Kali ini, Seoul terlihat ramai. Gedung kiri-kanan jalan bersinar terang, diiringi dengan suara manusia dan kendaraan lain. Kutembus belahan jalan besar bersama Mercury, sembari kuhirup banyak-banyak sejuknya udara Seoul.
Berakhir di salah satu rumah makan khas Thailand, aku langsung turun dari motor dan masuk hingga ke dalam dapur. Keadaannya sangat ramai, karena pelanggan banyak yang keluar saat malam minggu.
Sembari mengunyah permen karet, kulepas jaket kulit hitam milik Ayah dan menggantungnya di dekat pintu. Aku langsung mengambil alih dapur, dan mulai bekerja.
Ah, ya, aku bekerja paruh waktu disini. Setidaknya, dengan gaji perhari yang tidak besar, itu sudah cukup dengan uang makanku sehari-hari.
"Nah, baru dateng, ya?"
Suara milik Ten—pemilik restoran ini—membuatku menoleh kearahnya, dan mengangguk, lalu melanjutkan aktivitas memasak lagi. Samar-samar kudengar decakan yang keluar dari bibir tipisnya. Sayangnya, aku tidak peduli.
Ten berdiri menghadap padaku. Tatapan intensnya seolah menuntutku untuk menjawab. Siratnya ini yang membuatku risih. Padahal aku sering bilang padanya, aku telat karena mengerjakan tugas. Tetap saja ia selalu mewawancaraiku. "Kapan lo ambil rapot? Udah bayar bulanan sekolah?"
Kunaikkan kedua alis sembari menatapnya dengan datar. Tumben sekali, ia membicarakan sekolah. Seumur-umur aku bekerja disini, baru kali ini ia menanyakan sekolahku.
Setelah menyiapkan makanan, aku langsung memberi makanannya pada Jungwoo sebagai pelayan. Lalu aku kembali menghampiri pria berselisih 4 tahun dariku.
"Maksud gue—lo..." Pria ini suka sekali menggantungkan kalimatnya membuatku geram. Kulihat ia menghelakan nafas dan mengulum bibir bawahnya.
Daripada mendengar ucapan Ten yang tidak jelas, lebih baik aku pergi ke mini market.
"Udah itu aja?"
Saat kasir mengatakan begitu, aku hanya mengangguk dan membayar sekaleng kopi yang kubeli. Setelah itu, aku keluar dari mini market, dan—bruk!! fucking bitch. Sekaleng kopiku jatuh ke permukaan jalan. Ia juga jatuh ke permukaan jalan. Kutatap pria dihadapanku ini dengan penuh kebencian. Sorot matanya yang ketakutan, membuatku sedikit luluh.
"Mian... eum—" Aku masih setia menatap orang ini. Ia malah menunduk dan memainan jarinya. "A-apa kamu bisa menolongku?" Lirihnya sembari mendongak menatapku dan menyatukan kedua telapak tangannya pertanda memohon.
Keningku berkerut. Kupaparkan wajah bingung. Wajah pria malang ini sangat menyedihkan, membuatku menghelakan nafas dengan berat. "Lo kenapa?"
"A-aku... mau di ajak—eum, katanya itu bercinta, t-tapi ia malah... membuka seluruh pakainku. K-kumohon, tolong aku..." Lirihan kecilnya bisa kutangkap, bahwa pria ini baru saja ingin di perkosa. Wajahnya yang lugu, serta penampilannya yang sudah berantakan, tentu membuatku berempati padanya.
"Shotaro!!"
Satu teriak mendominan di kedua telingaku. Pria malang ini langsung bersembunyi di belakang tubuhku. Kurasakan tubuhnya yang gemetar. Ia menangis. Tiba-tiba saja ada seorang pria berperawakan tinggi menghampiriku dengan marah sembari menatap pria malang yang berada di belakangku.
Saat pria ini ingin menarik kasar tangan kecil milik pria malang, saat itu juga kutepis dengan kasar tangannya. Tentu ia marah sembari mengusap wajahnya kasar dan menatapku.
"Maaf, tapi gue berurusan dengan orang yang ada di belakang lo. Shotaro, pul—"
Aku tertawa remeh sembari mengunyah permen karet, membuatnya terpaku. Kutatap wajah laki-laki ini tanpa ekspresi. "Lo yang berani perkosa anak ini?" Ucapku sembari mengepal kedua tanganku. "Lo cinta sama anak ini, tapi lo berani nyentuh dia? Sorry to say, gue homophobia. Dan gue bener-bener muak sama lo berdua!" Sungutku yang kemudian langsung menarik tangan pria malang ini pergi. "Ayo pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Shotaro ✓
Novela Juvenil❝Shotaro itu mengidap penyakit Little Space. Ini aneh, namun fakta.❞ ¬ With #SHOTARO ᵎ꒱ ⋯ Nov 3, 2020. // 19KG-FLO