luke & amy - 184

350 43 7
                                    

× Amy ×

"Amy, bangun!" Aku terbangun dengan pelan, lalu ku kucek-kuck mataku hingga akhirnya aku bisa melihat dia dengan jelas. Dia sedang duduk dipinggir kasur-ku, lalu tersenyum ramah kepada-ku saat aku melihatnya. "Wajah-mu sangat jelek, tapi, aku menyukainya."

Aku tersenyum manis dan pipiku sudah merah mendengar kata-katanya yang manis. Dia memang selalu begitu, dan aku menyukainya. "Sedang apa kemari? Sekarang jam berapa? Aku ingin tidur lagi," Baru ku sadari, sekarang dia sedang memakai pakaian yang menurut-ku sangat rapih. Dan ia tampan sekali.

Ku tatap wajahnya, wajahnya langsung berubah sedih. "Ada apa?" Aku bertanya heran, dan dia tersenyum pahit. Aku tahu ia menyembunyikan sesuatu, "Peluk aku," Dan aku memeluk-nya dengan cepat. Aku merasakan kehangatan yang luar biasa, jadi beginilah rasanya kalau dipeluk dia.

Dia mencium dahi-ku lalu melepaskan pelukan yang aku berikan, "Aku harus pergi," Hanya itu yang dikatakannya. Pergi kemana? Biasanya, dia hanya mengabari lewat pesan, tapi, kenapa dia sampai datang ke rumah-ku? "Kemana?" Aku bertanya serius. "Aku harus meninggalkan-mu,"

Aku menunduk sedih. Jadi, dia akan meninggalkan aku dan jarak diantara aku dan dia sangat jauh? "Kenapa? Kau ingin kemana?" Aku bertanya lagi, dan aku menatap wajahnya sangat serius. Dia menangis. Aku ulangi, dia menangis. "Aku tidak ingin meninggalkan-mu, tapi, aku harus. Aku akan pergi jauh,"

Apa? Dia akan pergi jauh? Dia dan aku sama-sama tersenyum pahit, "Aku menyayangi-mu, dan selalu. Aku bahkan mencintaimu. Kau tahu, kan? Aku berharap kau baik-baik saja saat kau tidak ada disisi-ku. Aku akan meninggalkan-mu, itu artinya tidak ada lagi pelukan hangat dari-mu dan itu menyedihkan untukku."

Dia menghela napas sambil menghapus air matanya yang masih berjatuhan, "Jadi, selamat pagi dan selamat tinggal. Aku berharap semoga Tuhan mau mempertemukan kita kembali, kapanpun itu dan dimanapun itu." Dia tersenyum pahit lalu berdiri, "Ini semua keputusan-mu, kan?" Dan dia mengangguk.

Lalu dia tersenyum manis lagi, dan berbalik-- berjalan menuju pintu kamar-ku. Aku tidak mengerti ia berkata apa tadi, tapi intinya, dia akan meninggalkan-ku, kan? Dan aku tidak mau ini terjadi!

"LUKE!!!"

"TUNGGU! JANGAN PERGI! JANGAN TINGGALKAN AKU!"

"AKU JUGA MENCINTAIMU! TOLONG BERBALIK!"

Sialan, mimpi. Aku bermimpi tentang-nya. "Luke?" Ku dapati Corliss sedang merapikan rambut-nya, dan dari kaca aku melihat kalau dia sedang memperhatikan-ku. Ah, aku menghela napas. Kenapa harus dia lagi? Dan kenapa mimpinya tentang dia akan meninggalkan aku?

"Semuanya oke?" Aku mengangguk, semuanya memang oke. Aku berbohong, tapi, mau bagaimana lagi? Ini karena mimpi sialan yang aku dapat. Coba saja kalau aku tidak bermimpi tentang ini, semuanya akan baik-baik saja, kan? "Sudah pukul setengah sepuluh dan kau baru bangun karena mimpi-mu. Mau ikut jalan-jalan atau tidak?" Kata Corliss, dan aku langsung keluar untuk ke kamar mandi.

* * *

Setahuku, Glasgow itu kota terbesar di Skotlandia, kota yang ramai dengan banyak kegiatan sosial dan budaya dan tempat-tempat bagi orang untuk mengunjungi. "Cols, bukankah itu gereja?" Tiba-tiba Calvert bertanya, dan aku melihat Colsson mengangguk. Kami benar pergi bersama, dan sekarang hari minggu.

Orangtua Colsson mengizinkan kami untuk pergi berjalan-jalan, katanya, semuanya oke karena ada Colsson. Konyol, bukan? "Dibangun pada tahun 1136. Dan ini satu-satunya tempat ibadah yang telah bertahan reformasi," Jelas Colsson memberikan informasi kepada aku, Corliss dan Calvert.

"Bagaimana kau tahu itu? Kita baru saja pindah," Colsson tertawa dan ia hanya mengangkat bahu-nya. Colsson sangat tampan hari ini, dengan artian dia mirip sekali dengan orang yang tidak ingin ku ketahui namanya. Kau tahu, kan, siapa orang yang ku maksud? Yah, aku tidak mau dan sangat malas untuk menyebutkan nama-nya.

Sudah kubilang, aku harus melupakan-nya!

"Katedral Glasgow? Ini keren, kau tahu?" Aku berceletuk, Corliss dan semuanya menyetujui ucapan-ku. Kami sempat berfoto-foto didepan Katedral ini, dan aku melihat senyuman Colsson yang bahagia. "Aku punya tebakan," Ucapku, "Siapa yang tahu jawaban-nya, aku belikan kau satu batang cokelat yang kita inginkan, yang harga-nya mahal itu. Ingat?"

Colsson, Corliss dan Calvert menatapku serius-- bersiap mendengar pertanyaan dariku. "Aku hanya ingin tahu, sebutan apa untuk orang-orang asli Glasgow?" Semuanya diam, dan serius berpikir. Aku menatap Colsson, ia lucu dan aku berhasil tertawa. "Aku belajarx itu hari Selasa! Aku lupa, sialan!"

Celetuk Corliss dan ia masih sambil berpikir. "Aku menyerah, aku tidak tahu tentang ini." Colsson menatapku, dan aku menatapnya meledek. "Cal tidak tahu," Colsson, Corliss dan aku tertawa mendengarnya. "Fine, aku nyerah." Aku tertawa penuh kemenangan sementara mereka menatapku sebal.

"Glaswegians. Kalian kalah, ayo kita pergi!"

Aku teringat, saat aku dan orang yang tidak ingin ku ketahui namanya sedang bermain tebak-tebakan disalah satu taman dikota Paris. Kau ingat? Yah, aku teringat. Dan dia kalah, kalau tidak salah, aku menyuruh-nya untuk membelikan beberapa cokelat untuk Ashley. Ya, konyol dan bodoh.

"University of Glasgow! Bisakah kita kesana?" Kami serempak langsung memandang Corliss, entah tujuan apa yang ia inginkan untuk pergi ke sana? "Untuk apa?" Tanya kakak laki-lakinya. "Yah, aku hanya ingin melihat keadaan universitas disini. Please, Colsson?"

Keluarga Dempster memang lucu, dan aku menyukai mereka. "Kapan-kapan, oke? Kita pulang ke rumah. Aku rasa Mom sudah menyiapkan makan malam untuk kita," Benar. Sudah malam, dan aku baru tahu itu. Colsson, yang berada didepanku, yang sedang menggandeng Calvert, tiba-tiba ia melepaskan genggaman-nya.

"Liss, bisa kau gandeng Cal? Aku ingin bersama Amy sebentar, yah, bisa, kan?" Aku tertawa sementara Corliss mendengus lalu ia mengangguk, dan menggandeng adiknya lalu kami kembali berjalan.

Ku kira hanya Corliss yang bergandengan tangan dengan Calvert, tapi ternyata, aku dan Colsson juga sama seperti Corliss dan Calvert. Ia menarik tanganku, mengenggamnya dengan hangat dan aku merasa nyaman. "Disini keren, kan?" Dia menatapku dengan senyum hangatnya. Aku mengangguk.

"Amy sayang, dengarkan aku dan aku berharap kau tidak marah," Aku mengangguk, menandai kalau aku akan mendengarkan apa yang akan ia katakan. "Aku, yah, masih menyukaimu." Aku tersenyum mendengarnya, "Menyukai seperti Corliss menjaga Calvert?" Ia menggeleng.

Hebat, dia masih menyimpan rasa untukku, dan itu belum berubah sampai sekarang. "Wah, aku tidak menyangka kau masih mau aku menjadi pacar... kau?" Aku tertawa meldeknya, dan ia hanya menggaruk-garuk kepala bagian belakang. "Aku hanya bercanda," Kataku sambil meredakkan tawaku.

"Kau membuatku keren. Maksudku, aku menyukai-mu seperti dulu. Dan aku merindukan saat aku mencium bibir-mu. Hahaha, ingat, kan? Dulu, kau masih milik dia, dan aku tidak pantas mencium-mu saat itu. Kalau sekarang, untuk kedua kalinya, apakah itu pantas?" Kata Colsson panjang lebar dan membuatku tertawa.

Aku menggeleng, "Aku belum menjadi milikmu." Dia tersenyum nakal, "So, will you? Will you be mine?" Dan aku berhenti berjalan, melepaskan genggaman-nya, dan tidak tahu jawaban dari pertanyaan tadi.

-- -- -- --
Bruh, ada yang kangen LA or nah? Authornya kangen tapi... takdir berkata lain! :p vommentsnya babies.

GLASGOW :: l.hTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang