Hari Keempat di Malang

39 34 18
                                    

Aku terbangun begitu mendengar beberapa orang sedang berbincang diluar tendaku. Kulihat seisi tenda, Niko masih tenggelam dalam mimpinya. Kuteguk sebotol air putih yang berada di samping kakiku. Aku pun keluar dari tendaku. Langit masih begitu gelap gulita. Bintang dan bulan masih terpampang diatas sana. Kulihat ada beberapa orang sedang menghembuskan asap dari tembakau yang mereka bakar. Aku pun menghampiri mereka.

"Misi, mas! Boleh ikut duduk disini?" Ujarku pada mereka.

"Boleh, mas. Silahkan!" Jawab salah seorang dari mereka.

"Maaf, mas. Kalo keganggu tidurnya. Tadi kami ngobrolnya kekencangan sih." Ucap seorang yang lainnya.

"Gapapa, mas. Malah bagus saya jadi bisa ikut nunggu sunrise." Jawabku.

"Kayanya masnya bukan dari daerah sini yah?"

"Bukan, mas. Saya dari Bandung."

"Pantes masnya ganteng ganteng, sama mba yang satunya cantik."

"Ah bisa aja masnya." Jawabku sembari tersenyum.

"Baru pertama kali kesini yah, mas?"

"Iya mas, baru pertama kali."

"Pasti ketagihan kesini lagi deh, mas. Saya aja udah sampe belasan kali kesini. Ga bosen bosen. Bosennya tuh ditemenin sama ini lagi ini lagi. Hahaha." Ungkapnya sembari tertawa dan menepuk pundak temannya.

Kami pun berbincang bincang. Berbicara mengenai segala hal. Mulai dari kehidupanku di Bandung. Kehidupan mereka disini. Sampai kesan setelah melihat semua ini. Memang benar kata mereka, mungkin aku pun akan ketagihan untuk datang berulang kali ke tempat ini. Tapi sayang, jarak dari rumahku sampai kesini sangat jauh, dan semua itu memerlukan materi. Baik itu berupa uang, waktu dan juga tenaga. Tak lama Sevila pun keluar dari tendanya.

"Via! Sini gabung!" Teriakku padanya.

"Misi, mas. Ikut gabung yah." Sapa Sevila pada kami yang sedang duduk sembari menghabiskan segelas kopi.

"Monggo, mba. Gapapa banget kalo mba gabung, nambah nambah pemandangan."

"Hahaha." Kami pun tertawa dan tanpa sengaja membangunkan Niko yang sedaritadi sedang asyik dalam tidurnya.

"Ko sini, Ko!" Teriakku memanggil Niko.

Kami pun kembali berbincang sembari menunggu matahari yang akan menunjukan sinarnya.

Tak lama, mentari pun mulai menunjukan pesonanya. Langit mulai menguning. Menunjukan bahwa pagi sudah mulai menjelang. Kami semua pun terpaku pada mentari fajar yang begitu elok. Muncul dibalik kemegahan gunung Argopuro dan gunung yang terkenal dengan track ganasnya yaitu gunung Raung. Begitu indahnya kemunculan mentari pagi ini.

"Replika surga. Memang replika surga." Ucap Sevila yang terkagum kagum.

"Iya, Via. Bener bener replika surga." Niko pun ikut bersuara.

Mendengar ucapan mereka berdua, aku teringat kejadian semalam. Kejadian yang benar benar menyayat hatiku. Dimana aku melihat orang yang kusayangi sedang bermesraan bersama sahabatku. Mungkin bagi beberapa orang, gunung merupakan tempat pelarian bagi mereka yang sedang patah hati. Tapi kali ini, aku malah merasakan patah hati saat berada gunung. Yang jadi pertanyaanku adalah lalu kemana aku harus melarikan diri? Aku pun coba melupakan kejadian semalam, memendam rasa patah hatiku dalam dalam. Dan mulai memfokuskan pikiranku pada keelokan fajar yang menyambutku di depan mata. Dan lagi lagi tubuhku bergerak dengan sendirinya. Tangan kembali mengeluarkan kamera dari kantongku. Badanku terangkat dan berdiri, bersiap untuk memotret mentari pagi. Keindahan alam selalu membuat otak dapat menggerakan tubuh dengan begitu cepat tanpa harus menunggu sang pemilik raga memerintahkannya. Alam memang selalu membuat manusia terpesona. Mulai dari semua sumber daya yang tersedia dari alam. Sampai semua fenomena yang benar benar luar biasa indahnya.

The Story From Bromo (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang