Berbicara soal keutuhan, berbicara masalah kebersamaan. Hanya omong kosong jika tak ada yang saling menjaga di dalam. Hanya tuturan biasa yang tiada guna sama sekali. Bahkan sebagian dari kalian tahu apa keberhasilan membangun rumah tangga.
Agama sebagai pedoman berumah tangga. Namun apa yang di dapat jika agama pun tidak sama sekali dijamah? Mungkin kehancuran yang serupa.
Berbicara lagi masalah duri. Duri itu terselip. Tidak terlalu nampak tapi menyakiti. Perlahan duri kecil itu semakin menembus kulit. Tak ada perlawanan. Tidak ada pengecualian. Yang ada hanya luka yang terdiam makin melebar, makin membesar. Lalu, goyah seluruh pertahanan. Apa memang itu yang dicari?
Subuh ini masih basah oleh air hujan semalam. Bahkan tetes tetes air masih bersuara di atap atap rumah.
Semalam hujan mengguyur kota. Salah satu kota besar di Kepulauan Riau, Batam.
Sekilas tampak rumah yang begitu mewah. Sangat luas bak istana kerajaan. Gemerlap lampu lampu kuning,putih, lembayung, orange dan serupa masih mencolok indra penglihatan.
Berbagai figura berisi foto foto keluarga masih setia berdiri di bivat ruang tamu menuju ruang tengah. Berisi kenangan keluarga kecil penghuni rumah bagai istana ini.
Dalam foto itu terdapat seorang lelaki berusia berkisar 45 tahunan dengan kemeja putih, berjas hitam, berdasi hitam, berambut rapih bergaya kebelakang, bercelana dan bersepatu hitam, tampak tersenyum riang.
Di samping pria itu, ada seorang wanita. Berkisar 30 tahunan. Tentu pernikahan adat zaman dahulu. Mengenakan prinsip perjodohan, yang mengakibatkan kisaran jarak usia pasangan begitu jauh.
Wanita ini, begitu cantik. Anggun, dalam raut wajah muda itu terselip aura kebaikan dan keramah tamahan. Bahu wanita itu di rangkul hangat oleh pria di sebelahnya yang bergelar suaminya. Mungkin suami kebanggaan.
Melihat betapa romantis mereka. Hangat. Bahkan mendengar penuturan dari sekitar, membuat iri siapapun yang memandang.
Di bawah mereka. Tepat di bawah pria berdasi gagah itu, seorang anak perempuan tersenyum malu malu menghadap kamera. Berambut sebahu lurus sedikit pirang, dengan poni dan jepit rambut putih berukiran melati. Sebuah pemberian dari sang ayah.
Gadis kecil yang polos mengenakan terusan tanpa lengan selutut, berwarna ungu putih cantik. Tangan mungil itu menggandeng seseorang di sebelah.
Tepat di bawah wanita yang bergelar ibu itu, ada seorang anak perempuan, lagi.
Anak perempuan yang lebih dewasa dari gadis kecil yang menggandeng tangan erat. Penuh ketakutan, seakan tahu sewaktu waktu akan lepas dari genggaman.Berambut hitam legam, terurai panjang sepinggang. Tanpa poni seperti adiknya. Manis, bahkan begitu cantik. Dilihat dari cara gadis itu tersenyum, seperti melambangkan bahwa senyuman yang manis itu, bisa saja berubah menjadi dingin, sedingin subuh selepas hujan pagi ini.
Bisa saja tangan dan tubuh yang elok itu akan berganti dengan jerih payah keringat bercampur nanah lalu darah yang siap menghantam, kapanpun, tanpa dapat dielakkan. Karena duri ini masih terus terselip. Bahkan tidak mampu satu orang pun mengeluarkan. Duri ini begitu naif. Tanpa berbelas kasihan.
Hari semakin beranjak. Samar samar matahari muncul di antara kegelapan dan buram kabut. Hangat remang remang mulai menyapu jalanan.
Terdengar alarm di dalam sebuah kamar. Selimut yang masih tertata rapih di atas badan mungil manis itu berangsur ditarik dengan cepat. Gadis pirang memberontak merasakan kenyamanan dan kehangatan yang diusik seseorang.
"Apa yang kakak lakukan?"
Masih dengan mata terpejam dan tangan meraba raba sekitar mencari selimut yang sempat memeluknya semalaman.

KAMU SEDANG MEMBACA
On The Traffic✓ [TERBIT]
Ficción GeneralDeru kereta di stasiun dan bising lautan kendaraan terasa damai terdengar akhir akhir ini, seperti nyanyian merdu, seperti nada ringan untuk sekedar membuka mata bahwa kenyataan terkadang tak sesuai bayangan dan angan, bahwasanya banyak hal yang dap...