Jangan memaksakan senyuman
Jika itu tidak mungkin
Hei, kita terlalu istimewa
Untuk menyakiti diri sendiri
Sudah hampir dua jam Alvaro masih betah dalam posisinya itu. Pandangannya tak pernah lepas dari wajah Fio yang tengah tertidur. Sesekali ia mengusap setiap surai rambut Fio.Cowok itu dikejutkan dengan kedatangan Mamanya yang secara tiba-tiba. Raut wajah wanita yang telah melahirkannya itu sulit ia artikan. Yang jelas, Mamanya itu tengah merasakan ketakutan.
"Ma."
Tante Arini tetap tidak merubah raut wajahnya, wanita paruh baya itu justru menangis membuat Alvaro segera menegakkan tubuhnya. Cowok itu melirik Fio sebentar, memastikan gadis itu tidak terbangun.
"Ada apa Ma?." Tanya Alvaro pelan.
Tante Arini berjalan mendekat, memeluk erat putranya diiringi tangisannya yang mulai tak terkendali. Alvaro yang tak mengerti apapun itu hanya diam, larut dalam keadaan itu.
Tante Arini melerai pelukannya, menggenggam kuat tangan anaknya. Wanita paruh baya itu tak tau harus berbicara bagaimana, ia pun sulit untuk menyampaikan hal ini.
"A-al. Kata dokter, satu-satunya cara buat nyelamatin kamu cuma dengan operasi. Kita harus menemukan orang yang mau mendonorkan hatinya untuk kamu, dan itu pun kita harus mencari yang sesuai." Perjelas Tante Arini.
Alvaro hanya diam, ia tau hal ini akan terjadi. Namun, memandang wajah damai Fio ia sempat berharap ia akan kembali membaik. Ternyata, takdir lagi-lagi mempermainkannya.
Alvaro mengusap air mata mamanya, menampilkan senyum simpul pada Tante Arini. Tak ada yang dapat ia lakukan, setidaknya ia harus tersenyum diakhir sisa hidupnya.
"Aku gpp Ma. Ga ada yang salah dengan keadaan ini. Aku udah memprediksi hal ini, dan aku pun udah mempersiapkan diri."
"Sekarang, hal yang terpenting Mama harus bisa menerima semua ini. Semua yang hidup akan pulang Ma. Dan mungkin aku harus duluan. Disini, aku ga mau liat Mama, Fio, ataupun orang lain menangisi kepergian aku." Lanjut Alvaro.
Alvaro menolehkan kepalanya, tersenyum manis melihat raut wajah Fio yang damai dalam tidur gadis itu. Ia mengelus rambut panjang Fio, menatap gadis itu begitu dalam.
"jangan kasi tau Fio ya Ma. Aku ingin membuat dia tersenyum dulu."
🌿🌿🌿
Fio mencuci wajahnya dengan air mengalir, ia terus mencuci wajahya itu dengan tidak sabaran. Menatap dirinya pada kaca, matanya memerah menahan tangis, berantakan.
Ia terduduk lemas pada dinding kamar mandi dirumah sakit itu, menangis tanpa isakan. Tentu ia tak mau tangisannya ini mengganggu kenyamanan rumah sakit, tapi ia benar-benar tak tahan.
Fio mendengar semuanya. Dalam tidurnya itu, ia mendengar semua percakapan antara Tante Arini dengan Alvaro. Sungguh, berpura-pura tidur dalam kondisi itu membuatnya frustasi.
Ingin sekali rasanya Fio menangis disaat itu juga, memeluk Alvaro erat mencoba menenangkan cowok itu. Tetapi, ia benar-benar tak dapat melakukan hal itu, ia sangat ketakutan.
Bagaimana caranya ia menghibur cowok itu, jika ia sendiri benar-benar kalut dalam pemikirannya. Semuanya buntu, seakan takdir menyuruhnya untuk pasrah saja saat ini.
"Tuhan, jangan ambil Kak Varo. Dia segalanya." Ucap Fio disela tangisannya.
Fio mendorong perlahan pintu dimana Alvaro dirawat, senyuman lebar ia lemparkan pada cowok itu saat tatapan keduanya beradu. Fio berlari kecil, mendudukkan tubuhnya pada sebuah kursi.
"Tada..." Fio menampilkan sebuah kotak makanan yang dibawanya.
Alvaro terkekeh pelan, mengusap pelan puncak kepala gadis itu. "Donat?."
"Aku tau makanan Kak Varo disini pasti ga enak. Jadi, aku beliin donat ini supaya Kak Varo bisa rasain rasa yang beda." Ujar Fio tak lupa dengan senyumannya.
Ia tau, perasaannya saat ini tak bisa diajak untuk bekerja sama. Ingin sekali rasanya Fio menangis, menyampaikan pada cowok itu itu bahwa ia ingin Alvaro bertahan.
Namun ia tak dapat melakukan hal itu, keinginan Alvaro adalah bahwa cowok itu tak ingin ada yang menangis. Setidaknya, ia harus bisa terus menampilkan senyuman lebar, seakan semuanya baik-baik saja.
Fio tersenyum simpul, menatap Alvaro yang tengah memakan donat dengan begitu lahap. Alvaro begitu sempurna, mencintai Alvaro apa harus menahan sesakit ini?.
"Manis." Ujar Alvaro tiba-tiba.
Fio terkekeh pelan. "Ya iyalah Kak, kan itu donat rasa cokelat."
"Bukan, lo yang manis." Sanggah Alvaro.
Fio membuang wajahnya, mengibas-ngibaskan tangannya pada wajahnya. Tentu saja aksi itu membuat Alvaro tertawa pelan. Menyaksikan wajah Fio yang memerah begitu memuaskan.
Fio tersentak dikala Alvaro mengangkat tangannya, ia tak kuasa menahan tangisannya dikala Alvaro memasukkan sebuah donat pada jari manisnya. Gadis itu menangis, memeluk Alvaro erat.
"Sekali lagi, I love you."
***
Mohon
Vote
Dan
Comment.Follow my akun wattpad ya.
Mohon kerja samanya.