"Gue pindah rumah, Dy.""Hah?"
Hening sesaat, dua spesies homo sapiens itu tak ada yang bergeming. Sama sama melamun melihat rumah bercatkan abu dipadu hijau dari arah balkon. Itu rumahnya Vallino.
"Ya udah," lirih Cindy.
Lino malah mendelik, julidable. "Maksudnya ya udah apaan," cetus Lino, seakan lupa kalau mamanya tadi mengancam hendak membakar barang barang Lino.
"Ya udah, gak apa apa. Lo mau pindah ya pindah aja. Gak ada yang salah, kita masih bisa ketemu di sekolah." Kata Cindy mengedikkan bahu, bales menatap Lino lalu tersenyum tipis.
"Yakin?"
"Yakinkanlah aku Tuhan–"
"Serius anjrit Dy, malah dangdut."
Cindy senyum lebar, menyender ke pembatas.
"Serius Lin, ya walau gue gak ikhlas sih kalo lo pindah."
"Lo pikir aja sendiri, disini lo tuh udah bareng gue dari orok. Kalo lo pergi nanti gue disini sama siapa? gak ada temen sebaya disini."
"Terus kalo gue bilang gue gak mau lo pindah lo bakalan tetep disini? mau larang larang lo memangnya ngaruh? posisi gue itu cuma temen lo Lin."
"Lagian lo kan cuma pindah rumah, bukan pindah sekolah. Lo gak ada disamping rumah gue, tapi ada di samping bangku gue. Kita mungkin gak tetanggaan lagi, tapi disekolah kita chairmate."
Cindy berdiri tegak, menepuk bajunya beberapa kali. Berdiri dihadapan Lino, menguluran tangannya lalu tersenyum tipis.
Lino diam, tak berniat membalas uluran tangan Cindy– tapi tangan kanan Cindy ditarik Lino, didekap.
"Kok gue gak suka ya lo ngomong bijak kayak gitu?"
Lino kira Cindy bakalan memprotes, meneriakinya tak suka lalu mengambek. Tapi Cindy malah menerima, Lino sendiri malah mendelik tak suka.
"Mending sekarang lo pulang Lin, kalo barang barang lo beneran dibakar gue gak mau disalahin ya. Nanti gue nyusul ke rumah, bantuin beresin." Cindy melepas pelukan Lino, menepuk bahu cowok itu beberapa kali lalu masuk ke dalam kamar disusul Lino setelah menutup pintu balkon.
"Gak mau nuntasin dulu?"
"Apa?"
"Tipe–"
"Dih cocot, lupain dah."
"Apaan? nanggung banget padahal tinggal satu lagi, kan."
Cindy diam, tak ada niatan menjawab.
"Gak usah dikasih tau juga gue udah tau dari awal sih. Tipe ke sepuluh, ev ava el ili valli en o, Vallino, Vallino agathan." Sambung Lino pede. Cindy sendiri mau menabok tapi ketahan sama gengsi.
"Gue mau follow back nih, diterima gak?"
"Apaan sih gaje banget, cepet pulang sono!"
"Heh lo yang ngaku duluan atau gue?"
"Gak ada ngaku ngaku, cepetan pulang."
"Oke lo duluan."
Jadi sekarang, keduanya berhadapan dengan tangan Lino dibahu Cindy tapi tak ada satupun yang mau berbicara. Malah saling menatap. Sampai pintu kamar terbuka, Jessi menutup mulut seakan syok seperti menonton sinetron.
"Lagi ngapain? tatap tatapan segala, jatuh cinta nanti." Celetuk Jessi dengan sapu ditangan. Menatap kedua makhluk yang dia anggap sebagai anak sendiri. Yang satu memang iya.
"Cindy minta follow Ma, giliran Lino follow back malah diem."
"Instagram?"
"Perasaan Ma."
END
bwahahahaha end gak ya :v end aja deh :v
// HABEDE VALLINO a.k.a LEE KNOOOOOWWW SEMOGA MAKIN TUA MAKIN PEKA SAMA MANUSIA SATU
YANG DI BANDUNG Y (tentu saja oku) NUNGGUIN LAMARAN LAMA BANGET DARI JAMAN OVUMINI DIA SANG PANGERAN BERKEDOK BABU YANG LAGI ULTAH~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
ideal type' -leeknow [✓]
Fanfic"Jangan mentang mentang lo mirip hewan tipe ideal lo jadi gak manusiawi ya." Vallino agathan tiba tiba nyeletuk, "tipe ideal lo yang kayak gimana?" dan mulai saat itu, selama sepuluh hari kedepan, Cindy memberi tau tipe tipe idealnya. Tapi kok, jato...