THE FIVE SIBLINGS AND THEIR TRUE FEELING

83 11 0
                                    

PUKUL LIMA SORE, dan Adly memilih sebuah café sederhana yang letaknya tak jauh dari tempat kerja Aaron.

Walaupun Algra mengatakan bisa bolos UKM, tapi mereka ingat bahwa harus mempertimbangkan waktu kerja Aaron juga. Biasanya dia selesai pukul lima, atau mungkin lebih sedikit kalau ada kerja tambahan. Jadilah mereka menyepakati waktu bertemu jam segitu. Adly tentu saja datang lebih dulu bersama Aiden, yang mana hari ini masih izin kerja karena sakit kemarin. Algra rencananya akan menjemput Aileen dulu di rumah Aaron sepulang kuliah, baru kesini. Supaya Aaron bisa langsung ke lokasi begitu dari kantor.

Adly melirik jam dinding yang tergantung di salah satu sudut café. Hampir setengah enam. Kalau Aaron mungkin sedang ada pekerjaan yang belum selesai, tapi Algra dan Aileen seharusnya bisa tepat waktu. Algra bilang kuliahnya hari ini berakhir pukul 3, dan sekolah Aileen pun selesai pukul 4.

“Perempuan yang datang sama kakak hari itu…” celetukan Aiden membuyarkan lamunan Adly. Ia menoleh pada pemuda yang duduk di hadapannya itu. “Waktu kakak kena begal. Pacar kakak?”

Adly seketika teringat Irina. Ia tak membuka ponselnya sejak pergi ke luar kota, dan insiden kemarin membuatnya meninggalkan ponselnya dirumah. Irina pasti merasa heran karena Adly tak menghubunginya beberapa hari ini. “Yah, bisa dibilang begitu. Dia anak dari temen orang tua angkat aku. Dan tau tau aja kami juga cocok. Sebenernya, kami juga udah sempet mikir ke arah yang lebih serius sih, cuman waktu itu aku masih pengen membereskan masalah keluarga kita dulu.”

“Kalo gitu bukannya sekarang bakal sulit?” Tanya Aiden, lagi. Adly mengernyit, “Maksudnya?” tanyanya, balik. Dulu, hanya masalah ini yang mengganggunya. Adly hanya merasa belum pantas untuk membangun keluarga baru di saat keluarganya sendiri masih berantakan dan terpecah belah. “Kalo dia anak dari temen orang tua angkat kakak, apa dia nggak masalah setelah tahu kakak kembali ke kami?”

Adly terdiam sejenak, baru mengerti maksud pertanyaan Aiden. Tidak mungkin kalau tidak akan ada masalah. Sekalipun orang tua Irina mungkin tak keberatan, tapi tetap saja mereka punya kerja sama dengan bisnis orang tua angkatnya. Mau tak mau, akan ada saat dimana Adly harus berhubungan dengan orang tua angkatnya lagi.

Pemuda bergaya kasual itu menghela nafas, “Irina sendiri nggak akan masalah. Dia bukan perempuan kayak gitu, malah sebenernya dia yang selama ini selalu ngasih aku semangat buat baikan sama kalian lagi. Mungkin… dia udah ngebet ku lamar?” jawab Adly, setengah bercanda. Yah, ia yakin Irina tak akan keberatan, justru sebaliknya Adly tahu perempuan itu akan turut bahagia. Itu saja sudah cukup, sisanya akan ia pikirkan belakangan.

“Aku mau keponakan yang lucu lucu.” Celetuk Aiden, sambil menyesap latte nya dengan ekspresi datar. Mendengar balasan Aiden itu, Adly tergelak spontan.

Dering ponsel Aiden menengahi pembicaraan santai mereka. Nama Algra tertera di layar. Ini pertama kalinya Algra menghubungi Aiden setelah malam itu. Aiden meletakkan minumannya di meja dan menggeser pendar hijau, “Ya, Al?” ujarnya. Karena Algra masih bisa menelepon, apa dia belum berangkat? Atau malah sudah sampai? Pemikiran itu membuat Aiden menoleh dan memeriksa ke arah pintu masuk.

Tapi bukan suara Algra yang terdengar. “Kak Aiden??!”

Itu suara perempuan. Aileen? Dengan nafas terengah engah dan intonasi sarat kepanikan. Aiden mengernyit samar, “Aileen? Ada apa? Kamu dimana?”

Aileen menjerit ketakutan, ngeri menatap perkelahian di depannya. Dan hal itu semakin membuat Aiden yang di teleponnya di seberang sana kebingungan. Tadi dia dan Algra dalam perjalanan menuju café tempat mereka berlima janjian. Namun saat hampir tiba, melewati jalan yang lengang, mereka justru di cegat dan di kepung sekelompok preman, enam orang dengan tiga motor. Aileen punya firasat bahwa mereka adalah begal yang belakangan ini meresahkan masyarakat.

THE FAMILY I (HATED) LOVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang