Little Hope

6 6 2
                                    

Satu minggu pun telah berlalu, masih saja dengan suasana hati yang diselimuti awan kesedihan. Selama satu minggu aku hanya mengitari luasnya kota kelahiranku ini, melihat roda kehidupan yang terus berputar di kota ini. Banyak sekali hal yang kulihat di luar sana, mulai dari dua anak kecil yang berjualan tisu demi dapat memakan sesuap nasi, seorang kakek yang mengayuh sepeda sembari menawarkan segelas demi segelas kopi kepada muda-mudi yang sedang menikmati jalanan Dago, sampai pertengkaran dua orang pria karena kemacetan yang terjadi di persimpangan jalan. Begitu banyak hal yang terjadi dalam sebuah kehidupan. Seperti alur kehidupanku ini. Dalam jangka waktu yang tak begitu lama, banyak sekali hal yang mengubahku dari seorang anak yang manja, berubah menjadi seseorang yang harus rela dan ikhlas untuk menerima semua kegagalan dalam hidup.
Di saat mentari sedang terik-teriknya, aku berkutat di sebuah ranjang. Ditemani sebuah laptop yang terus kuotak-atik, mencari sebuah situs untuk mendapatkan beasiswa di dalam negeri. Dan di saat sedang asyiknya memainkan papan keyboard dan sebuah mouse, ada sebuah email yang masuk ke laptopku. Sebuah email yang aku tak tahu siapa pengirimnya, entah aku lupa atau bagaimana, aku pun tak tahu. Dan di saat kubuka email tersebut, mata ini mulai berkaca-kaca, mulai menumpahkan yang namanya air mata. Tetapi bukan karena hati ini kecewa, melainkan karena hati ini terharu dan juga bahagia. Sebuah email yang membuatku dapat menangis karena sesuatu yang dapat membuatku bahagia. Aku langsung berlari menuju kamar ibundaku, mencoba untuk memberitahukan sebuah berita yang mungkin akan membuatnya ikut menangis karenanya, membuatnya bangga dan bahagia sekaligus membuatnya merasa sedih karena berita yang kuceritakan. 
“Bu! Ibu...!” teriakku sambil berlari kegirangan.
“Ada apa, Nak? Kenapa teriak-teriak segala?” 
“A..ku..” 
“Diem dulu kalo capek. Kenapa sih teriak-teriak sambil lari-larian segala?” tanyanya sambil memotong ucapanku.
Aku pun terdiam dikarenakan lelah berlari dari kamarku menuju lantai bawah tempat kamar ibuku berada.
“Aku lolos ujian untuk dapat beasiswa di New York, Bu!”
Ibuku terdiam dan mulai meneteskan air mata, ia lalu memelukku dengan bangga sekaligus terharu. Suasana hening menyelimuti kami, ibuku tak bisa berkata-kata, mungkin karena bangga anaknya dapat melanjutkan pendidikannya di negeri orang sekaligus sedih karena akan berpisah cukup lama dengan anak semata wayangnya ini. Mendengar isak tangis sang ibunda, aku pun ikut meneteskan air mata. Sampai akhirnya ia melepaskan pelukan eratnya dan mencium keningku. Ia usap air mata yang mengalir membasahi pipiku. Dan berkata dengan lantangnya.
“Kamu udah buat Ibu bangga, Nak!”
Aku pun hanya tersenyum menatapnya berbicara, tak bisa aku jawab kata-kata yang diucapkan olehnya.
Dan sore hari pun tiba, setelah drama air mata yang membasahi pipi kami berdua. Aku terdiam di kamar dengan senyuman yang menghiasi wajahku, dikarenakan sebuah kabar yang membuat ibundaku merasa bangga padaku. Bahkan dapat membuat luka di hatiku ini hilang seketika. Membuat semua kenyataan pahit yang kuterima sebelumnya hilang dari otak dan hatiku. Aku dapat tersenyum dengan lebar kembali. Kubaca berulang kali email yang kuterima dari sebuah universitas di New York. Masih tak menyangka bahwa aku dapat melanjutkan pendidikan di sana. Terus saja kubaca sembari mencubit pipiku berulang kali. Berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa hal ini bukan hanya sebuah mimpi. Dan tertulis sebuah tanggal di email yang kuterima. Bahwa tanggal 10 Maret, aku sudah harus berada di negeri yang tak kukenali, hanya demi mengejar yang namanya sebuah ilmu. Tetapi aku masih tak bisa membayangkan, jika aku harus terpisahkan oleh jarak yang begitu jauh dengan ibuku. Aku yang merupakan seorang anak yang begitu dimanja oleh ibundaku, harus berjuang seorang diri untuk mandiri di negeri yang tak kukenali. Semoga saja aku bisa bertahan hidup di sana seorang diri, bertahan hidup demi memetik yang namanya ilmu pengetahuan untuk masa depanku nanti.
Aku yang sedang asyik membayangkan kehidupanku di New York terganggu oleh suara lembut yang memanggilku dari lantai bawah. Suara ibundaku memanggilku untuk turun dan bersiap mengisi perut yang sudah mulai keroncongan dikarenakan terlalu banyak berputarputar dalam imajinasi.
“Tan! Makan dulu yu! Ayah udah pulang nih! Kita makan bareng-bareng.” Teriak Ibundaku.
“Iya, Bu. Sebentar.” Jawabku.
Aku pun bergegas mematikan kembali laptopku dan mulai berjalan menuju ruang makan di lantai bawah. Terlihat sudah ada ayahku yang sudah menungguku untuk menyantap hidangan di sore hari ini. Di meja pun terpampang begitu banyak makanan yang telah ibuku siapkan. Mungkin ini semua untuk merayakan keberhasilanku mendapat beasiswa menuju New York. Aku pun terduduk di meja makan bersama ayahku. Tak lama, datanglah ibundaku dengan membawa senyuman yang begitu bahagia terpampang di wajahnya. 
“Kenapa senyum-senyum gitu?” tanya ayahku pada ibuku.
“Tanya sama anakmu tuh!” jawab ibuku.
Ayahku pun langsung memandangku kebingungan, aku pun ikut bingung karena wajah ayahku yang sedang kebigungan.
“Ada apa, Tan? Ibu sampe senyum-senyum gitu?”
Aku pun menarik nafas panjang dan mulai memberitahu ayahku.
“Jadi gini, Yah.... Sutan dapet beasiswa untuk kuliah di New York, Yah.” Ucapku sambil berteriak.
Lagi-lagi reaksi ayahku benar-benar sama persis dengan reaksi ibuku saat kuberitahu kabar tersebut. Wajahnya terlihat datar, seakan tak percaya bahwa anaknya berhasil membuatnya bangga. Tetapi reaksinya berbeda dengan ibundaku, mungkin karena dia merupakan seorang pria yang menjadi contoh untuk darah dagingnya sendiri. Ia tak mau terlihat menangis di depan anaknya ini. Ia berusaha menahan air mata bahagianya. Ia pun terbangun dari duduknya dan berjalan mendekatiku.
“Berdiri, Nak!”
Aku kebingungan, aku terdiam dan kemudian bangun dari dudukku. Lalu senyuman mulai terpampang di wajah ayahku. Ia pun mendekapku dengan begitu erat, dengan begitu mesra. 
“Ayah bangga sama kamu, Nak! Bangga!” begitu ucapnya padaku.
Aku hanya bisa terdiam di pelukannya, kubalas rangkulan tangannya yang menyelimuti tubuhku, kuselimuti pula tubuhnya yang sudah mulai menua. Mataku sudah mulai berkacakaca, tetapi kutahan agar tak mengeluarkan air mata, aku tak mau menangis di depannya, menangis di depan seorang pria sejati yang telah mengajarkanku banyak, yang tetap tabah dan kuat mengajari anaknya yang sangat badung ini, tak mau menangis di depannya yang selalu berusaha tegar meski sudah diterpa badai demi menafkahiku dan juga ibundaku. Karena aku pun ingin menjadi sepertinya, seorang pria sejati seperti ayahku.

The Story From Bromo (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang