Melarikan Diri

20 22 1
                                    

Semua khayalanku hanya menjadi sebuah angan. Tak ada yang menjadi kenyataan. Semua ekspektasi hanya menjadi sebuah mimpi. Tak terwujud menjadi realita. Memang liburan kali ini aku bersama dengan orang yang kucintai. Tapi orang yang kucintai itu, mencintai orang lain. Dan membiarkan perasaanku bertepuk sebelah tangan. Kali ini tak bisa lagi kutahan rasa sakit hatiku. Kubiarkan air mataku ini mengalir dari bola mataku. Tak bisa kuhentikan, karena hati ini sudah terlanjur patah. Dimana aku yang ditolak, dan juga kedua sahabatku malah menyembunyikan sesuatu dariku, dan membuatku merasa jika aku bukanlah seorang sahabat dari mereka. Kucoba usap air mataku, kucoba untuk melangkah meninggalkan tempat ini. Kulangkahkan kakiku menuruni bukit ini. Meninggalkan semua keindahan di luar ragaku, sedangkan semua kesedihan di dalam hatiku. Kutapaki tanah demi tanah, kutahan amarah demi amarah, kugenggam semua kesedihan demi kesedihan. Liburan yang awalnya kukira akan menjadi sebuah kenangan indah di dalam hidupku, berakhir menjadi sebuah kenangan pahit yang mungkin tak akan bisa kulupakan. Aku berjalan menurun, layaknya hatiku ini yang sedang kembali turun dari tingginya bukit ekspektasi. Berusaha tegar namun terlalu sakit, berusaha kuat namun kenyataannya terlalu pahit.
Akhirnya aku pun tiba di tempat dimana jeep yang tadi kutumpangi terparkir. Kucoba tinggalkan jeep yang tadi kutumpangi, kucoba untuk mencari jeep yang lain. Dan kunaiki jeep tersebut. Kuperintahkan sang sopir untuk meninggalkan tempat ini. Aku pun rela membayarnya dua kali lipat lebih banyak dari harga biasanya. Karena hati ini sudah terlanjur patah, aku tak kuasa untuk melihat semua keindahan di sini. Akhirnya sang sopir menancap kencang gas mobil jeep miliknya, dan perlahan meninggalkan bukit ini. Aku pun berhenti di sebuah padang pasir yang begitu luas. Kutapaki kakiku pada hamparan pasir tersebut. Kuambil segenggam pasir menggunakan tanganku. Dan kulemparkan pasir tersebut ke udara. Aku pun berteriak dengan begitu lantangnya.
“Argghhhhhhh!”
Sang sopir jeep terlihat kebingungan melihatku berteriak, tapi ia tak berani untuk bertanya-tanya. Aku pun membaringkan badanku di hamparan pasir. Mencoba menenggelamkan semua perasaan sedihku di lautan pasir yang begitu luas. Tetapi, semua perasaan itu masih saja menempel dengan kuat di hatiku. Masih saja tak bisa kulepaskan rasa sakit hatiku. Sampai akhirnya ada beberapa rombongan jeep yang mulai mendatangi keberadaanku. Dan aku pun bergegas untuk kembali menaiki mobil jeep yang kusewa. Terlihat sepasang muda-mudi turun dari mobil jeep yang baru saja datang ke tempat ini. Dan sepasang muda-mudi itu memanggil-manggil namaku.
“Taaaan! Sutaaaan!” teriak sepasang muda-mudi tersebut.
Aku tak menggubris panggilan mereka. Dan memerintahkan sang sopir untuk kembali menancap gas mobil jeep miliknya.
“Pak maju lagi aja, Pak!” ucapku.
Aku pun kembali berjalan meninggalkan hamparan pasir yang begitu luas ini. Hamparan pasir yang awalnya menurutku begitu indah. Tetapi kali ini, rasanya hanya kumpulan pasir yang tak bermakna. Sang sopir kembali bertanya di saat kami mulai melewati sabana rerumputan yang biasanya menjadi objek tempat berfoto bagi orang-orang yang berkunjung kemari.
“Berhenti disini dulu, apa gimana, Mas?” tanyanya padaku.
“Langsung jalan aja, Pak!” jawabku.
Lagi-lagi air mataku kembali mengalir, tak kuasa kumenahan air mataku ini. Hari ini rasanya benar-benar berantakan. Semua rencana liburan yang begitu indah, hancur begitu saja. Mungkin hubungan persahabatan kami pun akan ikut hancur di telan keindahan milik keagungan sang Bromo.
Akhirnya aku kembali ke tempat dimana kami menginap. Kukemasi barang-barang yang kubawa kemari. Bersiap untuk kembali ke Vila tempatku menginap sebelumnya. Kutaruh sepucuk surat di kamarku. Surat yang menandakan bahwa aku tak akan ikut kembali pulang ke Bandung bersama kedua sahabatku. Aku pun bergegas pergi dari tempat itu, dan mendatangi Pak Yatno yang sedang menghisap sebatang rokok di tangannya.
“Pak! Antar saya ke Vila, Pak!” ucapku pada Pak Yatno.
“Tapi temen-temen Masnya gimana? Mereka gak ikut, Mas?” tanya Pak Yatno yang terlihat begitu kebingungan karena hanya ada aku seorang diri.
“Entar mereka nyusul, Pak! Entar Bapak balik lagi ke sini, Pak!” begitu jawabku dengan muka datar.
“Oke deh, Mas.” Pak Yatno pun segera menaiki mobilnya.
Dan aku pun mengikuti di belakangnya. Aku pun mulai meninggalkan keindahan milik Bromo. Mulai berjalan di jalan yang sudah teraspal. Meninggalkan sebuah kenangan pahit yang tersimpan dibalik kemegahan sang Bromo. Pak Yatno terlihat bingung, ia terus bertanya padaku.
“Maaf nih, Mas. Masnya kenapa yah? Kok temen-temennya ditinggalin?” begitu tanyanya.
“Gapapa, Mas. Cuma ingin tidur aja.”
“Lagi berantem yah, Mas?” tanyanya kembali padaku.
Aku pun hanya terdiam tak menjawab pertanyaan Pak Yatno. Dan malah memalingkan pandanganku menuju jendela mobil.
“Kalo ada masalah mending selesaiin, Mas. Gak baik marahan sama sahabat sendiri.” Ucapnya.
Aku pun lagi-lagi hanya terdiam dan tak menggubris ucapannya. Aku hanya bisa memendam rasa patah hatiku. Tak mau kuungkapkan pada siapa pun. Aku pun teringat pada cerita cinta Pak Yatno yang berakhir manis di bawah keagungan sang Bromo. Berbanding terbalik dengan kisahku yang malah hanya menerima sebuah tamparan pada hatiku. Aku pun lagi-lagi ingin mengeluarkan air mata dari mataku. Tetapi semua air mata itu kutahan, tak mau kukeluarkan kembali rasa sakitku ini. Kucoba tahan untuk tak keluar, sampai akhirnya aku pun tertidur sepanjang perjalanan menuju Vila.
Aku pun terbangunkan begitu Pak Yatno memanggil namaku.
“Mas! Udah sampe, Mas.” Ucapnya padaku yang baru membuka mata.
“Oh iya, Pak.”
“Saya langsung balik lagi ya, Mas. Kasian temen-temennya Mas udah nungguin.”
Aku pun kembali terdiam dan langsung melangkahkan kakiku menuju ke dalam Vila. Lagi-lagi kukemasi semua barangku, bersiap untuk pergi dari sini. Mencoba melarikan diri dari rasa patah hatiku ini.
Selesai aku mengemasi barang-barangku, aku pun bergegas berjalan untuk mencari taksi dan bersiap kembali menuju perkotaannya kota Malang. Sudah cukup lama aku menunggu tapi tak ada satu pun taksi yang melewatiku. Sampai akhirnya ponselku pun berdering. Terpampang nama Sevila di layar ponselku. Kubiarkan ponsel itu untuk terus berbunyi, sampai ia berhenti berbunyi dengan sendirinya. Tapi lagi dan lagi, ponselku kembali berbunyi. Beberapa kali terpampang nama Sevila di layarnya yang silih berganti dengan nama Niko. Tak satu pun dari panggilan mereka yang kuangkat, sampai akhirnya aku pun merasa kesal dan kumatikan ponselku ini. Agar tak kembali berbunyi. Sampai akhirnya ada sebuah taksi yang menghampiriku. Dan dengan sigapnya aku langsung menaiki taksi tersebut. Dan aku pun segera meninggalkan Vila. Dan kembali berjalan dengan tujuan yang entah ke mana.

The Story From Bromo (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang