BAB 9

465 64 34
                                    

"Di mana Direktur Choi berada, Sekretaris Han? Tumben, dia belum datang ke kantor, padahal sudah pukul sembilan pagi," tanya salah seorang karyawan magang yang ingin menemui Shira di ruangannya untuk mengurus berkas yang sedang disiapkannya. "Aku harus menyerahkan surat permohonan perpanjangan magang sebelum besok."

Seokjin tampak sibuk dengan ponselnya seraya menggigiti kukunya, enggan merespons pertanyaan karyawan tersebut.

"Apa dia belum datang, Pak Han?" tanya karyawan itu lagi.

"Tentu saja belum! Apa kau tidak lihat ruangannya kosong begitu?! Cepat kembali bertugas sana!" sahut Seokjin gusar, sementara karyawan magang itu menggerutu kesal memandang Seokjin yang masih tampak frustasi setelah melihat layar ponselnya. Kekesalan Seokjin meluap karena tidak satu pun pesan Seokjin yang dibalas oleh Shira sejak kemarin.

"Ke mana kau, Shira?" batin Seokjin. "Tidak mungkin, 'kan? Kau mengulang kebodohanmu sepuluh tahun yang lalu?"

Sejak kemarin, Seokjin sudah mendapati kediaman Shira terkunci rapat seperti tak berpenghuni. Meski telah berkali-kali meneleponnya, bahkan menunggu lama di depan pagarnya selama berjam-jam, Shira tak kunjung tampak batang hidungnya.

"Tidak bisa. Aku tidak bisa diam saja!" gumam Seokjin.

"Tidak bisa diam... apa, Jin?"

Suara lembut gadis yang tengah memenuhi pikirannya itu sontak membuat Seokjin berdiri dari kursi kerjanya dengan mata terbelalak memandangi Shira yang datang dengan wajah tak berdosa.

"KAU KETERLALUAN, SHIRA!" amuknya.

"A-aku... kenapa?"

Belum sempat Seokjin menyemprot Shira dengan amarahnya yang sudah terkumpul penuh, karyawan magang itu langsung menyerobot di depan Seokjin sembari menyerahkan surat perpanjangan magangnya. Seokjin tampak menghela napas berat seraya mengepalkan tangannya menahan emosi. "Permisi, Direktur Choi. Ini berkas perpanjangan magang saya. Mohon diterima, Bu Direktur, terima kasih banyak."

Shira langsung menyambut berkas tersebut dan mulai membaca isinya. "Hmm, baiklah. Kau boleh pergi. Berkasmu akan kuperiksa ulang nanti."

Karyawan magang itu pun membungkuk hormat, kemudian meninggalkan Shira dan Seokjin berdua di lantai tertinggi gedung Panache itu. Sepersekon setelahnya, Seokjin langsung mengeluarkan seluruh emosi yang terpendam sejak tadi.

"KEMANA SAJA KAU DARI KEMARIN, HAH! KENAPA TELEPONKU TIDAK DIANGKAT?"

Shira langsung menepuk jidatnya. "Oh, astaga. Aku lupa menyalakan ponselku setelah mengisi daya baterainya."

"Kau juga tidak membukakan pintu rumah untukku! Aku, 'kan...." Seokjin kehilangan kata-katanya. "Bisa-bisanya kau...."

Shira kemudian menepukkan kedua telapak tangannya tepat di depan Seokjin. "Maafkan aku, ya?" ujar Shira sembari mengintip di balik tangannya dengan senyum mengembang. "Ehm, jarang sekali, lho, aku bisa mengucapkan kata maaf pada orang, apalagi padamu. Jadi, kali ini kau harus menerima permohonan maafku," ujar Shira santai, kemudian senyum kecil terbit di kedua sudut bibirnya.

Gurat cemas di wajah Seokjin perlahan-lahan memudar, berganti dengan air muka lega. Tampaknya mendapati Shira datang dalam keadaan utuh dan baik adalah yang terpenting baginya. "Jangan lakukan ini lagi padaku. Aku benar-benar cemas, tahu! Dan—"

"Iya, iya!" sambar Shira agar Seokjin berhenti mengomel, kemudian sibuk dengan ponsel yang baru saja dinyalakannya. "Ya, ampun. Banyak sekali pesan penting yang masuk."

"Kita sedang diburu waktu untuk secepatnya mencari model pengganti untuk edisi majalah selanjutnya. Tidak seharusnya kau sulit dihubungi begini. Padahal tidak biasanya, 'kan, kau seteledor itu? Ke mana saja kau kemarin? Kelihatannya kau sibuk sekali. Biasanya, kalau pergi ke mana pun, kau pasti minta aku pergi menemanimu, 'kan?" tanya Seokjin bertubi-tubi tanpa menarik napas sama sekali.

Psychomachy - AilizaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang