THE CHILD WHO NEVER SPEAK

90 7 0
                                    

"KAK ADLY, ENAKNYA  bagian ini di warna apa ya?"

"Terserah kamu, Al. Nanti kalo kakak yang jawab nilainya jadi punya kakak dong..."

"Aiden, yuk main sama kakak. Sini kakak ajarin."

"Ron, tugas lo udah kelar? Jangan main mulu woi..."

"Berisik ah, udah kelar kok. Lo aja yang lelet ngerjainnya..."

Adu mulut dan suara obrolan tumpang tindih dari ruang tengah membuat Eva tersenyum tipis di dapur. Menjadi ibu dari banyak anak memang harus terbiasa dengan keramaian. Entah oleh candaan, tangisan, atau pertengkaran. Tentu saja, Eva sudah terbiasa dengan itu. Dengan kedua anaknya yang paling bontot yang sedang berada dalam usia dengan keingintahuan tinggi, mereka akan menanyakan apapun yang ada di pikiran mereka. Tak jarang itu pertanyaan yang tak masuk akal. Untungnya, Adly dan Aaron yang sudah masuk SMP sedikit banyak bisa membantu meringankan beban Eva mendampingi anak anaknya. Terutama Adly, si sulung yang tumbuh dengan penuh pengertian dan tak pernah mengeluh macam macam kalau disuruh menjaga adik adiknya.

"Ka Aaon, ayo main ma Aiyiin..." Aileen merengek mendekati Aaron yang sudah mengangkat Aiden dan mendudukkannya di sofa panjang depan TV. "Yahh, nanti aja ya mainnya, kakak mau main sama Kak Aiden dulu. Nanti gantian sama Aileen ya..." balas Aaron. Sabtu sore begini memang waktu yang tepat untuk santai santai dan bermain PS sepuasnya. Tugas untuk senin sudah di bereskan Aaron, dan kali ini ia berencana mencoba mengajari Aiden main PS. Bertanding dengan Adly tidak seru sama sekali karena kembarannya itu tidak suka permainan seperti ini.

Aiden menatap kosong benda hitam dengan berbagai tombol dan lambang di tangannya. Lalu dari samping, tiba tiba tangan Aaron membimbing tangan kecilnya. "Gini caranya, kamu gerakin ini aja ya. Terus tekan ini biar orangnga gerak. Coba liat ke TV, tuh, gerak kan orangnya. Terus..."

Aaron terus menjelaskan, kendati tak yakin Aiden mengerti atau tidak. Ia dan Adly sudah diberitahu orang tuanya bahwa Aiden mungkin memiliki sedikit perbedaan. Tahun ini, Algra sudah masuk kelas 1 SD, namun Aiden tidak di masukkan dalam sekolah yang sama. Karena saat di taman kanak kanak dulu, ada beberapa anak nakal yang mengganggu Aiden dengan alasan keterbatasan fisiknya. Aiden tak bisa melawan dan Algra hanya bisa menangis, jadi akhirnya mereka memutuskan lebih baik Aiden di rumah dulu saja sampai benar benar bisa bergaul dengan orang lain.

Orang tuanya, terkadang ia dan Adly juga, mengajari Aiden baca tulis di rumah. Mereka tak pernah tahu apa Aiden mengerti apa yang mereka ajarkan atau tidak. Aiden masih tidak pernah bicara. Di ajari membaca pun, dia tidak pernah menirukan. Namun setidaknya untuk menulis dan berhitung, tangan tangan kecil Aiden bisa melakukannya dengan baik dan benar. Eva pernah curiga apa Aiden sebenarnya memang tidak bisa bicara atau bagaimana. Namun ketika diperiksakan ke dokter, tidak ada yang salah dengan pita suara atau sistem saraf yang terhubung dengan kemampuan berkomunikasi seseorang. Satu satunya yang memungkinkan barangkali adalah masalah psikologis.

"Ka Allll..... ayo main umah umahan ma Aiyiin..." suara Aileen merengek terdengar menghampiri Algra. Anak laki laki 7 tahun yang tengah sibuk dengan tugas mewarnai dari sekolahnya itu menghiraukan, "Nanti ya, Leen, kakak masih ngerjain PR nih..."

Dua kali di tolak, balita 4 tahun itu akhirnya menangis. Berteriak, lalu menangis lagi sesenggukan. Mendapati itu, Adly langsung meletakkan penanya dan bangkit menghampiri si bungsu, mengangkatnya dengan mudah dan memeluknya dalam gendongan. "Aduhh kasiannya, nggak ada yang mau main sama Aileen ya? Main sama Kak Adly aja gimana?" tawarnya, sembari mengelus punggung Aileen dan menenangkannya.

Di saat yang sama, Eva kembali dari dapur. "Oh, udah diem. Cepet banget kamu nenangin Aileen, Dly. Sini biar sama mama aja, kamu ada tugas sekolah kan?" ujar Eva, mengulurkan tangan hendak mengambil alih putri tunggalnya. Namun Aileen menangis lagi, "Ka Athi... Mau main sama Ka Athi..." rengeknya, tak mau lepas dari Adly.

THE FAMILY I (HATED) LOVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang