Tak Terobati

18 19 0
                                    

Setelah kalang kabut seharian dilanda oleh perihnya hati. Aku pun terbangun di sebuah pagi, dibangunkan oleh kilauan mentari yang muncul di sela-sela gorden kamar hotel yang menjalar menuju bola mataku yang sedari tadi sedang asyiknya terpejam di dalam mimpi. Ragaku tak memiliki semangat untuk bangun dari tidurku ini. Rasanya hanya ingin terbaring di dalam sebuah mimpi. Dan mencoba untuk melupakan semua kenyataan yang begitu buruk adanya. Sudah tak kuasa hati ini menahan sakit untuk menerima kenyataan yang pahit. Hanya ingin bersemayam di sebuah ekspektasi yang tak menjadi sebuah realita.
Setelah cukup lama berkutat di sebuah ranjang, dan mencoba untuk memasuki kembali gerbang mimpi. Ragaku ini terus menolak untuk terpejam dan terus berusaha untuk terjaga di sebuah pagi yang sudah mulai menjelang siang. Kupaksakan untuk bangun, tapi nyatanya raga ini pun tak mau berpisah dengan ranjang yang kutiduri. Semangat untuk kembali melangkah tak kumiliki. Dan semangat untuk kembali melanjutkan mimpi sudah tak bisa kupenuhi. Rasanya benar-benar tak ada gunanya aku terbangun di pagi hari. Terbangun hanya untuk membaringkan ragaku di sebuah ranjang dan tak melakukan apa pun. Benar-benar seperti orang bodoh yang tak memiliki semangat untuk hidup ataupun mati.
Akhirnya ragaku dapat kuhubungkan dengan otakku. Kubangunkan raga ini untuk menyambut kilauan mentari. Tak hanya diam terbaring di sebuah ranjang, layaknya orang bodoh yang tak dapat menikmati hidup. Lekas kubangun dan bersiap untuk membasuh mukaku. Dan bersiap berkemas untuk meninggalkan tempat ini. Bersiap untuk kembali ke kehidupan di kota asalku. Bersiap untuk kembali menjalani hidup setelah dilanda badai yang menerpa hati ini.
Kulangkahkan kakiku dengan pasti menuju jalanan kota. Bersiap untuk kembali menuju stasiunnya kota ini. Meski sudah kumantapkan langkah kakiku, tetapi hati ini masih saja tak bisa lepas dari bayang-bayang patah hati. Kembali tak kuasa untuk kembali ke kota asalku dan menemui kedua sahabatku. Aku pun kembali berjalan menuju sebuah warung kopi. Kupesan secangkir kopi untuk menghangatkan hati yang sedang dilanda badai ini. Kunikmati secangkir kopi sembari disuguhi pemandangan kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan kota Malang. Kuambil sebuah kamera dari kantongku. Kuratapi sebuah kenangan yang akan tertinggal menjadi selembar kertas yang mungkin hanya akan menjadi sebuah kenangan. Hatiku begitu semringah begitu kulihat wajah Sevila dari layar kameraku. Tapi aku lupa, jika setelah pemandangan wajah cantik milik Sevila, akan ada sebuah gambar yang membuatku kembali patah hati. Terlihat di sebuah layar bahwa Niko sedang merangkul seorang bidadari yang kusukai. Lagi-lagi hati bergejolak tak karuan, layaknya diporak-porandakan oleh angin tornado yang sedang melewati hatiku. Kembali kurenungi diriku yang hanya bisa bersedih melihat orang yang kucintai lebih memilih sahabatku dibanding diriku.
Kuseruput kembali segelas kopi, kuhabiskan secangkir kopi ini dan kembali bersiap untuk melangkah. Bersiap untuk kembali mengelilingi jalanan Malang yang sebentar lagi hanya akan menjadi kenangan. Kembali berjalan tanpa tahu tujuan, tanpa tahu arah, hanya berjalan mengikuti langkah kaki yang tak berhenti untuk menapaki jalanan kota Malang.
Terus berputar-putar mengelilingi jalanan kota. Menghabiskan waktu untuk hal yang tak pasti. Terdengar adzan berkumandang menandakan bahwa mentari sudah sejajar dengan kepala. Kulangkahkan kaki menuju sumber suara adzan tersebut, menghabiskan sejenak waktu untuk memohon doa pada sang Pencipta.
Akhirnya selesai kutunaikan ibadahku, kuratapi jalanan kota Malang dari sebuah anak tangga masjid yang kutapaki. Seharusnya tepat pada siang ini, pada pukul ini. Aku sudah berada di dalam kereta dan sudah mulai berjalan pulang menuju Bandung, bersama dengan kedua sahabatku. Tetapi aku lebih memilih untuk melarikan diri dibanding melihat pemandangan yang menyayat hati.
Aku pun kembali melangkahkan kaki, kali ini kucoba untuk kembali menuju stasiun kota. Mencoba menguatkan hati untuk kembali kepada pangkuan ibundaku. Kumantapkan hatiku, kumantapkan langkahku, dan akhirnya aku pun tiba. Terlihat ada seorang wanita dan seorang pria yang wajahnya tak asing bagiku. Kedua orang itu memanggilku dan berusaha mengejarku. Aku pun kembali berlari meninggalkan stasiun kota. Mencoba meninggalkan mereka berdua.
“Tan! Sutan!” teriak mereka berdua.
Dan dengan kencangnya aku berlari menjauhi mereka. Dan kembali melarikan diri dari kedua sahabatku sendiri. Kembali mencoba menahan rasa sakit yang mematahkan hatiku. Kembali merenung di pinggiran jalanannya kota Malang.

The Story From Bromo (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang