Tak Tahu Arah

20 20 1
                                    

Hari pun sudah mulai petang. Langit mulai berwarna oren. Mentari mulai dilahap oleh bumi. Bumi yang sedari tadi begitu cerah kali ini mulai menggelap. Dan hatiku ini masih merintih menahan rasa sakit. Masih tak kuasa kulepas semua kepedihan ini. Sudah berapa lama aku berputar-putar di kota ini. Berputar-putar untuk menenangkan hati yang tak karuan ini. Menenangkan hati yang kesakitan ini. Terus saja aku berputar-putar mengelilingi kota Malang, tanpa tahu tujuanku menuju kemana. Tak ada tujuan, hanya mencoba melarikan diri dari patahnya hati ini. Melarikan diri dari orang yang kucintai tetapi tak mencintaiku. Rasanya aku seperti orang bodoh. Sudah tahu bahwa ada orang yang melebihi diriku dan sama-sama menyukai orang yang kusukai, aku tetap saja maju. Padahal sebetulnya aku tahu, bahwa dia pasti akan memilih orang itu dibanding aku. Bodoh sekali rasanya.
Setelah untuk yang ke sekian kalinya aku mengelilingi kota ini. Aku kembali ke alun-alunnya kota Malang. Aku turun dari taksi yang kutumpangi. Kucoba untuk menginjakkan kakiku di suasana alun-alun kota yang sudah dihiasi oleh kilauan lampu-lampu kota. Kududuk di sebuah anak tangga. Kupandangi sekeliling, kali ini aku teringat saat pertama kali sampai ke kota ini. Aku dan Sevila menikmati indahnya malam hanya berdua saja. Disinari lampu kota yang begitu cantik. Dengan senyum di wajahnya yang tergambar begitu manis. Tapi kali ini aku sudah tak bisa untuk berangan bahwa ia akan menjadi milikku. Karena sekarang ia sudah menjadi milik sahabatku. Betapa hancurnya hati ini. Di saat kami duduk berdua di sebuah anak tangga sama seperti yang aku lakukan sekarang. Bagiku saat itu begitu mesra. Tetapi mungkin, itu hanya bagiku. Dan tak berarti baginya. Hanya aku yang terlalu berharap.
Aku pun kembali berjalan, kali ini menuju stasiun kota. Menuju tempat yang pertama kali kami injak, begitu berada di sini. Rasanya seperti baru kemarin aku datang ke tempat ini, tapi nyatanya sudah seminggu aku berada di sini. Rasanya kemarin aku masih bahagia, senyuman masih tergambar di bibirku. Tetapi hari ini, sudah tak ada lagi senyuman itu di bibirku. Hanya ada kesedihan yang melanda hatiku. Hanya rasa hampa. Rasanya ingin kuberlari di hamparan rel yang begitu panjang. Ingin kukembali menuju kota asalku. Tapi aku masih tak mau untuk pulang dengan hati yang patah. Karena niatku untuk berlibur adalah pulang dengan hati yang bahagia. Tapi nyatanya tak bisa kudapatkan kebahagiaan itu di sini.
Aku pun kembali berjalan. Berjalan meninggalkan stasiunnya kota Malang. Kembali berjalan tanpa tujuan, sama seperti hatiku sekarang ini. Kuambil handphone dari kantongku, kucoba lihat sekarang sudah jam berapa. Dan terlihat sudah ada berpuluh-puluh panggilan dari Niko dan juga Sevila. Kembali kusimpan ponselku itu. Dan kembali melanjutkan langkah kakiku yang tak tahu arah ini. Terus saja berjalan tanpa tujuan. Mencoba menghilangkan semua rasa sedih di dalam hati. Tetapi semua rasa sedih itu, tak juga mau untuk pergi. Semakin lama aku berjalan, jalanan kota Malang malah menjadi semakin penuh. Dipenuhi oleh banyak orang yang berpasang-pasangan. Sedangkan aku hanya berjalan sendirian. Rasanya hati ini kembali sakit, begitu melihat mereka yang sedang berpasang-pasangan.
Setelah terus berjalan, aku pun sampai di sebuah persimpangan. Terlihat ada seorang bapak-bapak sedang menjajakan makanan. Berhubung perutku pun sudah mulai keroncongan. Kuhampiri sang Bapak tersebut. Mencoba untuk mengisi perutku yang mulai tak karuan ini, sama seperti keadaan hatiku ini.
“Pak nasi gorengnya satu ya, Pak!”
“Siap, Mas! Makan di sini apa dibungkus, Mas?” jawab sang Bapak penjual nasi goreng sembari mulai menyiapkan bumbu-bumbu yang aromanya begitu menggugah selera.
“Makan di sini, Pak! Yang pedes yah, Pak!” jawabku pada sang Bapak.
“Siap, Mas!”
Tak lama datanglah sepiring penuh berisikan nasi goreng dengan aroma yang benar-benar membuat lidah ini tak sabar untuk merasakan kelezatannya. Aku pun menyantapnya dengan lahap. Dan rasanya begitu lezat, tak bisa kuhentikan tanganku ini untuk menyendok dan menyuap sesendok nasi menuju mulutku. Benar-benar nikmat dan mengisi kekosongan perutku ini. Aku pun selesai menyantap satu piring berisikan nasi goreng. Aku pun lekas membayarnya dan kembali berjalan tanpa tujuan.
Setelah cukup lama aku melangkahkan kaki. Aku tiba di sebuah hotel. Dan kulihat jam dari ponselku, sudah menunjukkan bahwa sekarang sudah hampir menuju tengah malam. Aku pun mencoba untuk menyewa sebuah kamar di hotel tersebut. Dan akhirnya aku pun mulai memasuki salah satu kamar yang ada di sana. Kubaringkan badanku di sebuah ranjang. Raga ini sudah terlalu lama berjalan, dan hati ini sudah terlalu lama menahan rasa perih. Kutengok kembali ponselku, sudah puluhan pesan dan panggilan yang masuk ke dalamnya, lagi-lagi dari nama Sevila dan juga Niko. Begitu kusimpan handphone, ada sebuah panggilan yang masuk ke dalamnya. Kudiamkan panggilan tersebut tak kugubris sampai akhirnya mati dengan sendirinya. Tak lama dari itu kembali datang sebuah panggilan, lagi-lagi Sevila meneleponku. Kali ini kucoba untuk mengangkat panggilannya. Setelah cukup lama menatap layar ponselku, akhirnya kuberanikan diri untuk mengangkat panggilannya.
“Tan! Kamu dimana? Kita berdua khawatir, Tan. Tan!” ucapnya sembari menangis tersedu-sedu.
Aku pun hanya terdiam, mencoba menahan rasa sakit hatiku, dan tak mencoba untuk menjawab ucapannya.
“Tan, kamu gak mau ngomong sama kita?” terdengar suara seorang pria dari ponselku.
“Tan maafin aku, Tan. Besok pagi kita kan bakalan pulang, kamu beneran gak mau ikut?” kali ini terdengar suara seorang wanita.
“Tan, jangan kaya orang bego lah! Ngapain pake ngambek segala kaya anak kecil?” Niko terlihat begitu kesal.
Aku pun lagi-lagi hanya terdiam, tak mau menjawab ucapan mereka.
“Tan, ayo kita balik bareng. Aku mau kok jadi pacar kamu asal kita pulang bareng yah ke Bandung?” begitu ucapnya.
Mendengar ucapan itu aku malah semakin merasa sakit hati. Dan langsung melempar ponselku ke lantai. Dan membuat layarnya menjadi retak. Bukan itu yang mau aku dengar. Mendengar perasaanku diterima tapi bukan karena dia mencintaku, tetapi dia mengasihaniku dan tak mau membuat sakit hatiku. Tapi itu malah membuatku bukan hanya patah hati. Tapi rasa kecewa dan rasa kesal yang malah semakin menjadi-jadi. Kucoba ambil ponselku yang kulempar tadi. Begitu kucoba untuk kunyalakan, ponselku tak mau untuk menyala. Mungkin karena saking kencangnya kulempar sampai membuat ponselku rusak. Aku pun mengeluarkan semua emosiku di dalam kamar. Kukeluarkan semua air mata yang kutahan. Sampai akhirnya aku tertidur dengan lelapnya.

The Story From Bromo (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang