun sebentar" Balas Ara.

"Ya Allah Ara harus gimana? Ara tahu jika segala yang Ara alami adalah ketetapanMu. Namun, aku bagaimana? Kembali atau hidup sendiri?" Batin Ara sembari melangkahkan kaki menuju ruang makan.

AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang