Now We Are Free

239 30 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Spesial SSHG/snamione fanart ada di IG saya : opal.chalice

 
W

ARNING : Sekali lagi fanfic ini DARK. Banyak unsur kekerasan dan seksual di sini. Karena itulah, dianjurkan hanya pembaca berusia 17+ yang boleh membacanya.
 
Chapter 12 – Now We Are Free
 
Anggun, terhormat dan elegan. Itulah kesan yang ditampilkan dari bayangan yang terpantul di cermin. Meski diakuinya ia suka penampilan barunya ini, Cara masih merasa asing. Ia terbiasa mengenakan pakaian petarung, yang memudahkannya bergerak dan menghajar orang. Bukan gaun indah ala penyihir seperti ini. Gaun hijau jamrud yang dikenakannya dihiasi sulaman dari benang berwarna perak dan terbuat dari sutera berkualitas terbaik.
 
Lucius Malfoy yang memintanya memakai pakaian itu tak lama setelah ia membebaskan Cara dari tahanan. Tentu dengan uang tebusan yang tidak sedikit. Lima ratus galleon. Yang langsung dikeluarkannya tanpa banyak pikir.
 
Untunglah Cara hanya ditahan tanpa diadili karena berdasarkan hasil investigasi dan kenangan yang diberikannya kepada Auror, terbukti wanita itu hanya membela diri ketika diserang beramai-ramai. Orang yang melaporkan kejadian itu ternyata malah salah satu dari pelaku penyerangan yang melarikan diri dari TKP.
 
Auror sempat bingung apa yang akan mereka lakukan terhadap wanita itu karena dia bukan penyihir dan juga bukan warga Inggris. Negeri asal Cara-Arcelia-keberadaannya pun dipertanyakan. Dengan demikian mereka tidak bisa mendeportasinya. Mereka hanya bisa menahannya untuk waktu yang tak ditentukan karena Cara dianggap Statelessness (tak memiliki kewarganegaraan).
 
Selama dua hari Cara sempat merasakan dinginnya sel tahanan, sebelum Lucius membawanya ke Malfoy Manor. Pria berambut pirang platinum itu tidak bicara banyak kepadanya. Ia hanya mengantarnya ke sebuah kamar tidur yang semua perabotannya mewah dan antik, dan memintanya berganti pakaian. Kemudian ia itu meninggalkan Cara seorang diri di kamar itu.
 
Sesaat kemudian kemunculan peri-rumah hampir membuat Cara menjerit kaget, mengira hendak diserang lagi. Namun peri-rumah itu hanya mengantarkan gaun dan jubah tidur untuk Cara. Wippy, nama Peri-rumah itu, membantu menyisir dan menata rambut Cara menjadi sanggul yang rapi. Wippy juga mendandaninya dengan make-up tipis, mengoleskan lotion dan menyemprotkan parfum beraroma eksotis.
 
Hasil akhirnya membuat Cara nyaris tak mengenali penampilannya di cermin.  Penampilannya sekarang seperti seorang Lady. Mungkin inilah yang diharapkan Lucius Malfoy. Seorang Lady. Selesai dengan tugasnya, Wippy membungkuk dan menghilang disertai bunyi letupan pelan. Meninggalkan Cara seorang diri sekali lagi.
 
Belum lama Cara mengamati penampilan barunya, Lucius kembali masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Meski kesal privasinya terganggu, Cara memilih diam. Tentu saja Lucius berhak berbuat semaunya di rumahnya sendiri.
 
Yang membuat Cara kurang nyaman adalah sorot mata Lucius yang tampak berpuas diri, menatapnya dari bawah ke atas seolah sedang menikmati sebuah karya seni. Seringai tipis muncul di sudut bibir pria tampan itu.
 
“Apa maumu, Lord Malfoy?” tanya Cara, menahan geram.
 
Sebenarnya Cara sudah bisa menebaknya. Mereka hanya berdua di kamar tidur dan Cara pun sudah didandani cantik sesuai selera pria aristokrat itu. Dari kilau yang terpancar dari mata kelabu Lucius, ada nafsu yang tak bisa disembunyikan. Tak salah lagi pasti Lucius ingin menidurinya. Dia sudah membayar mahal untuk ini.  
 
Menyadari ini, bulu kuduk Cara spontan berdiri. Ia merutuk dalam hati, teringat sarung tangannya dan bludgeon-nya sudah dibereskan Wippy dan disimpan entah di mana. Tanpa kedua benda itu Cara nyaris merasa tak berdaya. Nyaris. Ya, dia masih bisa melawan dengan tangan kosong. Tetapi Lucius pasti mudah saja melumpuhkannya dengan sihirnya.
 
Saat ini yang terpikir di benak Cara hanyalah bagaimana ia bisa segera pergi dari Malfoy Manor. Meninggalkan Inggris. Membuat identitas baru. Memulai sebuah kehidupan baru. Untuk sekali lagi.
 
Mendadak hatinya mencelos. Ini terasa seperti de javu. Sama seperti ketika ia meninggalkan Arcelia dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik. Harapan itu kini pupus.
 
Jika memang ia harus tidur dengan Lord Malfoy untuk mendapatkan kebebasannya, well... baiklah. Asal cuma satu kali dan bisa selesai dengan cepat. Keterampilan yang didapatnya selama melayani Lord Carloseus membuatnya tahu trik agar seorang pria bisa klimaks dalam waktu kurang dari lima menit. Itulah yang akan ia lakukan. Membuat Lord Malfoy klimaks secepatnya, lalu segera pergi dari sini.
 
Tangan kanan Lucius terulur, jari-jari panjangnya menelusuri pipi Cara. Membelainya perlahan, berlama-lama bermain di sana. Sebelum kemudian turun ke rahang dan leher Cara, meraba-raba kelembutan yang ditawarkan. Sementara kedua mata kelabunya yang dingin menatap tajam ekspresi kaku di wajah wanita yang ditebusnya seharga lima ratus galleon itu.
 
“Aku tidak membayar hanya untuk tidur denganmu,” ucap Lucius, tersenyum mencibir. “Aku membayar karena aku ingin memilikimu seutuhnya, My Lady.”
 
“Aku seorang petarung. Bukan seorang Lady,” balas Cara, menatap Lucius dengan sorot mata tajam. Tangannya gatal ingin menepis belaian-belaian Lord Malfoy yang kini merambah ke bahu dan lengannya. “Dan aku orang yang tahu berterima kasih, Lord Malfoy. Kalau memang ada harga yang harus kubayar demi kebebasanku, aku bersedia membayarnya.”
 
Pria itu berjalan perlahan memutari Cara dan berhenti di belakangnya. Dengan jarak serapat itu, punggungnya kini menempel ke dada bidang Lord Malfoy. Cara menahan nafasnya saat pria itu tiba-tiba membenamkan hidungnya ke rambutnya, mencium aroma yang tersaji di sana. Kemudian bibir pria itu turun untuk menjatuhkan kecupan menggoda di leher tepat di bawah telinga kanan wanita itu.
 
Cumbuan Lucius di leher Cara kini berpindah ke pipi, menelusuri garis rahangnya. Pelan-pelan ia memutar badan Cara yang semula membelakanginya menjadi saling berhadapan. Jari telunjuknya mengangkat dagu wanita itu, memintanya mendongak.
 
Lucius tersenyum kecil saat menyadari tubuh Cara bergetar, menandakan wanita itu mulai takluk kepada godaannya. Sudah lama ia mendambakan momen ini. Ia ingin  menaklukkan seorang mantan Eradicator yang pernah memburu rekan-rekan Pelahap Mautnya. Bukan hanya sekedar menaklukkan, tentunya. Tapi juga memiliki jiwa dan raganya. Seperti yang saat ini hendak ia lakukan.
 
Meski demikian dari bahasa tubuh Cara, Lucius berkesimpulan kalau wanita itu berniat kabur secepatnya. Dia memang bersedia ditiduri, tapi tidak mau berlama-lama. Well, sayangnya Lucius tidak setuju. Ia sudah menyiapkan rencana untuk wanita itu. Rencana yang pastinya tidak disangka-sangka.
 
“Aku bisa memberimu segalanya, Cara. Uang, perhiasan, apa pun keinginanmu. Termasuk juga kekuatan. Kekuasaan. Perlindungan.”
 
Lucius mengamati perubahan ekspresi wanita cantik itu. Sorot matanya tadinya dingin dan tak peduli, untuk sesaat terbelalak ketika Lucius menyebutkan tiga kata terakhir. Detik berikutnya Cara memasang raut datar, pura-pura acuh. Namun sebenarnya ia menyimak setiap kata yang diucapkan bibir Lucius yang penuh jerat maut.
 
“Kau tak bisa terus lari dari masalah, Cara. Terutama jika kau bisa mendapatkan apa yang sebelumnya tak pernah kau miliki. Yaitu aku,” ucap Lucius dengan arogan. “Aku, Lord Lucius Abraxas Malfoy, menjadi milikmu jika kau mau menjadi milikku. Mulai sekarang dan selamanya.”
 
Kali ini Cara tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia sudah tahu sifat arogan seorang Lucius Malfoy, tapi ia baru tahu kalau pria itu bersedia mendeklarasikan niatnya terang-terangan. Apalagi seluruh dunia sihir Inggris Raya mengenal Lucius seorang sebagai playboy sosialita. Beristri, tapi masih gemar berpetualang.
 
“Kau bisa mendapatkan siapa saja yang kau mau, Lord Lucius. Bahkan bisa berganti-ganti setiap harinya.”
 
“Aku menginginkanmu. Hanya kau.”
 
“Kau masih punya istri.”
 
“Istri yang umurnya tak akan lama lagi,” balas Lucius. “Beberapa tahun lalu Narcissa terkena kutukan saat kami terlibat dalam Battle of Hogwarts. Bisa bertahan sampai sekian lama adalah sebuah keajaiban. Healer sudah memvonis umurnya tinggal hitungan hari. Aku akan butuh istri baru.”
 
Kening Cara berkerut, memikirkan pernyataan Lucius. Istrinya sedang sekarat tapi dia sudah berancang-ancang mencari penggantinya. Well, bukan urusanku, batin Cara acuh. Yang terpenting bagi Cara adalah menyelamatkan diri. Jika nasib buruk orang lain bisa menguntungkan baginya, apa boleh buat.
 
Kesempatan tidak akan datang dua kali. Lagipula semua yang dikatakan Lucius benar adanya. Saat ini Cara membutuhkan perlindungan dari pembunuh bayaran yang memburunya. Ia juga butuh kekuatan karena ia sudah tak sekuat dulu lagi. Memiliki kekuatan dan perlindungan ditambah dengan kekuasaan? Kenapa tidak?
 
“Sebelumnya aku ingin bukti,” ujar Cara, menyipitkan kedua matanya. Dari kabar yang didengarnya selama menjadi Eradicator, Lucius Malfoy adalah pria licik yang menghalalkan berbagai cara demi mencapai tujuannya. Seperti ular yang mematikan jika tak berhati-hati menghadapinya. Tentu saja Cara tak mau tertipu. “Tadi kau bilang kau bisa memberiku kekuatan. Apa maksudmu?”
 
Lucius membalas pertanyaan Cara dengan senyum tipis misterius. “Ah tentu saja. Sebelum ada kata sepakat, kau harus mencicipi sedikit dari apa yang bisa kuberikan.”
 
Pria itu kemudian berjalan mendekati sebuah meja antik di sudut ruangan. Ia membuka salah satu laci dan mengeluarkan kotak berlapis kain velvet hitam. Di dalamnya ada sebutir kristal berukuran sebesar telur puyuh. Batu kristal itu mengeluarkan cahaya putih yang berpendar indah.
 
“Ini adalah Magical Orb. Sangat langka dan mungkin sekarang hanya ini satu-satunya yang tersisa di Wizarding World. Kristal ini fungsinya untuk menyerap habis kekuatan sihir seseorang. Kekuatan yang sudah terserap di dalam kristal ini tidak bisa dikembalikan kepada pemiliknya dan hanya bisa diberikan kepada orang lain. Setelahnya kristal ini akan menghitam dan hancur.”
 
“Dahulu, kakek buyutku menyerap kekuatan sihir dari seorang mudblood yang mencari masalah dengannya. Selama ratusan tahun kekuatan yang tersimpan di dalam kristal ini menolak dipindahkan. Entah kenapa. Mungkin ia mencari pemilik yang paling layak mendapatkannya. Selama itu pula, setiap generasi keluarga Malfoy selalu bertanya-tanya siapakah yang setia ditunggu oleh kristal ini.”
 
Lucius menyodorkan kristal itu kepada Cara dan diterima dengan sangat berhati-hati. “Mungkin kau yang paling pantas mendapatkannya?”
 
Terbelalak takjub, Cara hanya bisa berdiri terpaku saat mendadak kristal itu bersinar terang di atas telapak tangannya. Cahaya putih menerpa tubuhnya dan seketika merasuk ke dalam dirinya dengan berbentuk asap yang berkilauan. Sensasi hangat mengisi hingga ke sekujur tubuhnya. Seolah ada letupan energi luar biasa yang bangkit ingin berlomba-lomba menunjukkan eksistensinya.
 
“Demi Hades...” Desah wanita itu. Menikmati kehangatan yang memenuhi tubuhnya. Hangat dan menyenangkan. Membuatnya bersemangat.
 
Tak lama kemudian, Magical Orb di tangan Cara padam. Kristal itu pun segera berubah menghitam, kemudian lebur menjadi debu. Menandakan kekuatan sihir telah berpindah milik. Magical Orb yang diwariskan turun-temurun di keluarga Malfoy telah usai menunaikan tugasnya.
 
Lucius menatap semuanya tanpa berkedip. Entah mengapa ia sudah menduga bahwa kristal itu akan memilih Cara. Wanita itu punya banyak kualitas yang membuatnya layak sebagai seorang Malfoy. Itulah kenapa ia yakin memilih Cara untuk menjadi calon istri barunya. Selir, untuk saat ini.
 
“Baiklah, Lord Malfoy. Kurasa aku menerima penawaranmu,” ucap Cara, kedua mata birunya bersinar dan senyum manis menggoda di bibirnya. “Semoga kau bisa menepati semua ucapanmu tadi dan tidak akan pernah membuatku kecewa.”
 
Menanggapi ucapan bernada menantang dari Cara dengan seringai puas, Lucius berkata, “Kita lihat saja.”
 
Tangan Lucius membelai rambut pirang emas Cara, menyibaknya agar ia dapat mencermati wajah wanita itu. Ia punya mata biru yang indah dihiasi bulu mata yang panjang dan lentik. Bibir merahnya yang ranum tersenyum menggoda. Timbul rasa posesif dalam hati Lucius.
 
So beautiful. And finally mine,” desis Lucius, mengabaikan tatapan sinis Cara. Bahkan saat sedang sinis pun, wanita itu tetap terlihat cantik.
 
Tak sabar, Lucius menghadiahi bibir ranum itu sebuah kecupan. Lagi dan lagi.  Bibirnya enggan beranjak, tak ingin dipisahkan dari jeratan yang memabukkan. Manis, lembut dan menggiurkan. Seperti wine buatan peri. Namun yang ini terasa jauh lebih mengasyikkan mereguknya. Ia kecanduan.
 
Hasratnya menggebu-gebu, kedua tangan Lucius merengkuh Cara ke dalam pelukannya. Wanita itu masih menahan diri, tak mau berpartisipasi. Meski begitu kedua tangannya gemetar dan perlahan bergerak membelai dada bidang Lucius. Pelan tapi pasti, ia terhanyut ke dalam  permainan Lucius.
 
“Divesto,” rapal Lucius, berbisik di bibir Cara.
 
Seketika itu mereka berdua sudah tidak lagi berbusana. Untuk sesaat, Lucius menahan nafasnya, terkesima dengan pemandangan yang disuguhkan. Kulit Cara mulus, bersih dan bersinar. Tubuhnya molek, menonjol menggiurkan di bagian-bagian yang tepat dan sedikit berotot karena latihan fisik rutin.
 
Sembari membaringkan tubuh Cara ke ranjang, Lucius berbisik sekali lagi di telinga wanita itu. “Beautiful.” Jantungnya berdebar, nafasnya memburu. Kejantanannya sudah tegak dan siap beraksi.
 
Sementara itu sorot mata Cara menelusuri setiap jengkal aurat Lucius yang tak tertutupi. Ia kagum dan tertarik. Selain tampan, berkuasa dan punya aura gelap berbahaya, Lucius Malfoy ternyata juga memiliki tubuh yang fit untuk seorang pria aristokrat. Tidak kekar, tetapi cukup berotot. Ramping dan maskulin. Serta dari apa yang ditunjukkannya saat berciuman tadi, tampaknya Lucius juga piawai bermain di atas ranjang.
 
Menyambut tubuh Lucius yang menyusulnya ke atas ranjang dengan tak sabar, suatu hari nanti Cara hanya bisa berharap bahwa ia tak akan menyesali pilihannya untuk menjadi kekasih Lucius.
 

The Dark Lady and The BookwormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang