11. Tawaran Pulang

59 10 0
                                    

Halo melta kembali, wkwk. Ada yang nunggu cerita ini? Ampun dah, udah dua tahun cerita ini nganggur. Tapi karena ada orang yang ngevote dan menikmati, melta lanjutkan saja ya.

Makasih untuk kamu yang akhir-akhir ini membaca cerita ku. Cerita absurd ini.

—Garzalata—

Alata mengusap tangannya yang mendingin karena cuaca beralih mendung. Hawa dingin rasanya memaksa menembus memasuki kulitnya.

Ia berdiri kaku di depan gerbang sekolah. Sendirian, menunggu jemputan adiknya yang katanya tepat setelah ia menginjakkan kaki di luar gerbang, maka adiknya sudah stand by di depan sana.

Namun kenyataannya sangat berbalik dengan ekspetasi Alata. Ia tidak melihat batang hidung Revaldo di manapun sejauh matanya memandang. Terlebih lagi, baterai ponselnya telah habis semenjak istirahat kedua.

Lengkap sudah kekesalan Alata. Ibaratnya, ia jatuh tertimpa tangga. Sudah tidak dijemput, eh dia tidak memiliki alat komunikasi untuk mengomeli keterlambatan adiknya.

"Hish," ujar Alata mencebikkan bibirnya. Sekolah nyaris sepi karena seluruh siswa sudah pulang ke rumah masing-masing.

Merasa haus, Alata memutuskan membeli minuman di toko kelontong di sebrangnya. Meneguk minuman dingin, Alata merasakan kelegaan mengalir melewati kerongkongannya.

Brum. Brum. Brum.

Terdengarlah suara sayup motor bersahutan. Dari arah selatan, gerombolan motor melakukan arakan dengan bersorak riuh. Menarik atensi seluruh pengguna jalan yang ada. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang mengabadikan momen tersebut.

Tak ayal, Alata pun menumpukan perhatiannya pada gerombolan motor yang mengibarkan bendera hitam dengan tulisan altero.

Hah? Altero habis tempur?

Batin Alata menatap menjurus pada mereka yang berada paling depan. Arakan itu secara tersurat menunjukkan kalau mereka menang. Meskipun terdapat luka lebam di wajah mereka, tetapi kegembiraan tidak bisa tersamarkan karena hal itu saja.

"Eh Za, bukannya itu cewek yang lo ceritain ke kita?"

Arah pandang Garza mengikuti tunjukan Zidan yang mengarah ke toko krlontong di ujung jalan. Begitu pula teman-temannya.

"Wah iya Za. Dia sendirian. Samperin ketua!" ujar Damien menggebu-nggebu. Ia bahkan memukul tangki bensin motornya untuk menyalurkan rasa gregetnya.

"Woy, ngapain juga cewek kayak dia nunggu di sana sendirian kalo bukan karena jemputannya lama?" ujar Bram menaikkan alisnya. Berusaha memancing jiwa Garza untuk menghampiri perempuan itu.

"Wah, cenayang lo bray! Kok lo bisa kepikiran sampai situ?" ujar Damien menunjuknya. "Daebak banget."

Garza nampak menimang. Ia menatap ekspresi Alata yang judes dan tertekuk. Menurutnya, perkataan Bram sedikit masuk akal. Namun tak mau terjerat dengan opini, ia langsung melajukan motornya menghampiri Alata yang mana membuat keempat temannya saling pandang.

"Akhirnya, Garza dewasa juga."

Alata mendelik kala melihat laki-laki bertampang garang tengah mendekat ke arahnya. Sebisa mungkin ia tidak terlalu geer. Namun pemikirannya kandas saat lelaki itu mengajaknya berinteraksi.

"Alata ya?"

Alata terdiam saat sesosok lelaki itu mengetahui namanya. Padahal ia tidak terkenal banget. Ia juga tidak mencari masalah hari ini. Ia bingung kenapa lelaki di sampingnya tahu akan namanya. Namun ia tak mengangkat kepalanya menatap wajah lelaki itu. Ia malah meluruskan tatapannya.

GARZALATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang