Hari yang Ditunggu

56 47 41
                                    

Alarm ponselku pun berbunyi dengan begitu kencang, dan mulai mebangunkanku dari lelapnya tidurku. Kubuka mata, dan kulihat keluar jendela. Langit masih begitu gelap. Jam menunjukan pukul 4 pagi. Di pagi buta ini aku terbangun, bersiap untuk hari ini. Hari yang kutunggu tunggu. Hari yang mungkin akan menjadi kenangan yang begitu indah bagiku. Hari dimana aku akan pergi berlibur bersama kedua sahabatku. Berlibur ke sebuah tempat yang sudah terkenal akan keindahannya. Aku bergegas untuk bersiap siap. Mempersiapkan semua kebutuhanku untuk hari ini. Bersiap untuk perjalanan menggunakan gerbong kereta menuju kota orang. Menuju tempat yang akan menunjukkan sejuta keindahannya.

Kuputar lagu dari radio mobilku. Kupandangi sekeliling, kupandangi jalanan kota Bandung yang kulalui. Meski hanya kutinggal selama seminggu, tapi rasanya seperti akan meninggalkan kota ini untuk waktu yang lama. Ibuku terus menasehatiku selama di mobil. Ia tak mau anaknya ini terluka disaat jauh darinya. Padahal aku ini sudah dewasa. Tapi di matanya aku tetap saja seperti seorang anak balita yang baru bisa bicara. Tetapi memang tak bisa dipungkiri, yang paling akan kurindukan selama berlibur nanti adalah ibuku. Betapa di setiap harinya aku selalu dimanja olehnya.

Aku pun tiba di stasiun. Terlihat ada dua orang anak manusia sedang menunggu kedatanganku. Tersyirat senyuman dari wajah mereka, karena hari yang mereka tunggu sudah datang. Aku pun bergegas turun dan berlari menghampiri mereka.

"Via, Niko!" Kusapa mereka dengan teriakan.

"Woy, Tan!" Jawab mereka berdua.

Kami pun berkumpul di depan stasiun. Bisa dibilang kami terlalu kepagian. Kami datang 1 jam sebelum jadwal keberangkatan kereta. Mungkin karena kami yang sudah tidak sabar untuk sampai ke kota Malang. Jadi kami begitu excited untuk datang begitu cepat di stasiun. Kami pun berbincang bincang mengenai apa saja yang akan dilakukan di Bromo. Disaat sedang asyik asyiknya berbincang.

"Eh ,Ko Tan. Aku ke toilet dulu yah! Udah kebelet nih." Ungkap Sevila sembari berlari meninggalkan kami berdua.

"Jangan kelamaan, takutnya entar ditinggalin sama kereta." Teriakku.

Sevila berlari meninggalkan aku dan Niko.

"Tan, aku mau ngasih tau sesuatu nih, Tan. Tapi jangan bilang bilang Via yah!" Ungkap Niko padaku.

"Iya siap. Emang mau ngasih tau apaan, Ko?"

"Jadi gini, Tan. Nanti di Bromo, aku mau nembak Via, Tan. Menurut kamu, aku bakal diterima ga yah?"

"Hah?" Aku terkaget karena ucapan yang diucapkan Niko.

"Diterimalah, pasti. Kan paling ganteng di antara bertiga kamu, Ko. Pasti diterimalah."

Begitu mendengar pengakuan, Niko. Hatiku begitu hancur. Aku yang awalnya berniat untuk mengungkapkan isi hatiku pada Sevila, seketika ingin memendam kembali semua perasaan itu. Mau bagaimanapun aku akan mengalah  pada sahabatku. Dan memang, jika dilihat, Niko dan Sevila lebih cocok.  Mereka begitu serasi  dimana Sevila yang memiliki wajah yang cantik didampingi Niko yang memiliki  wajah dan tinggi badan bagai seorang model. Sungguh hancur hatiku ini begitu mendengar ucapan Niko.

Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 8 pagi. Terdengar sebuah pengumuman. Pengumuman yang menandakan bahwa cacing kota telah tiba di stasiun. Niko dan Sevila pun bergegas memasuki gerbong kereta. Aku seperti kehilangan semangat untuk liburan. Padahal liburan kali ini, akulah yang merekomendasikan tujuannya. Tetapi semangatku sirna, karena mungkin di tempat yang akan aku tuju ini. Aku akan melihat seseorang yang aku sayangi akan dipeluk mesra oleh sahabatku sendiri. Begitu hancurnya hatiku ini.

"Tan, ayo cepetan! Lama amat sih, perasaan kamu yang dari kemarin excited banget. Kok sekarang jadi loyo gini sih?" Teriak Sevila padaku.

"Ayo, Tan!" Niko pun ikut berteriak.

"Iya bentar bentar. Koperku kepenuhan nih, berat banget." Begitu jawabku pada mereka. Padahal bukan karena koper yang berat. Tetapi hati yang berat karena mendengar ucapan sahabatku sendiri.

Akhirnya kami pun memulai perjalanan menuju kota Malang. Sepanjang jalan, aku hanya dapat melamun, melirik ke jendela kereta. Sesekali aku melirik kepada bangku yang berada di depanku. Bangku yang diisi dua orang yaitu Sevila dan Niko. Dan aku yang terduduk sendiri menghadap mereka berdua. Dibalik lamunanku ini aku terus berpikir.

"Apa aku ungkapin perasaanku aja? Aku harus ungkapin perasaanku lebih dulu dibanding Niko kayanya. Eh tapi kan Niko tuh sahabatku sendiri. Masa aku ngeduluin sahabat yang udah curhat sama aku? Aku harus gimana?" Begitu ungkapku dalam hati. Aku yang begitu semangat untuk berlibur. Semangatku itu hilang. Keindahan pinggiran rel tak bisa mengobati sakit hatiku ini. Disaat Niko dan Sevila sedang berbincang, aku malah tertidur. Mungkin karena aku kecapekan karena sakit hatiku.

The Story From Bromo (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang