6

263 35 4
                                    

"Akulah, yang memang kurang memahami situasi.."

Jae masih mencoba menenangkan Taki yang masih sesenggukan karena suara tinggi Namjoon padanya tadi. Ia terus mengusap punggung anaknya agar mencoba tenang, dan mencegahnya anaknya terbatuk lagi karena tersedak air liurnya sendiri.

"Uhuk.. hiks.. hiks.. hmph.."

"Don't cry, son.."

Bocah itu mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan menggelengkan kepalanya dan berharap bentakan sang ayah hanya mimpi buruk.

"A-aku hiks.. aku bodoh.. Daddy marah hiks.. gara-gara aku, mom. Hiks.."

Jae memeluk sang anak yang berada di pangkuannya dan mencium pelipisnya. "memang, Daddy marah karena Taki salah juga. Tapi, Taki tidak bodoh. Taki ceroboh. Lain kali jangan seperti tadi yah? Kan Taki juga yang bilang, kalau Taki sendiri yang mau memberikan kuenya ke grandma.. hmm?"

Bocah tujuh tahun itu menggeleng dengan tangisan yang masih enggan mereda. Ia merengek pada sang ibu, bahwa ia bodoh. "Anniyaaaaa.. aku bodoh. Hiks.. d-daddy nanti nggak mau main sama aku lagi, nanti kerja lama lagi. Hiks.."

"Who says?"

"Huwaaaaaaaaaa hiks.."

Jae juga harus bisa sedikit tegas disini. Benar, tak sepenuhnya Namjoon salah memberi ketegasan pada sang anak. Namun, bila ia sedikit keras juga pada Taki, ia takut bahwa Taki semakin takut untuk dekat dengan kedua orang tuanya.

"Hey hey Hey, dengarkan Mommy." Anaknya masih enggan tenang. "Taki, listen to me!"

Sang anak sedikit tenang walau sesenggukan kembali. Ia lantas mengambil kesempatan itu untuk berbicara pada anaknya, memberikan petuah sewajarnya bagi anak berusia tujuh tahun.

"Taki kalau Daddy sama Mommy selalu teriak-teriak, mau tidak?" Bocah itu menggeleng. "Tidak kan? Kalau begitu, Taki harus jadi anak baik. Kalau di beri amanat, langsung dikerjakan dengan tuntas. Apalagi Taki laki-laki, harus bisa mengerjakannya dengan cepat."

"T-tapi mom.. hiks.. aku kan sudah minta maaf, hiks.. d-dad masih marah.. hiks."

Jae mengerti perasaan anaknya. Sebelumnya, Taki tak pernah mendengar suara tinggi Namjoon seperti tadi. Bukan salah Namjoon juga, atau salah Taki. Tapi salahnya yang kurang memberi perhatian pada keduanya.

"Gini deh, Taki keluar nanti kalau ketemu Daddy, Taki minta maaf lagi. Bilang janji kalau Taki nggak akan ngelakuin lagi. Bisa?"

Bocah itu terdiam sesaat, namun kemudian mengangguk walau nampak masih enggan untuk bertemu sang ayah.

"Good, i love you, boy." Jae mencium kening anaknya dan mengusap kembali punggung anaknya. Ia masih memberi Taki waktu agar tak bertemu Namjoon dulu. Ia timang-timang sang anak, hingga cukup lama, anaknya sudah menuju ke alam mimpi walau sesekali terdengar sesenggukan tangis dalam tidur anaknya.

.
.
.
.
.

Jae keluar setelah menidurkan Taki. Ia beranjak menuju ruang makan dan melihat keluarga Namjoon sudah berkumpul disana. Juga ada Jungkook yang nampak tersenyum kepada ayahnya. Ah, Jae bahkan belum menyapa adik iparnya yang menggemaskan itu.

"Jungkookie annyeong" ia mengusap lengan Jungkook dengan sayang.

Jungkook mencoba mendongak dan tersenyum lebar melihat kakak ipar yang sudah ia anggap kakaknya sendiri sedang tersenyum juga kearahnya. "N-noona Jae annyeong, annyeong Noona. Ah Noona cantik sekali hari ini. Cantik. Iyah cantik."

Jae yang dipuji oleh adik Namjoon langsung mengecup pipi Jungkook sekilas dan duduk disamping laki-laki yang masih duduk di bangku SMP itu. Jungkook mengidap autisme, hingga ia bersekolah di sekolah khusus anak sepertinya. Tahun ini, Jungkook duduk di kelas tiga SMP, ia akan menuju jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan keluarga Namjoon masih belum menemukan sekolah tinggi yang cocok untuk Jungkook-nya.

A D O R A B L E (KNJ)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang