I Want You To Want Me

342 30 10
                                    

   My artworks on Instagram @ opal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

   My artworks on Instagram @ opal.chalice

Sekali lagi fanfic ini DARK. Banyak unsur kekerasan dan seksual di sini. Karena itulah, dianjurkan hanya pembaca berusia 17+ yang boleh membacanya.

Ooo000ooo

Chapter 4
I Want You To Want Me

Seharian itu Severus bersikap seperti biasanya dan sama sekali tidak mengungkit insiden di Aula Besar. Dia tetap mengantarkan Hermione ke ruang kelas Rune Kuno seusai sarapan, menjemputnya saat jam makan siang, dan kali ini memastikan mereka duduk berdampingan kembali. Pendeknya, semua berjalan sebagaimana mestinya, seolah tak pernah terjadi sesuatu yang mengusik keharmonisan mereka.

Severus tahu kalau sikap tutup mulutnya ini membuat Hermione gemas bukan main. Setiap kali mereka bertatapan, Hermione selalu menggigit bibir bagian bawahnya, kebiasaan wanita itu saat menahan diri untuk tidak melontarkan apa yang sedang ada dalam pikirannya.

Bagaimana pun juga, kekasihnya ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Aula Besar pagi itu. Pastinya butuh usaha keras bagi Hermione agar bisa menahan diri untuk tidak membombardir Severus dengan pertanyaan-pertanyaan. Sejak awal mereka berhubungan, Severus sudah menekankan kalau ia masih punya ruang privat, dan andai ia ingin berbagi, biarlah ia sendiri yang mengutarakannya. Ia tak butuh kekasih yang terlalu suka ikut campur. 

Malamnya, Severus mengantarkan Hermione sampai ke depan bilik pribadinya usai mereka makan di Aula Besar (untunglah kali ini Cara tidak menunjukkan batang hidungnya di sana). Pria itu hanya memberikan kecupan sekilas di bibir Hermione sambil mengumam pelan kalau ia punya tugas berpatroli malam ini.

“Apa kau akan mampir setelah selesai berpatroli?” tanya Hermione lembut, jemarinya naik-turun menelusuri deretan kancing yang tersemat di bagian depan jubah Severus. Niatnya jelas. Ia ingin menghabiskan malam bersama kekasihnya itu.

“Sepertinya tidak,” ujar Severus datar. Kedua matanya menatap ekspresi kecewa yang muncul sekilas di wajah Hermione. Bukannya ia tidak mau, tapi suasana hatinya sedang buruk saat ini. Jika ia memaksakan diri bermalam di bilik pribadi wanita cantik itu, yang ada bisa-bisa ia justru merobohkan ranjang Hermione. Severus tidak ingin melampiaskan rasa frustrasinya kepada wanita yang dicintainya, tak peduli seberapa besar amarahnya. Dia bukan Tobias Snape.

“Kau terlihat sedang banyak pikiran, Severus. Biarkan aku membuat pikiranmu lebih rileks.”

Kali ini Hermione membelai dada bidang Severus, kedua telapak tangannya merasakan kehangatan tubuh yang tak bisa diredam oleh jubah hitam pria itu. Kedua mata coklat Hermione memandangi bibir tipis Severus lekat-lekat, berpikir kalau bibir seksi itu tidak beradu kontak dengan bibirnya sebanyak biasanya hari ini.

Severus memejamkan matanya rapat-rapat. Sedari dulu ia dikenal sebagai pria yang sangat disiplin dan mampu menahan diri terhadap godaan sedahsyat apapun. Namun entah kenapa Hermione selalu bisa melemahkannya. Sentuhan-sentuhan mesra wanita itu hampir pasti sanggup menghanyutkannya ke satu tujuan. Ke atas peraduan. Bercinta dengan Hermione sanggup membuatnya rileks dan pada akhirnya tertidur pulas dengan wanita cantik itu dalam pelukannya. Puas, lega, dan nyaman. Hermione mampu membuat bercinta seakan adalah obat penenang paling ampuh sedunia.

“Kita sedang membuang waktu, Hermione,” kata Severus, menahan reaksi fisik atas rayuan maut kekasihnya. Andai saja belaian tangan Hermione tidak hanya terbatas di bagian perut ke atas begini, pastilah wanita itu akan menemukan bukti nyata bahwa ada satu bagian tubuh Severus yang sangat bersemangat menyambut rayuannya tadi.

“Kukira kau senang membuang waktumu bersamaku.” Hermione pura-pura merajuk, dan benar saja, tangannya mulai menjelajah ke perut bagian bawah Severus, menuju ke arah pangkal paha.

Cepat-cepat Severus menangkap tangan nakal itu. Alih-alih marah, ia justru mencium mesra telapak tangan Hermione dan mengulum ujung-ujung jarinya. Aksi sensual ini sontak saja membuat bulu-bulu halus di tengkuk Hermione berdiri dan tubuhnya gemetar. Merlin, kali ini giliran Severus membuatnya terangsang.

“Aku harus pergi, witch.”

Severus melepaskan tangan Hermione. Kedua mata kelamnya menyorot lekat-lekat ekspresi tersipu kekasihnya. Pipi Hermione bersemu merah dan bibirnya setengah terbuka. Reaksi inilah yang sering ia dapatkan setiap kali berhasil membuat Hermione lumer.

“Kalau begitu…. mungkin… mungkin kau bisa tidur denganku saja. Hanya sekedar tidur. Tanpa aktifitas lainnya,” saran Hermione, masih dengan pipi merona merah.

Well, tidak sepenuhnya bohong sih. Awalnya mungkin ia akan membuat seolah mereka hanya berbagi tempat tidur, tapi pada akhirnya siapa tahu. Hermione—meski seorang Gryffindor—selama lima tahun berhubungan dengan Severus telah banyak mempelajari trik-trik khas Slytherin. Bisa dibilang kelicikan asrama ular sudah menularinya.

“Hermione. Kau tahu betul kalau setiap aku naik ke atas ranjang bersamamu, pasti tujuanku bukan untuk sekedar tidur.”

Salah satu alis Severus terangkat. Dia tak malu mengakuinya. Selama menjadi mata-mata, ia selalu membatasi ketat aktifitas seksualnya. Tidak sulit. Toh sedikit sekali wanita yang mau menghampirinya. Entah karena jijik atau takut melihat penampilannya. Siapapun yang tidak mengenal Severus pasti akan mengiranya tipe pria brutal dan kejam, dan Severus acuh tak acuh akan citra ini. Asal reputasinya sebagai salah satu Potion Master terbaik di Britania Raya tidak ternoda, dia tak peduli.

Setelah ia terbebas dari Voldemort, lain lagi ceritanya. Kini ia punya Hermione yang mampu memenuhi kebutuhan seksualnya. Hermione  membuat bercinta menjadi terasa istimewa karena wanita itu  melakukannya dengan penuh perasaan dan gairah. Serta yang terpenting, jiwa mereka seakan saling terhubung saat mereka menyatukan hati dan tubuh. Bagi Severus itu luar biasa bernilai.

“Kau tahu aku selalu senang tidur denganmu, Severus. Berada dalam pelukanmu, merebahkan kepalaku di dadamu yang kokoh dan mendengar irama detak jantungmu yang stabil. Aku merasa aman dari mimpi burukku karena kehadiranmu.”

Hermione tersenyum manis, tak sadar ucapannya punya efek kuat melebihi Amortentia. Diam-diam Severus merutuk. Sesuatu di antara pangkal pahanya bereaksi hebat mendengar pengakuan ini. Seolah punya pikirannya sendiri, organ yang satu itu berdiri tegak meminta perhatian. Untung saja celananya agak longgar. Kalau tidak, akan sulit menyamarkan reaksi ini. Bisa-bisa dia dianggap pria mesum.

“Sampai jumpa besok pagi, Hermione,” ucap Severus, menguatkan diri.

Severus mundur satu langkah kemudian membungkuk sedikit, memberi salam hormat seolah sedang berhadapan dengan seorang putri. Bahasa tubuh ini membuat rongga dada Hermione hangat. Kali ini Severus tidak memberinya ciuman perpisahan sebelum pergi, namun ini saja sudah cukup membuat wanita itu bagai terbang melejit di antara bintang-bintang. Circe, Severus memang lain dari yang lain. Siapa bilang dia dingin dan tak punya hati? Jelas salah besar.  

Ooo000ooo

Cara berjalan menyusuri koridor di lantai tujuh sambil bersungut-sungut. Kesal dan marah. Agresinya kepada Severus Snape pagi ini tampaknya tidak membuahkan hasil apapun. Padahal ia sudah sengaja membeberkan sedikit rahasia mengenai jati dirinya. Namun sepertinya Snape tidak berniat ingin mencari tahu lebih jauh. Alih-alih mengejar Cara, Snape malah mengabaikannya sama sekali selama seharian ini dan kembali berparade bersama gundiknya di depan matanya.

Apa yang ditunjukkan Snape dan Granger pada jam makan siang membuat Cara muak. Melihat Snape tanpa sungkan memberikan daging has dalamnya ke piring Granger dan Granger sesekali menyuapi Snape dengan sayur-sayuran langsung dari piringnya sendiri, Cara merasa jijik. Mereka pikir mereka itu siapa? Pengantin baru? Sialan! 

Anehnya lagi, tak ada yang berpikiran sama dengan Cara. Para staf pengajar malah menatap pasangan itu dengan sorot menggelikan, seolah mereka juga ikut bahagia. Murid-murid Hogwarts sendiri tampak tak ingin ikut campur skandal guru mereka. Mereka tahu betul apa yang akan menimpa mereka kalau berani mengomentari adegan mesra di meja guru itu. Severus Snape bukan tipe orang yang mau dijadikan obyek diskusi.

Satu lagi. Cara paling tidak suka reaksi yang diberikan Albus Dumbledore. Sebagai kepala sekolah seharusnya dia menegur. Namun yang terjadi justru ia hanya terkekeh kecil dan berseloroh, “Hohoho! Kurasa Hermione tahu betul bagaimana membujuk Severus makan sayur. Seingatku Severus selalu menganggap wortel dan sawi sebagai makanan kelinci. Hmm, mungkin sebaiknya aku juga makan wortel. Minerva, my dear, mau menyuapiku?”

Cara berjengit dan mengerutkan keningnya saat melihat ekspresi tersipu yang ditunjukkan McGonagall. Astaga! Tak adakah orang normal di sekolah ini? Ia benar-benar muak dengan kekonyolan ini sampai-sampai memilih untuk tidak ikut makan malam di Aula Besar. Tidak mau ambil resiko melihat Snape dan Granger pamer kemesraan lagi. Bisa-bisa Cara memuntahkan isi perutnya seketika.

Oh, andaikan yang terjadi siang tadi adalah sebaliknya—Snape mengabaikan Granger—maka Cara punya kesempatan untuk mendekati pria dingin itu. Sedikit basa-basi dan kontak fisik, mungkin? Atau langsung ke sasaran?

Perut bagian bawah Cara bergolak, membuat bibirnya berdesis. Sudah lama ia tidak meniduri seseorang. Sekitar dua-tiga bulan lamanya. Jika biasanya siapa saja boleh, kali ini Cara hanya ingin Snape dan harus Snape. Belum pernah ia menginginkan seorang pria sampai setengah mati begini. Namun Snape benar-benar sebongkah batu karang. Perlu ombak yang kuat dan konstan untuk mengikis kekokohan hatinya.

Sedangkan si gundik Granger itu, Cara harus mencari cara cerdik untuk mengalahkannya. Tapi apanya yang mau dikalahkan? Dari segi fisik Granger jelas sudah kalah segalanya. Cara tertawa kecil mendengar suara hati kecilnya ini. Benar juga.

Entah Snape buta, putus asa, atau malah keduanya, sampai-sampai menjadikan Granger sebagai sarana pelampiasan hasrat. Untung ia hanya dijadikan wanita simpanan untuk ditiduri sesuka hati. Cara yakin Snape masih punya akal sehat. Well, Snape bisa mendapat yang jauh lebih baik lagi dari Granger, kan? Jadi seharusnya Granger bukan ancaman bagi Cara.

Tapi Cara belum terlalu yakin. Dari apa yang dilihatnya seharian ini, Snape punya semacam ikatan istimewa dengan si rambut semak itu, dan Cara tidak suka melihat bagaimana Snape berusaha menjaga perasaan gundiknya. Bagi Cara, gundik hanya berfungsi untuk ditiduri. Buat apa harus dijaga perasaannya segala. Hmm, jadi apa si Granger harus disingkirkan? Dengan racun atau dengan Voodoo?

Saat ini yang terlintas di kepala Cara adalah bagaimana caranya ia bisa memotong leher Granger tanpa ketahuan siapapun. Pikirannya sudah menampilkan kilasan-kilasan sadis kondisi jasad si gundik itu. Berkubang darahnya sendiri dengan kepala terpenggal. Fakta kalau ia tak bisa mewujudkannya secara nyata membuat Cara ingin sekali menghajar seseorang.

Sayangnya Hogwarts tak punya ruangan yang bisa digunakan untuk berduel. Dulu saat ia masih di Arcelia, Lord Carloseus memfasilitasi prajuritnya dengan arena pertarungan di mana mereka bisa berlatih bela diri dengan tangan kosong maupun dengan senjata. Sebagai prajurit Zion yang dituntut untuk bisa meredam amarah dan energi negatifnya, Cara menemukan kepuasan tersendiri setiap kali ia bisa menghajar lawannya sampai berdarah-darah.

Langkah Cara terhenti saat tiba-tiba saja muncul sebuah daun pintu di dinding yang tadinya tak berpintu. Penasaran, Cara membuka pintu misterius itu dan masuk.

Ooo000ooo

Menghela nafas panjang, Hermione menutup pintu bilik pribadinya. Setelah melepas kepergian Severus, mendadak ia merasa kesepian. Jauh lebih kesepian dari biasanya. Aneh. Mungkin ini ada hubungannya dengan kenyataan kalau malam ini ia harus tidur sendirian di atas ranjang yang akan terasa dingin tanpa kehadiran Severus.

Memang sih tidak setiap hari mereka tidur bersama. Hanya satu atau dua kali seminggu, atau saat sedang mood saja. Namun dengan munculnya Cara Mason, Hermione merasa ia harus ‘mengamankan’ posisinya sebagai kekasih Severus. Ia ingin selalu membuat Severus ingat siapa yang mengisi hati, pikiran, dan tubuhnya pada saat ini. 

Sekali lagi Hermione menghela nafas. Ia harus berhenti memikirkan yang tidak-tidak. Kemungkinan kalau Cara akan menggaet Severus, misalnya. Demi kutang Morgana, ia baru satu kali saja melihat Severus didekati Cara, tapi sudah ketakutan bukan main begini! Si pirang itu boleh saja lebih cantik dan lebih bahenol darinya, tapi belum tentu dia lebih pintar darinya.

Puas mendengar suara hatinya tadi, Hermione berjalan masuk ke kamar tidurnya. Langkah Hermione berhenti ketika ia melewati cermin rias. Mencermati baik-baik bayangan yang terpantul di sana, wanita itu menyipitkan kedua matanya. Di cermin itu, ia tak melihat sosok wanita cerdas yang berhasil menerjemahkan sepuluh jilid buku kuno di tahun pertamanya menjadi Ahli Rune Kuno, ataupun mantan murid Hogwarts yang meraih nilai terbaik dalam lima puluh tahun terakhir. Alih-alih, ia justru melihat tampilan seorang kutu buku tulen yang membosankan dan tak menarik. Sebuah perpustakaan berjalan. Apa ini yang juga dilihat Severus darinya?

Jemari Hermione menari di permukaan cermin, seolah berusaha menghapus bayangan wajah muram yang muncul di sana. Sorot matanya sayu dan sedih. Ia seorang wanita, dan wanita selalu diidentikkan dengan keindahan. Tapi lihat apa yang bisa ia tonjolkan sebagai seorang wanita. Hanya kecerdasan otaknya. Satu-satunya aset yang sejujurnya bukan menjadi penarik perhatian utama para pria.

Sejauh ini kaum adam tidak lagi memandangnya sebelah mata. Otak yang cerdas memang akan membuatnya sejajar dengan para pria. Bahkan Ron dan Harry saja baru sadar kalau Hermione adalah anak perempuan di tahun keempat mereka—kenangan yang sebetulnya masih menorehkan luka perih di hati Hermione setiap kali mengingatnya. Ia ingin semua orang menghargainya secara penuh. Sebagai seorang wanita, bukan hanya menghargai otaknya saja. 

Sosok Cara Mason membuat dirinya merasa tersaingi, tapi secara tidak langsung si pirang itu juga menyadarkan Hermione kalau selama ini ia sudah mengabaikan penampilannya. Severus tak pernah mengeluh kenapa Hermione selalu memakai jubah yang sedikit kedodoran. Dia juga diam saja melihat rambut keriting Hermione yang mekar mengembang seperti surai singa. Merlin, Hermione bisa saja memakai karung goni sebagai pakaian atau menggunduli kepalanya, dan Severus tetap akan menganggapnya cantik. Tapi bukan itu masalahnya.

Harga diri. Itu dia. Masalahnya adalah harga diri. Dengan penampilan fisiknya yang menawan, Cara selalu punya banyak alasan untuk merendahkan Hermione. Dari tatapan matanya yang dingin dan melecehkan, Hermione bisa tahu Cara sedang membanding-bandingkan penampilan mereka, dan jujur saja, hal ini membuat Hermione minder.

Kedua tangan Hermione mengepal kuat. Ia tak mau terus-menerus diremehkan Cara karena penampilannya yang payah begini. Ia harus melakukan perubahan. Ia harus memperbaiki potongan rambutnya, mempercantik kulitnya, berdandan, dan memakai pakaian yang sedang nge-trend. Apapun itu. Pokoknya ia harus berubah.

Severus mungkin tidak akan setuju, berdalih Hermione akan selalu terlihat cantik di matanya meski hanya tampil apa adanya. Persetan dengan Severus. Hermione melakukan ini demi dirinya sendiri. Siapapun yang menganggap tujuan kaum wanita berdandan dan tampil cantik adalah untuk sekedar menyenangkan hati para pria jelas-jelas bodoh.

“Siapa bilang wanita tidak ingin cantik demi menyenangkan hatinya sendiri?” geram Hermione.

Berpikir kalau hanya ada satu orang yang bisa membantunya dalam hal ini, Hermione bergegas menuju ke perapian. Sambil melemparkan bubuk Floo, ia berkata mantap, “Apartemen Ginny Weasley!”

Ooo000ooo

Kedua mata biru Cara tak berkedip, takjub. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi di sini dan bagaimana ini terjadi. Tiba-tiba saja ia berdiri di sebuah ruangan aneh. Ruangan itu luas sekali, lantainya berlapis panel-panel kayu, serta punya langit-langit tinggi, dan beberapa jendela besar dengan kaca mozaik yang memancarkan cahaya terdistorsi sebagai penerangannya. Ada banyak jenis senjata yang dipajang di dindingnya. Mulai dari cambuk, gada berduri, pedang, dan lain sebagainya. Sedangkan deretan tombak beraneka ukuran disandarkan begitu saja di dinding.

Sudut bibirnya menyeringai aneh saat mendapati ada sebuah meja besi dengan rantai di keempat sudutnya. Hm, ini terlihat seperti ruang penyiksaan saja. Tapi tak mungkin sekolah seperti Hogwarts punya ruang penyiksaan yang bahkan jauh lebih lengkap dari istana Lord Carloseus. Memangnya siapa yang biasa disiksa di kastil ini? Murid atau guru? Ah, mustahil.

Kening Cara semakin berkerut-kerut. Well, dia memang sudah mempelajari Hogwarts sebelum menerima tawaran mengajar dari Albus Dumbledore. Cara tahu dinding-dinding di Hogwarts suka mengecoh dengan berpura-pura menjadi pintu. Demikian pula sebaliknya, pintu yang senang menyamar menjadi dinding. Begitu juga dengan ruangan-ruangan di kastil Hogwarts yang sering berpindah posisi. Tangga-tangganya saja tak ada yang tidak bergerak. Lalu sekarang ini apa? Ruangan yang tahu apa keinginannya? Aneh. Tidak. Ajaib, tepatnya. Sihir memang ajaib.

Sambil memandangi sekelilingnya, Cara mulai melepaskan satu demi satu penutup auratnya hingga hanya tersisa pakaian dalam saja. Well, ia tidak mungkin berlatih bela diri sambil berpakaian lengkap. Bisa-bisa pakaiannya nanti ikut basah kuyup.

Seolah paham apa masalah wanita itu, tiba-tiba saja muncul beberapa lembar pakaian dalam keadaan terlipat rapi di dekat kaki Cara. Kedua mata Cara menyipit saat mendapati semua pakaian itu tidak sesuai dengan seleranya.

“Aku ingin yang minimalis. Yang tidak membuatku kesulitan bergerak,” ucapnya datar. Bibirnya tersenyum puas melihat semua pakaian itu menghilang dan digantikan oleh selembar bra sport dan celana mini ketat. “Sempurna.”

Ooo000ooo

Kusut seperti benang. Seperti itulah pikiran Severus saat ini. Ia tak pernah membayangkan bisa berada dalam situasi ini. Cara memang mantan anggota Eradicator—Severus lebih suka mengartikan Eradicator sebagai pembunuh bayaran yang diperintahkan secara resmi oleh Kementerian Sihir untuk memburu para Pelahap Maut—tapi dengan adanya Albus Dumbledore di sini, Severus yakin Cara Mason tidak akan berbuat macam-macam.

Mengingat latar belakang mereka yang saling bertolak belakang, pemburu dan buruannya, Severus memprediksi Cara akan mengincarnya begitu ia datang. Benar saja. Hanya mantan anggota Eradicator ini mengincarnya bukan karena ingin membunuhnya, tapi karena ia tertarik kepadanya. Secara seksual, mungkin. Karena Severus sempat melihat ada sorot nafsu di mata biru Cara.

Cara memang cantik dan bertubuh indah, tapi Severus sama sekali tidak tertarik kepadanya. Atau begitulah yang ia rasakan saat ini. Setiap kali Severus bertatapan dengan Cara, ia akan seketika teringat mayat-mayat tanpa kepala yang bergelimangan berkubang darah. Tak diragukan lagi, wanita itu adalah pembunuh yang terampil dan entah sudah berapa banyak Pelahap Maut yang dibunuhnya atas nama kebenaran.

Sekarang setelah tahu Cara juga mantan prajurit Zion, Severus semakin tak tenang dibuatnya. Dulu saat ia masih dalam misinya di Arcelia, kebengisan prajurit Zion begitu melegenda. Prajurit-prajurit wanita yang kesetiaannya begitu dalam terhadap Lord Carloseus, hingga hati nurani dan moral mereka dibutakan. Bagaimanapun juga, hanya manusia biadab yang tega menyerahkan kedua orangtuanya untuk dibunuh agar bisa menjadi salah satu prajurit kejam itu. Yeah, seperti yang tertulis dalam jurnal perjalanannya. Syarat untuk menjadi prajurit Zion adalah dengan menyerahkan nyawa orangtua kandung sendiri ke depan gerbang neraka.

Severus memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Baginya, Cara Mason tak ada bedanya dengan Bellatrix Lestrange. Sama-sama kejam dan berdarah dingin, dan Severus tidak ingin berurusan dengan satu lagi utusan malaikat pencabut nyawa ini.

Ia harus memikirkan cara untuk menghindari Cara Mason. Membujuk Albus agar mau memecat Cara, mungkin? Tapi sepertinya akan susah, mengingat sampai saat ini belum ada keluhan tentang gaya mengajar Cara. Jelas mustahil akan ada komplain. Guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam yang berjenis kelamin wanita sangat langka. Guru wanita terakhir yang pernah mengajar di Hogwarts adalah Dolores Umbridge. Dibandingkan dengan Umbridge, sudah pasti murid-murid akan lebih memilih diajar Cara Mason.

Pilihan berikutnya adalah mengundurkan diri. Ah, tidak. Kalau ia mengundurkan diri, tidak ada yang akan melindungi Hermione dari Cara di Hogwarts. Cara adalah wanita yang sangat berbahaya. Ia menguasai ilmu hitam dan bisa bertarung dengan senjata maupun tangan kosong dengan sama baiknya. Severus tak mau ambil resiko seandainya Hermione sampai berselisih dengan Cara. Bisa-bisa gawat urusannya.

Jalan terbaik adalah mereka berdua mengundurkan diri bersama-sama. Tapi Severus yakin Hermione tidak akan mau dan Albus pasti tidak akan mengizinkan. Lagipula opsi ini hanya akan membuatnya terlihat seperti seorang pengecut. Severus bukan seorang pengecut dan dia tidak akan mundur. Jalan satu-satunya adalah menghadapi Cara dengan segala resikonya. Otak Slytherinnya berpikir keras.

Sepertinya ia harus menemui Cara untuk mengajaknya bicara empat mata, dan seperti yang disarankan wanita pirang itu tadi siang, di tempat yang lebih privat. Hm, semoga ini bukan saran yang menjerumuskan. Severus tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi jika ia hanya berduaan bersama Cara di satu tempat yang tersembunyi. Seandainya ini sebuah trik, Cara mungkin akan mencoba membunuhnya. Kemudian ia tidak akan menemui kesulitan dalam menyembunyikan jasad Severus dan lolos tanpa dicurigai. Namun andai memang itu yang terjadi, maka Severuslah yang harus membunuhnya lebih dulu.

Severus sedang menyusuri koridor di lantai tujuh saat tiba-tiba muncul sebuah pintu dari dinding yang tadinya kosong. Kening Severus mengernyit.
Ia tahu itu pintu apa. Pintu Kamar Kebutuhan. Saat ia masih jadi murid Hogwarts, ia sering menggunakan Kamar Kebutuhan untuk berlatih ilmu hitam bersama Lucius dan calon-calon Pelahap Maut lainnya. Kamar Kebutuhan bisa berubah menjadi arena duel yang sangat lengkap. Bahkan menyediakan golem-golem sebagai lawan bertarung mereka. Golem adalah boneka tanah liat yang bisa bergerak luwes seperti manusia dan bisa disetel sesuai kebutuhan. Mereka tidak bisa merasakan sakit meski tubuhnya ditusuk pedang, dibakar, dibanting, dan lain-lain.

Sampai saat ini pun Severus masih sering menggunakan Kamar Kebutuhan untuk melampiaskan frustrasinya. Di sana ia bisa menghajar Golem-Golem sesuka hati. Terkadang ia menyetel para Golem itu agar berubah wujud sesuai dengan orang yang sudah membuatnya kesal, dan itu akan semakin menantang karena kemampuan bertarung Golem itu akan menyamai orang yang dipinjam wujudnya. Dengan adanya arena duel yang disediakan Kamar Kebutuhan, Severus bisa menyalurkan emosinya tanpa melukai orang lain.

Berpikir kalau Kamar Kebutuhan muncul karena tahu kalau ia butuh tempat untuk meredakan stres, Severus pun masuk. Kedua mata hitamnya menyipit begitu tahu siapa orang yang lebih dulu berada di sana dan terlihat sedang berduel sengit dengan tiga-empat Golem. Cara Mason.

Ooo000ooo

Hermione melangkah keluar dari dalam perapian dan terbelalak melihat pemandangan yang menyambutnya. Harry dan Ginny sedang bercumbu panas di atas sofa. Dilihat dari ekspresi mereka dan tangan mereka yang menjelajah kemana-mana, sepertinya mereka sudah melakukannya cukup lama.

Untungnya keduanya masih berpakaian—kalau itu masih bisa disebut sebagai ‘berpakaian’. Kancing kemeja Harry sudah terbuka semuanya, menampakkan dada bidangnya dan perutnya yang berotot. Sedangkan rok Ginny tersingkap, memamerkan pahanya yang semulus porselen. Hermione tak yakin mau tahu apa yang sedang dilakukan tangan Harry di antara paha mulus itu.

Seketika wajah Hermione merah padam karena malu, bahkan sampai kedua ujung telinganya pun ikut berubah warna. Ia tidak bermaksud menginterupsi, tapi pasangan yang sedang asyik bermesraan di hadapannya itu harus tahu kalau sekarang mereka tidak lagi hanya berdua. Saat tangan Ginny hendak memelorotkan celana Harry, Hermione buru-buru berdehem keras.

“Hermione!” pekik Ginny kaget. Saking kagetnya, ia sampai nyaris jatuh dari sofa. Untung ia cepat-cepat memeluk erat pinggang Harry. “A—aku tak tahu kalau kau akan datang…”

“Hai, Mione,” sapa Harry gugup, membetulkan letak kacamatanya yang miring. Seluruh wajahnya dihiasi bekas lipstick. Bibirnya bahkan sudah berubah merah jambu pudar karena sebagian besar lipstick Ginny berpindah kesana. Melihat arah tatapan mata Hermione, Harry buru-buru menarik kedua tangannya dari dalam rok Ginny.

“Astaga. Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengganggu,” ujar Hermione, masih bersemu merah. “Si—silahkan diteruskan. Aku akan pergi saja dan kembali nanti.”

“Tidak! Jangan pergi!” Ginny bangkit dari posisi berbaringnya seraya membenahi pakaiannya yang terbuka di sana-sini. “Kami sudah selesai kok. Tapi untuk saat ini.” Ginny menyeringai tipis melihat sikap Harry yang berubah malu-malu. “Beri aku waktu sebentar, Mione. Aku mau ganti baju dulu. Yang ini agak belepotan.”

“Ginny!” teriak Harry, memprotes. Rona merah jambunya kini berganti merah semerah tomat.

Ginny tertawa dan bergegas masuk ke kamarnya. Ia memang selalu senang menggoda Harry. 

Hermione memutar bola matanya, tak habis pikir dengan sifat Ginny yang penuh dengan kejutan. Kini ia tahu apa alasan Harry untuk segera melamar Ginny setelah wanita berambut merah itu menuntaskan studinya di Hogwarts. Harry tidak mau mengambil resiko kekasihnya keburu direbut orang.

“Kau boleh duduk di sampingku, Mione,” ujar Harry, masih berusaha meredakan efek malu yang ditimbulkan tunangannya tadi. “Dan sofa ini tidak belepotan kok. Kami masih belum sampai sejauh itu. Ginny cuma bercanda.”

Tersenyum kecil, Hermione beranjak dari depan perapian, bermaksud duduk di sebelah Harry. Namun di tengah jalan ia berhenti, keningnya mengernyit. “Err… tidak. Sebelum kau memindahkan celana dalam yang ada di sana itu…”

“Merlin! Sori!” Cepat-cepat Harry menyambar celana G-string warna merah yang tergeletak terabaikan di atas sofa, lalu menyimpannya di dalam saku celananya. “Punya Ginny. Sepertinya dia lupa… err.. menaruhnya di sana.”

Hermione hanya bisa geleng-geleng kepala. Dari dulu Harry memang tukang bohong yang buruk. Mana mungkin ada wanita normal yang menaruh celana dalam sembarangan. G-string itu ada di sana karena memang Harry yang melepasnya dari pemiliknya tadi, pikir Hermione logis. Tapi wanita berambut coklat itu tidak berkomentar apa-apa dan duduk di samping Harry. 

“Jadi… ehm, apa kabar?” Harry membuka obrolan.

“Buruk,” balas Hermione lirih, menyandarkan punggungnya ke sofa yang empuk sambil menatap langit-langit. “Tapi aku tak tahu bagaimana harus menceritakannya kepadamu.”

“Memangnya ada apa, Mione? Kau tahu kau selalu bisa menceritakan semuanya kepadaku.” Harry menatap lekat-lekat air muka Hermione yang muram. Bagi pria berkacamata itu Hermione sudah seperti adik perempuannya sendiri, dan melihat adik yang sedang sedih tentu membuat hatinya tidak tentram. “Apa ini ada hubungannya dengan profesor Snape?”

Lima tahun yang lalu Hermione membuat kehebohan dengan memacari profesor Snape. Saat itu Harry tidak tahu harus berkata apa. Bahkan ia tak tahu apa yang ia rasakan begitu mendengar pengakuan ini langsung dari mulut Hermione sendiri.

Severus Snape di mata Harry adalah seorang pria rumit dan misterius yang pernah mencintai ibunya selama dua puluh tahun lebih. Cintanya yang begitu dalam kepada Lilylah yang membuat Snape tidak terjurumus semakin dalam ke lembah hitam. Snape memang sudah rusak, tapi dia belum kehilangan kemanusiaannya. Dia masih punya sisi baik yang jauh tersembunyi di hatinya, dan itu karena cinta.

Fakta kalau Snape bisa jatuh cinta untuk kedua kalinya masih jadi tanda tanya besar bagi Harry. Terlebih, Snape jatuh cinta kepada Hermione, sahabat karib Harry sendiri. Bukannya Harry meragukan daya tarik Hermione. Dia hanya takut sahabatnya itu terluka di kemudian hari. Hermione bukan Lily. Sama sekali bukan. Benar mereka berdua sama-sama kelahiran Muggle. Mereka juga berasal dari asrama singa. Tapi sejauh itu hanya itulah persamaan keduanya.

Harry berharap ini artinya Snape tidak mencari pengganti cinta pertamanya. Bagaimanapun, menjadi bayang-bayang kekasih yang sudah tiada pasti sangat menyakitkan. Harry pernah mengalaminya saat berhubungan dengan Cho Chang dan patah hati saat mengetahui kalau diam-diam Cho selalu membandingkan dirinya dengan Cedric. Dia tak ingin kenangan pahitnya itu terjadi kepada Hermione.

Meski begitu, Harry tidak menentang hubungan Hermione dan Snape. Dia bahkan bersedia membela Hermione dari orang-orang yang mencercanya, yang syukurlah belum pernah terjadi. Dengan status pahlawan yang disandang mereka, masyarakat sihir Inggris bisa menerima hubungan asmara Hermione-Snape dengan mudah. Tak peduli meski Hermione hanya seorang kelahiran Muggle dan Snape adalah mantan pelahap maut. Yang namanya pahlawan, tetap akan jadi pahlawan. Kebengisan Lord Voldemort akan tetap merajalela tanpa mereka.

Lagipula sepertinya ada kebaikan yang datang dari hubungan Hermione-Snape ini. Hermione yang dulunya agresif dan mudah marah kini mulai bisa menata emosinya. Tak diragukan, Snapelah yang mengajari wanita itu cara mengendalikan diri. Sebagai balasannya, Hermione mengenalkan Snape kepada cahaya matahari dan makanan empat sehat lima sempurna. Menurut cerita McGonagall, Snape tidak sepucat dan sekurus dulu. Well, ini bagus kan? Yang jelas Harry senang melihat mereka berdua bahagia.

“Apa yang Snape lakukan kepadamu, Hermione? Apa dia memukulmu? Karena kalau iya, maka aku tak peduli meski sihirnya lebih kuat dariku, aku akan tetap menantangnya duel!”

Hermione membelai lengan Harry, berusaha menenangkannya. “Tidak. Semarah apapun Severus, dia tidak pernah memukulku, dan sejujurnya, bukan Severus yang membuatku agak stres begini.”

“Lalu?” Kening Harry berkerut, tapi hatinya lega. Jadi Snape tidak memukul Hermione. Syukurlah.

“Ada… ada seorang wanita yang kelihatannya tertarik kepada Severus.” Hermione menarik nafas panjang. Ia selalu merasa kurang nyaman setiap kali menceritakan masalah pribadinya kepada orang lain, bahkan juga kepada orang-orang terdekatnya sendiri. Sedari dulu ia lebih suka menyimpan dalam-dalam kesedihan di hatinya dan memilih menyendiri di suatu tempat untuk meredakannya. “Dan wanita ini, dia sepertinya tidak tertarik karena status kepahlawanan Severus atau hartanya. Aku masih belum yakin tapi…”

“Tapi apa?”

“Aku bingung menjelaskannya, Harry!” Tanpa sadar Hermione berteriak kesal. “Dari cara wanita itu menatapku, ia seakan mengatakan kalau ia jauh lebih berhak memiliki Severus. Wanita itu sama sekali tidak takut berkompetisi. Memangnya kenapa kalau dia lebih cantik, lebih seksi, dan lebih… lebih segalanya dariku…” Kali ini Hermione menundukkan kepalanya dan berkata dengan suara lirih. “Tidak berarti Severus akan memilihnya, kan?”

Harry mulai paham. Rupanya Hermione sedang tidak percaya diri, dan hal ini langka terjadi. Hermione yang ia kenal adalah Hermione yang punya semangat membara, tidak takut menghadapi apapun, dan selalu percaya diri dengan kemampuannya. Melihat Hermione takut kehilangan kekasihnya karena wanita yang lebih cantik darinya membuat Harry jadi bertanya-tanya. Memangnya sehebat apa sih saingan Hermione ini?

“Hermione. Hermione dear, tolong dengarkan aku,” ujar Harry lembut, mengangkat dagu mungil Hermione dengan jari telunjuknya. “Aku mungkin tidak terlalu mengenal Profesor Snape, tapi aku sangat yakin dia bukan tipe orang yang mudah berpaling ke lain hati. Terlebih karena alasan wanita yang jauh lebih cantik darimu. Kalau ada kejuaraan pria paling setia, kurasa Profesor Snapelah juaranya.”

Harry tidak asal bicara. Severus Snape pernah mencintai ibunya selama puluhan tahun, bahkan setelah wanita yang dicintainya itu meninggal. Pria itu punya kesetiaan yang tidak main-main.

Sambil merangkul Hermione dan mengusap-usap pundaknya, Harry berkata, “Aku juga tidak yakin Profesor Snape itu orang yang mementingkan penampilan. Maksudku, berkat kau, rambutnya sudah tidak terlalu berminyak seperti dulu. Tapi seandainya dia mau, dia bisa tampil lebih menarik lagi, kan?” Harry hanya menyeringai usil saat melihat Hermione memberengut menatapnya. “Aku bicara atas nama semua pria yang sedang jatuh cinta, Hermione. Bagi kami, wanita paling cantik sedunia adalah kekasih kami sendiri. Angelina Jolie boleh saja datang menggodaku, aku tetap akan memilih Ginny.”

“Angelina Jolie itu siapa? Akan kukutuk jadi kodok kalau berani menggoda tunanganku!” Ginny muncul dari ambang pintu, berkacak pinggang.

Hermione bisa merasakan nafas Harry sempat berhenti sejenak begitu pria itu mencermati kekasihnya lekat-lekat dari atas ke bawah. Meski sedang marah, Ginny tampak mempesona dalam balutan gaun tidurnya. Gaun itu berwarna merah, berbahan tipis dan terbuat dari sutra. Dihiasi renda-renda di bagian dada dan tepian roknya, membuat leher Ginny yang jenjang dan tungkai kakinya yang indah terlihat semakin menggiurkan.

“Angelina itu artis Muggle, Ginny. Hanya untuk berandai-andai,” jelas Hermione. Ia menyadari Harry kini sedang duduk tidak tenang. Mungkin reaksi fisik melihat Ginny berpakaian seksi, batin Hermione. “Oh, baiklah kurasa aku harus pergi sekarang.”

“Buru-buru?” tanya Harry, tidak bisa menyembunyikan rasa girang dalam nada suaranya.

Hermione memutar bola matanya. Tentu saja Harry ingin cepat-cepat berduaan lagi dengan Ginny. “Yeah. Aku masih merasa sudah datang di saat yang salah, Harry. Mungkin lain kali kita bisa ngobrol lagi.” Hermione memberi pipi Harry ciuman sampai jumpa, dan bangkit dari sofa untuk memeluk Ginny. “Besok sore kau bisa menemaniku berbelanja, Gin? Aku butuh err… beberapa keperluan wanita”

Ginny balas memeluk Hermione dan mengusap-usap punggung wanita itu. Ia menangkap makna tersirat dalam perkataan Hermione tadi. “Tentu saja. Dengan senang hati. Mungkin aku bisa menunjukkan toko tempatku membeli gaun tidur ini. Profesor Snape tak tahu apa yang akan ia hadapi.”

“Aku ingin cantik untuk kesenanganku sendiri, Ginny,” ujar Hermione, tersenyum tipis. Tatapan matanya yang sendu beradu dengan mata hijau Ginny, membuat sahabatnya itu sadar apa yang ia maksud. Kali ini naluri wanita mereka yang berbicara. Ditambah dengan apa yang sempat didengarnya tadi sewaktu berganti baju di kamar, Ginny tahu Hermione merasa terganggu dengan kedatangan wanita lain yang berusaha mendekati Profesor Snape. Wanita yang kebetulan lebih cantik darinya.

“Bisa diatur, Mione. Aku tahu yang kau rasakan,” balas Ginny, sekali lagi mengusap punggung Hermione.

Sebagai tunangan seorang Harry Potter—Bocah Yang Bertahan Hidup Untuk Mengirim Voldemort ke Neraka—Ginny sering sekali mendapat Howler dari penggemar wanita Harry yang berpendapat kalau ia tak pantas menjadi kekasih Harry. Bahkan sudah jamak ada penggemar yang nekat mengirimkan foto mereka dalam keadaan polos ke apartemen Ginny hanya untuk meledeknya. Kadang hal ini membuat Ginny merasa minder, namun ia juga tertantang. Tak peduli semaut apapun rayuan Harry, Ginny ingin tampil selalu cantik. Bukan untuk menyenangkan tunangannya itu, melainkan untuk mengembalikan kepercayaan dirinya. Ia ingin terlihat cantik demi kepuasan pribadi.

“Terima kasih!” Air muka Hermione mulai bersinar kembali. Semangatnya bangkit lagi. “Kalau begitu sampai jumpa besok sore!” Hermione menghampiri perapian, melemparkan bubuk Floo ke dalamnya, dan sebelum masuk ke kobaran api hijau ia berkata, “Aku sayang kalian!”

“Dan kami juga menyayangimu, Hermione,” balas Harry, tersenyum melepas kepergian sahabatnya itu.

“Jadi, Angelina Jolie, secantik apa sih dia?” tuntut Ginny.

Oh oh. Kening Harry berkerut-kerut lagi. Sepertinya ia harus memikirkan rayuan-rayuan ampuh untuk meyakinkan Ginny kalau ia tak menjalin hubungan khusus dengan si Angelina Jolie ini. Jika tidak, bisa-bisa ia akan tidur di sofa malam ini. Beginilah repotnya punya tunangan penyihir berdarah murni.

“Love…” Harry beranjak dari sofa untuk menghampiri Ginny. Wanita itu meronta saat Harry melingkarkan kedua tangannya di pinggangnya yang ramping. “Membandingkan siapa yang lebih cantik di antara kalian butuh pengamatan secara langsung dan intensif. Sayangnya yang ada di sini cuma kau. Jadi, bisa kita mulai observasinya?” Harry hanya tertawa kecil mendengar teriakan protes Ginny saat ia menggendong tunangannya itu ke kamar tidur mereka.

To Be Continued


a/n Review saya nantikan, karena saya pengen tahu seperti apa pendapat teman-teman. Untuk chapter yang ini tidak ada flashback, hanya pergantian POV berkali-kali dengan tempo cepat.

Dan saya masih ninggalin clifhanger untuk apa yang terjadi di Kamar Kebutuhan. Apakah Cara dan Snape akan berduel atau ‘berduel’ di sana? Jawabannya di chapter selanjutnya.^^

The Dark Lady and The BookwormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang