THE FIVE SIBLINGS AND THEIR OWN LIFE

80 8 0
                                    

3 tahun kemudian...

AIDEEENNN!!! SINI SINI, balik punggung! Gue tanda tanganin seragam lo!”

Di tengah keriuhan, hingar bingar, dan keceriaan suasana di lapangan utama sekolah, Aiden berdiri dan pasrah saja pada siapapun yang menghampirinya untuk membubuhkan tanda tangan juga meminta tanda tangannya. Hari kelulusan sepertinya istimewa sekali bagi teman temannya, namun bagi Aiden itu sama saja seperti hari hari lainnya.

“Nih, lo tanda tanganin seragam gue juga.” Ujar seorang siswi, yang tadi dengan begitu girangnya menghampiri dan meninggalkan jejak pada kemejanya. Siswi itu berbalik menyuguhkan punggung, namun Aiden tak kunjung menorehkan tanda tangannya. “Kenapa?” tanya siswi itu. “Udah penuh.” Jawab Aiden, singkat.

“Oh, bentar gue cariin tempat,” balasnya, seraya memeriksa tempat kosong di kemejanya. Kemudian menyuguhkan lengan kanannya pada Aiden.

Kehidupan sekolah tak semenyenangkan itu untuk Aiden. Tapi tentu saja tak buruk juga dengan saat dia hanya bisa diam di panti dulu. Saat dia hanya bisa mengantar Algra berangkat sekolah dan menunggunya pulang di teras. Aiden masih benci bersosialisasi dan belum sepenuhnya memahami cara menghadapi perasaan orang lain. Itu sebabnya selama ini dia dikenal sebagai siswa yang dingin dan sering berbicara tajam. Namun teman temannya memaklumi itu dan pada akhirnya terbiasa.

“Aiden, sini foto dulu. Kenang kenangan terakhir, ntar gue kasih fotonya juga. Woi, buruan!!” beberapa temannya mendekat lagi. Tiga laki laki dan dua perempuan. Mereka merapat pada Aiden tanpa aba aba dan mengangkat tongsis di posisi terbaik. Ketika foto akhirnya di ambil, mereka semua mendesah. “Yaelah, senyum dikit kek, Den, foto terakhir ini pake seragam.” Keluh salah seorang dari mereka.

“KAAKKK!!!” seruan itu tentu saja berasal dari Algra. Sejak SD dan SMP, mereka berdua selalu ditempatkan dalam kelas yang sama berkat permintaan Ratih. Namun ketika masuk SMA, Aiden bilang ia tak keberatan jika harus berpisah kelas. Toh mereka juga tak harus selalu berdua kemanapun dan kapanpun. Tapi tetap, bukan rahasia umum bahwa mereka adalah saudara dengan Aiden yang beberapa bulan lebih tua.

“Pulang! Ayo pulang, aku udah nggak mau disini lagi!” rengek Algra, sembunyi di belakang punggung Aiden. Aiden memang sedikit lebih tinggi darinya, tapi postur Algra jauh lebih atletis dari Aiden hingga mustahil untuknya bisa sembunyi di balik punggung sang kakak.

“Kenapa lo?” Tanya teman teman Aiden.

“Alfi kumat lagi, gila, dia nge stalk gue mulu daritadi!”

“Bucin tiga tahun, ladenin dong Al sekali sekali.”

“Ogah! Serem tau!”

Sukses sudah Algra jadi bahan tertawaan disana. Alfi adalah siswi seangkatan mereka yang naksir Algra dari kelas 10. Sudah jadi rahasia umum, bahkan dia terang terangan mengejar ngejar Algra. Memang Algra sosok prince charming di sekolah itu. Prestasinya bagus, aktif dalam organisasi, sempat menjabat kapten tim basket, dan sudah jelas mandiri. Bahkan dengan semua rutinitas itu, dia tak kesulitan membagi waktu dengan pengelolaan online shop nya juga. Semakin kesini, semakin banyak ia memiliki konsumen tetap. Akun instagram olshop nya bahkan sudah memiliki lebih dari tiga juta followers.

Barangkali karena akhirnya kasihan dengan Algra, mereka melepaskan kedua bersaudara itu untuk pulang. Lokasi sekolah mereka tak jauh dari rumah hingga kalau hari tak terlalu panas atau hujan, Aiden dan Algra lebih suka berjalan kaki. Mereka punya motor di rumah, hasil beli dari teman Algra yang menjual motornya satu tahun lalu jadi mereka bisa dapat harga miring. Namun untuk lebih menghemat pengeluaran juga, selagi bisa, mereka menempuh perjalanan dengan jalan kaki.

THE FAMILY I (HATED) LOVEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang