Bab 3

36 5 0
                                    

PoV Ara

Baru kali ini kakiku rasanya sulit untuk ku ajak beranjak. Sesak di dada dan juga berat untuk melangkah. Hati yang berkecamuk, sedih, kecewa, sakit. Sakit yang benar-benar sakit. Seperti ribuan pedang menusuk tepat di dada. Iya, semua hanya karena kehilangan. Kehilangan dia yang selama ini menemani hari-hariku. Kehilangan yang benar-benar kehilangan.

"Iya, terimakasih tumpangannya ya Ken"

Seletah mengucapkan itu aku segera melangkahkan kaki ku untuk segera pergi, pergi meninggalkan kepingan kepingan kenangan yang pernah kita lalui bersama. Berat namun aku harus senantiasa melangkah. Mungkin dengan melepaskan adalah hal yang terbaik untuk kita saat ini.

Menutup bersama cerita yang penuh torehan tinta diatas kertas putih. Cerita yang usai saat belum selesai. Terimakasih banyak Ken, banyak hal yang gaakan pernah kulupa.

*Author PoV

Ara membuka pintu rumah dengan lesu dan mata yang sembab dikarenakan habis menangis.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam. Dek, kamu kenapa kok lesu gitu. Ada masalah?" Tanya mama Ina.

"Gaada mah. Ara ke kamar ya. Ara capek banget. Maaf ya mah"

"Iya sayang, istirahat ya"

Dengan perlahan Ara menaiki tangga dan akhirnya sampai di kamar. Ara pun segera menjatuhkan diri di kasur. Sambil tengkurap ia menangis, berharap dengan tengkurap bisa meredam suara tangisnya.

Sakit hati, kecewa, sedih dan juga kehilangan. Rasa yang hampir tidak bisa di deskripsikan bagaimana sakitnya.

Ara menangis, menangis pilu sendirian dikamar ditemani boneka dolphin kesayangannya. Menangis meluapkan segala rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan dengan kata.

"Ini semua salahku. Aku benci sama abang. Benciiiiiiiiiiiiiii" Ucap Ara dalam tangisannya.

Tak terasa senja sudah datang menyapa. Semburat orange di ufuk barat semakin lama semakin memudar. Matahari telah tenggelam bersama dengan semua cerita dan kenangan yang akan selalu tersimpan.

*toktoktok
"Ara sayang, yuk makan malam. Ayah sudah dibawah loh"

"Iya mah nanti Ara nyusul"

Ara pun bergegas mencuci wajahnya dan mengganti baju. Ia tidak ingin kedua orangtuanya khawatir terhadapnya. Setelah itu ia pun bergegas untuk turun dan makan bersama.

Ara makan dengan sendu, pikirannya melayang kemana-mana. Makanan yang seharusnya dimakan hanya diaduk.

"Kamu lagi ada masalah sayang?" Tanya Papa.

"Gaada kok Pah, Ara cuma kecapekan aja. Yaudah Ara mau ke kamar aja ya Mah, Pah. Ara mau lanjut belajar lagi"

"Eh ini makanannya ga dihabisin?" Teriak mama

"Ga mah, Ara kenyang"

Tak lama setelah Ara pergi ke kamar, abang Ara pun datang.

Kevin Pratama, orang yang perfectionist, suka mengatur perihal Ara, keras kepala, suka seenaknya sendiri, sayang keluarga dan bertanggungjawab.

"Assalamualaikum Mah, Pah. Adek mana kok gaikut makan?" Tanya Kevin

"Waalaikumsalam. Adek baru aja ke atas. Udah makan tadi sedikit, udah kenyang katanya jadi mau lanjut belajar aja" Jawab Papa

"Oh gitu, yaudah deh Mah, Pah, abang ke kamar yaa. Tadi abang udah makan bareng temen-temen di kantor"

"Iya bang" Jawab Mama

Saat menuju ke kamar, Kevin pun melewati kamar Ara. Ia pun dengan sengaja langsung membuka pintur kamar Ara tanpa mengetuknya.

"Dek, gimana? Udah selesai sama Ken? Lu tuh harusnya mikir pendidikan lu. Gimana lu mau banggain mama papa kalo lu kayak gini? Malu gue punya adek kayak lu. Masuk teknik kimia aja gak lolos. Lu tau gak gw dulu itu saking pengennya di teknik kimia gw rela belajar mati-matian dan hasilnya apa? Gw lolos kan dan sekarang gw sukses. Lah lu dari dulu kan udah gw bilangin belajar yang bener kagak usah pacar-pacaran ga guna tuh. Mikir lah, ntar semua temen lu sukses lu ngegembel sendiri? Udahlah capek gw"

Ara hanya diam. Membungkam wajahnya dengan bantal. Tak ingin mendengarkan omongan jahat abangnya.

"Kenapa sih abang harus ngatur-ngatur hidupku, kenapa harus ngekang aku sampe segininya, kenapaaa" Ujar ara dalam hati.

Tak lama berselang akhirnya kevin pergi meninggalkan kamar Ara. Ara kini duduk termenung, apa yang harus ia lakukan? Menuruti kemauan keluarganya? Yang mentrigger sukses harus seperti abangnya? Dari mulai pendidikan sampai kehidupannya.

Lagi-lagi Ara hanya mampu membatin atas apa yang terjadi pada dirinya.
Apakah mereka tidak tahu jika semua orang memiliki jalan hidup sendiri, memiliki jalan sukses sendiri, memiliki lika-liku hidup yang berbeda? Apakah mereka tidak sadar akan semua itu? Haruskah aku menjadi boneka? Yang dari dulu tidak pernah bisa untuk memilih jalan hidupku sendiri. Pa, ma, bang, Ara bukan robot yang bisa kalian remot kemanapun kalian inginkan.

Rasanya rasa sayang tidak akan seperti ini. Sayang tidak akan mengekang. Apa tidak cukup selama ini? Apa aku tidak boleh melakukan hal yang aku sukai? Aku benci kalian semua.

"Ken, kenapa kamu harus ninggalin aku sih Ken. Padahal kamu tahu, kamu adalah tempat bahagiaku, kamu adalah tempat aku bersandar, kamu adalah bahagia yang paling bahagia untukku" Gumam Ara dengan memandangi foto Ken yang tergeletak di atas kasur.

"Apa aku bunuh diri aja, biar kalian semua senang. Biar kalian semua gaperlu repot-repot mikirin aku yang katanya bodoh dan gabisa apa-apa ini? Ya Allah, tolonglah hambamu ini😭 hamba lelah, kesabaran mana lagi yang harus hamba gunakan ya Allah"
Teriak ara dalam hati.

Author PoV

Semesta memang sebecanda itu, sesuatu yang harusnya bisa menjadi pelipur lara kini ia telah pergi meninggalkan jiwa dengan ke-hampaannya. Lalu bagaimana? Bukankah hidup memang tentang meninggalkan dan ditinggalkan? Iya, sekecil itu cakupannya. Terkadang kita terlalu terlena yang bahkan tidak pernah untuk bersiap-siap ditinggalkan ataupun meninggalkan. Dan saat waktunya tiba, hancurlah semua angan yang pernah dimiliki bersama. Hancur, sedih, kecewa, semuanya berantakan.

Melepaskan memang bukan suatu hal yang mudah. Namun, hidup harus tetap berjalan bukan? Selamat tinggal untuk yang seharusnya menjadi selamat tinggal.

AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang