THE FAMILY WHICH COME TO AN END

79 9 0
                                    

AARON PINDAH SEKOLAH  beberapa hari kemudian.

Ceritanya orang tua angkat Aaron—lebih tepatnya sang ayah—baru menyelesaikan program sertifikasi dan resmi menjadi dosen. Ia akhirnya di terima untuk mengajar di salah satu universitas, namun itu berada di luar kota. Selama ini, beliau baru menjadi guru kursus di berbagai tempat dan membuka jasa les privat di rumahnya. Sang ibu yang bahkan seorang perawat di sebuah rumah sakit mengundurkan diri dari pekerjaannya untuk mengikuti sang suami. Jadi tidak mungkin jika Aaron menolak untuk pindah.

Tentu saja Adly juga bukannya ingin Aaron menolak. Sejak memutuskan untuk membiarkan Aaron di adopsi, Adly sudah tahu bahwa ia tak punya hak lagi atas adiknya. Yang di sesalkan adalah hingga kini Aaron tak sekalipun mengirim kabar. Bahkan menghubungi ke nomor telepon panti pun tidak pernah. Adly jadi bertanya tanya apa Aaron mendapat kehidupan yang baik? Sangat baik hingga melupakan mereka?

Semakin hari, penghuni panti juga semakin berkurang. Kini, tersisa 13 saja beserta dirinya. Adly pikir tinggal di panti asuhan akan membuatnya sering melihat bayi yang ditinggalkan, anak yang di telantarkan, dan sebagainya. Namun kenyataannya penghuni terakhir yang datang kemari adalah mereka, berbulan bulan lalu.

Adly menghela nafas panjang. Hentakan musik dari headphone di telinganya dan rentetan tugas sekolah yang harus ia selesaikan tak membuat pikirannya teralih. Semakin hari, ia hanya semakin gelisah dengan apa yang akan terjadi pada hidupnya. Apa yang harus ia lakukan untuk itu? Apa seterusnya dia akan tinggal disini? Sampai kapan dia harus tinggal disini? Dulu, Adly tak punya hal lain yang harus dipikirkan selain sekolahnya, mendapat nilai bagus, mengejar cita cita. Namun sejak kebakaran itu, rasanya sekolah hanya kegiatan sampingan yang harus ia penuhi.

Suara benda jatuh menyentakkan Adly seketika. Ia menengok ke bawah dari ranjangnya di tingkat atas, dan mendapati Aiden tersungkur di lantai sambil memegang pinggulnya. Serta merta Adly bergegas turun dan melepas headphone nya.

"Aiden!!" Ia berseru, lalu melirik kruk Aiden yang tergeletak tak jauh dari mereka. "Kamu mau manjat naik? Kakak kan udah bilang jangan macem macem! Sini coba liat, mana yang sakit?" ia langsung menegur dan memeriksa kaki kanan Aiden. Lututnya sedikit membiru. Adly menghela nafas, "Kamu tunggu sini, kakak ambilin minyak gosok. Jangan kemana mana!"

Dan lagi lagi, tugasnya tertunda.

Adly berlari menuju ruang tengah. Dalam laci lemari penyimpanan, ada kotak P3K dan beberapa obat obatan lain yang di simpan. Ia mengambil minyak gosok dan langsung berbalik. Namun karena terburu buru, tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Untung saja, botol kaca di tangannya tidak jatuh dan pecah.

"Ah, maaf. Maaf, bu, saya nggak sengaja." Ungkap Adly. Seorang wanita muda yang anggun menatapnya datar sejenak, sebelum kemudian tersenyum lembut. "Nggak papa, saya nggak terluka kok. Kamu baik baik aja?" tanyanya. Adly mengangguk. Ia hendak pamit undur diri ketika Calvin, anak laki laki 10 tahun, berlari menghampirinya panik. "Kak Adly, tolong, Algra... Algra berantem sama Varel!"

Serta merta, Adly membelalakkan mata dan bertanya, "Dimana?" dan langsung mengikuti Calvin.

Algra tengah mengamuk. Ia memukuli Varel—anak laki laki seusianya—tanpa ampun. Tentu saja Varel juga membalas, jika tak segera di pisahkan mereka bisa benar benar saling melukai satu sama lain. Ketika Adly datang, anak anak memberi jalan dan melingkari mereka. Tak berani melerai karena takut kena pukul. Sedangkan Yasmin menatap merasa bersalah, "Maaf, Dly, tadi aku udah coba lerai mereka tapi aku nggak sanggup."

Adly langsung menghampiri Algra dan memeluknya dari belakang, berusaha memisahkan. "Siapapun, tolong pegangin Varel!" pintanya. Calvin bergerak cepat di bantu beberapa anak laki laki lainnya.

THE FAMILY I (HATED) LOVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang