"Eh, ada Putra ganteng … mau ke mana?" tanyaku yang dibalas kekehan andalannya.
"Mau ke kantin. Lo mau ke mana?"
"Ke hatimu."
Kepalaku langsung dihantam sesuatu dari belakang. Ketika aku menengok, senyum masam jelas terpatri di bibir.
Ada pawangnya.
Vida memukul tanganku yang di perban. "Urusin aja tangan lo dulu, jangan ngurusin pacar orang terus. Dan asal lo tau, hati Putra udah ada gue," ocehnya cepat.
Aku mengikuti ucapan Vida walau tanpa suara. Jujur, aku tidak berniat menggoda Putra, namun sengaja membuat ceweknya kesal. Vida sangat sensitif denganku. Bahkan ketika aku dan Alice bersamaan meminjam pensil, dia hanya memberi untuk Alice. Menyebalkan? Iya, itulah Vida yang aku kenal.
"Tumben gak ke kelas seberang. Biasanya lo selalu di sana kalo jam istirahat kayak gini."
"Ngapain? Pacar lo aja di kantin."
Lagi, tanganku dipukul olehnya.
"Sumpah … lama-lama gue borong salad di kantin. Kambing banget lo, pacar orang masih dipengenin."
Dengan cepat aku menggeleng. Ranu tidak bisa makan jika tidak ada salad. Gawat! Vida tidak pernah main-main dengan ucapannya. Aku juga langsung menyanggah, yang kambing bukan aku, tapi Ranu.
Cewek itu hanya tertawa melihatku panik begini.
"Dep, apa sih, yang spesial dari Ranu? Cowok dingin kebangetan, kaku, terus anti banget kayaknya sama cewek. Kalo lo lihat dia mirip kak Jaetra yang cool bisa menggoyahkan iman, mata lo harus diperiksa," kritik cewek itu padaku. Aku hanya bisa menumpukan kedua tangan di dinding yang menjadi pagar lantai ini, sambil melihat lapangan dari atas.
Apa yang spesial dari Ranu?
Aku juga gak tau. Dia betulan kaku, berbicara dengan sahabatnya saja masih menggunakan saya-kamu. Ranu juga jarang senyum. Aku ingat dia pernah tersenyum waktu kenaikan kelas dan mungkin itu satu-satunya senyum yang pernah kulihat.
Ranu begitu unik. Setahun mengamati pun aku tidak tau apa-apa tentangnya. Hanya Ranu yang kaku, dingin, dan anti disentuh cewek.
"Ranu itu imut. Gila gue demen banget sama dia, Vid. Apalagi waktu dia makan salad—"
"Kenapa waktu saya makan salad?"
Mampus.
"Jangan melotot. Hantu takut sama kamu."
"A-anu, kok lo di sini?"
Ranu membuang muka. "Hanya sekedar lewat. Lalu mendengar kamu membicarakan saya. Sendirian," jawabnya.
"Tadi ada Vida kok! Beneran. Serius. Gak bohong."
Kemana Deepshika yang tadi berani merayu Putra?! Ya Tuhan, kenapa aku lembek sekali di hadapan Ranu? Apakah aku ini titisan jeli?
Vida juga ke mana lagi. Kan, aku ditinggal. Nyebelin banget! Pasti dia sudah tau kalo Ranu mau lewat depan kelasku. Lihat aja, aku akan balas dendam.
Aku memegangi dadaku yang berdebar kencang. Lebay. Biasanya Alice memberikan komentar seperti itu. Untung dia tidak ada di sini. Kalo ada mungkin aku sudah jadi bahan candaannya.
"Kenapa gak datang?"
"Hah?"
"Ke kelas saya."
"Hah?"
"Biasanya kamu ke sana di jam istirahat pertama."
"Kangen?" Aku langsung memukul bibir. Beginilah jika berbicara tanpa otak, menyesalnya belakangan.
Selanjutnya tidak ada yang berbicara kembali. Pertanyaanku cuma dibalas oleh hembusan napasnya. Ya, aku tidak kecewa. Melihat Ranu mau mengobrol denganku saja sudah sesuatu banget, aku tidak seserakah itu.
Cowok itu menyodorkan paper bag. Aku hanya merespon dengan mengernyit. Masalahnya kalo bukan untukku malunya pake banget, makanya aku diamkan—
"Buat kamu."
DEMI APA?!
Misalkan ini di suatu acara televisi, aku butuh tau kameranya di mana. Beneran. Aku gak kuat. Jika ini acara prank yang sedang naik daun juga tolong beri tau aku secepatnya. Deepshika yang cantik jelita itu tidak kuat sekali. Ranu, lo harus tanggung jawab untuk penyebab jantung yang berdetak lebih cepat. Dahlah.
"Ambil. Buat kamu."
Ranu langsung memindahkan ke dalam genggamanku. Dengan tatapan bingung, fokusku menjadi dua. Ranu dan sesuatu di tanganku.
"Dimakan. Jangan terlalu lincah, tanganmu masih diperban," perintahnya dan aku iyakan dalam hati.
Pasti. Pasti akan aku laksanakan.
Cowok itu pergi waktu aku sudah mengucapkan terima kasih. Kupikir Ranu tidak tau aku, ternyata tidak. Dia kenal aku.
Masuk kelas dengan berlari, aku mendapat omelan dari Gallen. Katanya, "ngapain, sih? Kakinya mau diperban?"
Aku menggeleng dan langsung duduk di bangku depan. Di samping tas Alice yang tergeletak di atas meja.
Bahagianya istirahat ini.
***
Mendengar pak Andra menjelaskan pajak penghasilan tidak membuatku jenuh. Padahal dia berbicara terlalu cepat hingga telinga tidak bisa menangkap kata-katanya. Dia juga tidak terlalu peduli dengan keadaan kelasku. Buktinya Ersya malah bermain tebak-tebakan bersama Seno, Alice sibuk dengan novelnya, dan aku tetap tersenyum memperhatikan pak Andra.
Aih, apakah ini efek ayam goreng pemberian Ranu? Hebat sekali. Seharusnya dia menyiapkan 23 ayam lainnya untuk aku bagikan di kelas, mungkin temanku akan merasakan efek yang sama.
"Lo tau? Biasanya yang sering tersenyum padahal gak ada yang harus disenyumin itu sebuah tanda."
"Tanda apa?"
"Tanda gila."
"Lice, Lo kalo ngajak berantem mending di lapangan, deh," protesku.
Alice menutup novelnya. "Kenapa, sih? Senyum mulu dari tadi."
"Kepo. Udah, lo dengerin pak Andra ngoceh aja. Jujur, gue sih, gak tau dia ngomong apa."
Aku memang tidak tau penjelasan yang ada di depan, tapi aku adalah orang dengan posisi paling siap diantara semuanya. Duduk tegak, kepala menghadap ke depan, senyum tersungging, namun abaikan otakku yang nyasar di XI Pariwisata 2.
Di kelas ini, kini membicarakanku. Mereka berbisik mengapa aku seperti begini. Aku diam saja. Membiarkan gosip yang bilang aku kesurupan. Hilih, orang aku lagi bahagia, kenapa mereka yang sibuk? Aneh mereka, tuh.
Hingga pak Andra rapih mengajar pun aku tetap tidak bergerak banyak. Masih memikirkan kejadian yang tadi.
Ranu, Ranu, bisa-bisanya lo bikin gue kayak gini?
Udah, lah … lemah banget emang ini hati.
"Dep, sekali lagi Lo senyum bakalan gue tabok," ancam Wanda sambil menodongkan sebuah buku.
Aku malah melebarkan senyum.
"Serem woy!" seru Rena sambil berjalan ke arah belakang kelas. "Jangan temenin Deepshika anjir, dia gak jelas."
Sekelas mengikuti apa yang Rena lakukan. Bahkan Alice juga ikutan. Tersisa aku duduk sendiri di depan sambil tersenyum melihat mereka.
Ngerjain orang ternyata seru, ya? Hahaha.
"Deepshika gila, woy!"
"Eh, panggil pak ustad cepet."
"Geblek, panggil Ranu aja, nanti juga sembuh."
"Sembur air cepetan. Seno suruh nyembur, dia, kan, dukun beranak."
"HUAAAAAA SENO! BANGKU GUE JADI BASAH!"
Dan aku mengerti, yang gila bukan aku, namun mereka semua.

KAMU SEDANG MEMBACA
Candala
Genç KurguYang Deepshika takutkan adalah dirinya tidak layak untuk Ranu. Nyatanya dia hanya ragu. Ranu terlalu kelam untuk sebuah cahaya yang bersinar terang. Deepshika tak pernah tahu itu. Tapi Ranu ingin tahu, apa yang disembunyikan Deepshika? Kenapa ... De...