Bagaimana bahagia itu ku dapat
Jika kamu menyuruhku pergi.
Sedangkan saja bahagiaku itu
Ada saat bersamamu.Alvaro hanya diam melihat Fio yang tengah berdiri diambang pintu. Satu hal yang dapat ia pastikan, gadis itu akan menangis terisak.
Pamit pergi untuk menyembuhkan diri, lalu ia kembali dalam keadaan seperti ini. Alvaro sangat yakin gadis itu bingung akan situasi ini. Memikirkan itu membuat ia menghela nafasnya panjang.
"Hai."
Sapaan itu membuat tangisan yang sejak tadi ia tahan luruh seketika. Fio berlarian, menubruk Alvaro dalam pelukannya. Gadis itu menangis begitu kencang, layaknya seorang anak kecil yang tak diizinkan membeli mainan.
Alvaro yang menyaksikan hal itu tersenyum tipis, tangannya tergerak mengusap setiap helai surai rambut Fio. Gadis itu mengeratkan pelukannya, menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Alvaro.
"Lo kayak anak kecil." Alvaro tertawa kecil.
Fio melerai pelukannya, menatap cowok itu tajam. "Apa dalam keadaan kayak gini, Kak Varo masih sempat bercanda?."
Sontak saja raut wajah Alvaro berubah datar, cowok itu menatap Fio kosong. Jujur saja, ia bingung dalam bersikap. Ia takut tindakannya lagi dan lagi akan melukai gadisnya itu.
Tidak, Fio bukan gadisnya lagi. Bukankah Fio telah dimiliki Devin, setidaknya gadis itu menemukan sesosok pria yang tentunya lebih baik darinya. Selalu ada ketika gadis itu butuh bantuan.
"Kak Varo kenapa bisa kayak gini?. Kak Varo kenapa malah mempersulit semuanya, kenapa Kak?!. Apa harus dengan menyakiti diri Kakak sendiri biar Kakak puas?." Ujar Fio menahan tangisnya.
Tangan Alvaro tergerak menghapus air mata gadis itu, tangannya berhenti pada pipi Fio. "Singkat saja, gue gak tau apa yang harus gue lakuin."
"Dipandang gak berdaya, seolah-olah gue susah punya masa depan. Gak ada yang salah dengan itu, tapi gue benci berada dalam situasi itu. Lo lihat gue dalam keadaan seperti ini aja gue muak,apalagi orang lain. Gue merasa begitu kecil, merasa benar-benar gak berdaya." Alvaro tertawa renyah.
Fio mendoangkkan kepalanya, berusaha menahan air matanya. "Gak ada yang salah dalam merasa lemah Kak. Yang salah itu, saat kita benar-benar dalam keadaan butuh bantuan, kita malah bertindak seolah-olah merasa kuat. Menipu diri sendiri itu egois Kak."
Alvaro bangkit dari tempatnya, berjalan dengan menggiring infus mendekati Fio. Gadis itu membelalakkan matanya kaget, cowok itu tiba-tiba memeluk dirinya begitu erat, sangat erat.
"Kenapa baru sekarang lo jelasin semuanya Fio. Gue ga butuh psikiater, gue butuh lo."
Alvaro melerai pelukannya, menampilkan senyumannya pada Fio. "Dan sekarang semuanya terlambat. Lo udah jadi milik orang lain."
🌿🌿🌿
Fio menghempaskan kasar tubuhnya pada kasur miliknya. Gadis itu menatap langit-langit kamarnya kosong, seperkian detiknya gadis itu menutup erat matanya.
Perkataan Alvaro tadi membuat ia diam tak berkutik, kenyataannya memang begitu, ia bukan lagi milik Alvaro. Rasanya begitu aneh, Fio sungguh tak ikhlas mendengar ucapan itu.
Sempat terbesit dalam fikirannya, mengapa ia terlalu cepat menginginkan pernikahan ini. Namun, ia menepis pemikiran itu. Tak ada yang salah dengan Devin. Semua ini karena ulahnya.
Fio sudah memberi tau Dika, Dani, Yola dan Lita mengenai Alvaro. Mereka semua segera memutuskan untuk menjenguk. Tapi, ia memilih untuk pulang dahulu. Ucapan Alvaro itu menyesakkan dadanya.
Katakan, apa yang harus ia lakukan. Semuanya buntu, Fio benar-benar tak tau langkah yang harus ia ambil. Meninggalkan Devin?, cowok itu sudah terlalu banyak ia sakiti. Fio tak mau melakukan hal itu lagi.
Lalu apa? Mendekati Alvaro lagi, tentu itu akan berpengaruh besar pada perasaannya. Ia tak mau keadaan semakin rumit, ia tak mau seolah-olah ada secercah harapan pada hubungannya dengan Alvaro.
Bunyi bel pada apartemennya membuat Fio bangkit, berjalan pelan menuju pintu apartemennya. Gadis itu membelalakkan matanya kaget, membiarkan seorang wanita paruh baya memasuki apartemennya.
"Kamu nyamankan tinggal disini?."
Fio menolehkan kepalanya, menutup pintu apartemen dengan ragu. Kenapa mamanya tiba-tiba ada disini?. Bukankah terakhir mereka bertemu semuanya begitu terlihat kacau?.
"Bagaimana perkembangan keadaan Alvaro, Fio?." Tanya Tante Damita.
Tunggu, apa baru saja mamanya memanggil namanya?. Sungguh, Fio benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi. Ada apa ini?, apa ini hanya sebuah halusinasi.
Genggaman pada tangannya membuat Fio menoleh. "Alvaro tadi menelfon Mama, dia menceritakan beberapa kisah konyol yang membuat Mama perlahan memahami sebuah keadaan. Maafin Mama ya, maaf atas semua perlakuan Mama yang buruk selama ini."
"Seharusnya Mama itu bersikap dewasa, bukannya menyalahkan seorang anak kecil yang tak tau apa-apa. Mama sungguh menyesal Fio, maafkan Mama ya. Apa kamu mau maafin Mama?." Lanjut Tante Damita.
Fio menganggukkan kepalanya, memeluk Tante Damita dengan tangisannya yang mulai mengencang. Lagi dan lagi Alvaro menyelamatkan hidupnya, cowok itu selalu memberi sedangkan ia selalu meminta.
***
Mohon
Vote
Dan
Comment.Follow my akun wattpad ya.
Mohon kerja samanya.