THE TWO BROTHER AND THE TRUTH AMONG THEM

60 12 0
                                    

MAKANYA KAMU TUH aktivitas di kurangin. Heran, udah tua masih aja hiperaktif. Kalo ada UKM, nggak usah COD. Nggak usah maksa bantuin dosen sana sini, nggak usah sering ngeluyur ngga jelas. Kalo habis kuliah udah ngga ada jadwal apa apa, langsung pulang!”

Algra menelengkan kepala pada Aileen yang duduk di tepi ranjangnya, “Di rumah juga suka ngomel ngomel gini?” tanyanya, setengah berbisik. Aileen bersedekap sambil mengangguk angguk, “Lebih parah, lebih panjang, dan lebih cerewet.”

“Oh ya? Padahal tau nggak, Kak Aaron itu dulu pendiem banget. Jarang ngomel, tapi sekalinya marah baru nyeremin.”

“Masa? Kupikir dari dulu udah bawel kayak emak emak.”

“Heh, dengerin kalo ada orang ngomong!” Aaron menyentak lagi. Spontan membuat Algra dan Aileen menegakkan badan dan duduk dengan posisi siap.

Pagi tadi, Aaron meneleponnya. Algra mengangkat dengan malas dan lesu karena memang kepalanya masih berat. Sisa dari rasa pusing dan baru bangun tidur. Dan begitu ia mengatakan sedang sakit, Aaron langsung heboh dan menyatakan akan datang ke rumahnya. Untung saja, waktu itu Aiden sudah berangkat kerja. Algra terbangun hampir pukul setengah sepuluh pagi. Akhirnya memutuskan untuk cuci muka sejenak dan ganti pakaian. Rasanya sudah baikan, mungkin nanti ia tidak perlu ke dokter segala.

“Aku cuman bawain buah karena kamu bilang udah ada bubur di rumah, kamu beli dengan kondisi menyedihkan begini?” Tanya Aaron, sarkas, sambil memindai penampilan Algra yang kucel. Kaos polos, celana pendek, muka pucat, dan rambut berantakan.

“Enggaklah, tadi Kak Aiden kayaknya bikin sebelum berangkat kerja, jadi aku tinggal panasin aja pas mau makan.” Jawab Algra, sambil menerima potongan apel yang di berikan Aaron. “Kak Aiden pinter masak, kak?” Tanya Aileen, penasaran. Algra membenarkan, “Dia kan kerja di resto, staf dapur pula. Mana mungkin masakannya biasa aja.”

“Mau coba dong, boleh?”

“Ambil aja sendiri di dapur. Karena tadi baru gue pake sarapan, harusnya sih masih agak anget.”

Dengan semangat, Aileen langsung bangkit dan meninggalkan kamar Algra untuk menuju dapur. “Kayaknya dia udah anggep ini rumah sendiri.” Celetuk Aaron. Algra mengedikkan bahu, “Karena dulu dia juga nggak tahu apa apa, kayaknya jadi lebih mudah buat dia beradaptasi.” Sahutnya.
Aaron sependapat. Ini pertama kalinya ia berkunjung ke rumah adiknya. Rumah yang sederhana dan sedikit minimalis, namun bersih dan nyaman sekali. Kentara jelas bahwa penghuninya merawat rumah dengan sangat baik, kendati yang meninggali tempat ini hanyalah dua orang laki laki.

“Sebenernya aku sama Adly berencana buat nemuin Aiden dan bicara sama dia pelan pelan. Atau mulai deketin dia dan membangun hubungan lagi perlahan. Menurutmu gimana?” Tanya Aaron. Permasalahan yang tersisa tinggal Aiden, ikatan terakhir dari persaudaraan mereka yang masih begitu jauh. Aaron sungguh lega karena ini perkembangan baik ketika Algra menerima mereka lagi. Namun dia tak mau berhenti di sini dan menganggap Aiden tidak penting lagi. Bagaimanapun, ia juga saudaranya.

“Aku tahu kakak nanya pendapatku karena selama ini aku yang bersama Kak Aiden. Tapi biarpun begitu, akupun masih nggak bisa membaca perasaan Kak Aiden atau apa yang sebenernya dia inginkan. Satu yang pasti, Kak Aiden itu punya prinsip yang kuat dan nggak suka di paksa. Dia teguh pendirian. Pas hari itu dia bilang nggak mau nerima kalian lagi, keputusannya udah bulat banget jadi aku takut ini bakal sulit. Tentunya aku nggak bakal melarang kalian buat berusaha, tapi jangan sampek kalian bikin dia merasa di paksa atau merasa di remehkan.” Urai Algra.

Aaron mengangguk paham. Sebelas tahun berlalu sudah pasti begitu banyak yang berubah diantara mereka. Apalagi ia meninggalkan Algra dan Aiden saat masih anak anak. Saat dimana karakter sejati mereka belum terbentuk. Bagi Aaron yang penting saat ini adalah mengenali watak dan karakter adiknya dulu, agar bisa memahaminya dengan baik.

THE FAMILY I (HATED) LOVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang